Sentimen
Negatif (100%)
1 Mei 2024 : 15.03
Informasi Tambahan

Institusi: UGM

Kasus: KKN, nepotisme, korupsi

Partai Terkait

Demokrasi Suram, Rakyat Ingin Ada Oposisi Kuat dan Ratu Adil

1 Mei 2024 : 22.03 Views 1

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Demokrasi Suram, Rakyat Ingin Ada Oposisi Kuat dan Ratu Adil

PIKIRAN RAKYAT – Merapatnya partai-partai pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar ke kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menimbulkan berbagai kekhawatiran di masyarakat. Sejauh ini Partai NasDem dan PKB sudah mengisyaratkan dukungan mereka untuk kubu 02.

Sementara itu, PDI Perjuangan yang sempat becokol lama di pemerintahan dan mengusung Presiden Joko Widodo (Jokowi) merasa dikhianati. Jokowi dan keluarganya seolah berubah haluan saat Gibran Rakabuming Raka resmi mendampingi Prabowo Subianto sebagai cawapres.

Meski arah dukungan PDIP belum bisa ditebak saat ini, tapi banyak yang berharap partai berlogo kepala banteng itu bisa jadi oposisi. Mengingat sejarah panjang PDIP yang pernah 10 tahun menjadi oposisi yang baik di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sedangkan partai-partai yang tak sekubu dengan Prabowo-Gibran belum menampakkan diri dan belum menentukan arah mereka. Dikhawatirkan banyak partai yang justru merapat ke pemerintahan, dan akan mencederai demokrasi Indonesia.

Baca Juga: Prabowo Pastikan Tak Bakal Buang Waktu saat Masa Transisi Pemerintahan dari Jokowi

Tanpa adanya partai oposisi, pemerintah tidak bisa check and balances terkait kebijakan-kebijakan yang dibuat. Bahkan risiko menguatnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) bisa makin besar.

Beberapa orang memimpikan lahirnya oposisi di tengah suramnya demokrasi pascapemilihan umum 2024 ini. Partai oposisi yang getol memantau kinerja dan aturan pemerintah merupakan partai masa depan yang dinantikan masyarakat.

“Saya mengharapkan bahwa partai-partai ada yang brilian. Ada yang mampu berani untuk mengambil posisi oposan menjadi oposisi dalam kaitannya dengan kepemimpinan yang baru ini,” tutur A.B. Widyanta selaku dosen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) kepada Pikiran-Rakyat.com.

Abe, sapaan akrab A.B. Widyanta, tak mau munafik dan berharap ada partai oposisi yang benar-benar berperan sebagai oposisi saat ini. Menurutnya, perlu ada pemantik agar masyarakat dan partai politik lain di luar pemerintahan bisa berperan.

Perlu anomali

Untuk memunculkan partai-partai oposisi, perlu adanya anomali dan momentum penting di pemerintahan yang menghentak, sehingga beberapa partai bisa berpikiran untuk menjadi oposisi. Saat ini Abe belum melihat ada partai yang siap sedia mengambil peran oposan yang militan.

Koalisi tak ubahnya alat barter politik beberapa partai. Selain itu tradisi dekomposisi di Indonesia makin kabur dan membuat partai politik kesulitan mengambil jalan radikal.

“Karena apa yang terjadi saat ini, semua sudah tersandera oleh sejumlah kasus-kasus korupsi yang akhirnya hanya semacam tukar tambah, hanya semacam barter politik yang kemudian harus dibayar dengan cara-cara koalisi seperti itu,” tutur Abe.

Partai politik harus dididik publik agar mau memilih jalan sebagai oposisi. Hal ini akan memicu awareness masyarakat yang makin berkembang.

Perlu ditekankan pula bahwa masyarakat merupakan manusia politik yang bisa memegang kendali. Bahkan masyarakat harusnya bisa meluruskan jalan-jalan berliku demokrasi Indonesia saat ini.

“Setiap warga negara adalah manusia politik, yang juga bisa merubah kondisi-kondisi devisit seperti ini bisa kembali bangkit untuk meluruskan demokrasi-demokrasi yang dibengkokan dengan gaya-gaya politik lama yang sangat korup, yang berbalut dengan KKN itu,” kata Abe menambahkan.

Kontrol masyarakat

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gibran Rakabuming Raka kini bukan lagi bagian dari PDI Perjuangan. Setelah Gibran ditetapkan sebagai Wakil Presiden terpilih oleh KPU, manuver politik Jokowi setelah lengser makin membuat banyak orang penasaran.

Meski manuver politik Jokowi belum terlihat, tapi bencana ketatanegaraan sudah menggerogoti demokrasi Indonesia di era Jokowi. Etika politik dan etika publik musti ditegakkan demi menjunjung tinggi dasar-dasar moral yang harus jujur, terbuka, komunikatif, dan mampu mendeliberasi berbagai persoalan.

“Tapi setidaknya masa depan tidak sepenuhnya ada di tangan mereka. Bahwa kita masyarakat bisa mengontrol kekuasaan yang tengah menuju senja kalanya itu,” ucap Abe.

Ke depannya masyarakat perlu aktif dalam menyampaikan aspitasi yang substantif demi perbaikan demokrasi yang tengah suram. Masyarakat harus bisa menjadi pemantik adanya kebangkitan moral, kebangkitan nilai-nilai keadilan, nilai-nilai keberagaman, nilai-nilai politik yang jujur.

Bhimo Rizky Samudro selaku dosen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret (UNS) memiliki pendapat yang tak jauh berbeda dari Abe. Upaya Jokowi mengantarkan sang putra mahkota ke kursi kekuasaan melalui jalan terjal dan tidak smooth meninggalkan pekerjaan rumah yang cukup berat bagi banyaj pihak.

Muncul kekhawatiran di benak Bhimo bahwa Jokowi hanya akan mengamankan hukumnya, tapi prosesnya berjalan amburadul. Kekhawatiran Bhimo juga mencakup tentang kekompakan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming yang terpilih jadi pemimpin selanjutnya.

“Jika kita bicara soal lingkaran, kan banyak orang yang mendukung ini karena ingin bertahan lama meskipun Pak Jokowi sudah turun. Nah gimana dengan Pak Prabowo dan juga Gibran, ya beda orang pasti berbeda sikap meskipun mereka pernah satu kubu ya. Jadi bagaimana kesolidan mereka,” ujar Bhimo pada Pikiran-Rakyat.com.

Ratu Adil

Dalam praktik kehidupan politik di Indonesia masih banyak masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah yang belum melek politik. Masyarakat tersebut jatuh pada sosok pribadi individu yang dianggap sebagai ratu adil.

Padahal masyarakat perlu memiliki ratu adil itu sendiri. Ratu Adil dalam mitologi kuno diartikan sebagai pemimpin Nusantara yang mengakhiri zaman sengsara, kedatangannya bisa menjadi penyelamat, pembawa keadilan dan kesejahteraan untuk masyarakat.

Kenyataannya, saat ini pemimpin yang dielu-elukan hanya diglorifikasi seolah sosok tersebut adalah individu yang dianggap semacam Tuhan yang akan menyelesaikan masalah hidup mereka. Pola pikir ini cenderung malas, dan hanya akan membelenggu masyarakat.

Publik yang sudah terbelenggu tak lagi menyadari mereka memiliki hak, tapi hanya akan mewakilkan pilihan mereka. Sehingga bisa dikatakan publik seperti itu bukanlah manusia politik dan hanya sekadar pengikut atau follower saja.

Tapi hal itu bukan salah masyarakat sepenuhnya, memang sejak awal negara tidak mengenalkan hak politik, hak kesipilan di dunia pendidikan. Untuk bisa menciptakan manusia politik butuh model bergenerasi-bergenerasi, yang artinya butuh waktu lama dan dimulai dari dunia pendidikan.

Adapun tindakan yang bisa dilakukan masyarakat saat ini adalah dengan menagih janji politik pihak-pihak yang dianggap ratu adil. Masyarakat harus mengawal jalannya pemerintahan di era demokrasi suram seperti saat ini.

“Kita perlu menagih berbagai janji-janji politik itu dengan seluruh kesadaran bahwa menjadi pemimpin itu tidak boleh lepas dari dasar-dasar etika kepantasan, etika politik, etika publik, komunikasi yang memang deliberatif dengan konstituen warga negaranya,” ucap Abe.

Masyarakat bisa dengan mudah menjumpai pemimpin-pempimpin politik yang mengambil untung sendiri, menjerumuskan masyarakat, dan menutup mata pada kesengsaraan yang meraung-raung di kelas bawah. Maka di tengah politik yang suram saat ini, masyarakat Indonesia butuh politik harapan untuk bisa keluar dari politik kematian dan titik terburuk demokrasi.***

Sentimen: negatif (100%)