Dasar Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Anulir Hukuman Mati Terdakwa Mutilasi
Medcom.id Jenis Media: News
Yogyakarta: Pengadilan Tinggi Yogyakarta menganulir vonis hukuman mati kepada dua terdakwa kasus mutilasi, Waliyin dan Ridduan. Kedua terdakwa yang memutilasi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Redho Tri Agustian hukumannya diubah menjadi pidana seumur hidup. Putusan sidang di Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang hakimnya diketahuai Sugiyanto serta dua hakim, yakni Tatik Hadiyanti dan Wiwik Dwi Wisnuningdyah itu menggunakan pertimbangan Amnesty Internasional. Amnesty Internasional mengusulkan negara-negara di dunia menghapuskan hukuman mati atas dalih hukuman tersebut merenggut kesempatan individu untuk hidup dan bebas dari siksaan yang merupakan komponen hak asasi manusia. "Dan atas upaya tersebut maka tercatat sejak tahun 1976 lebih dari 85 negara telah menghapuskan hukuman mati di negaranya, baik terhadap semua kejahatan maupun sebagian," demikian salah satu bunyi salinan putusan banding nomor 39/PID/2024/PT YYK itu. Selain dari Amnesty Internasional, hakim juga menyebut menggunakan dasar politik hukum pidana nasional setelah diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP serta tujuan dan pedoman pemidanaan menurut ilmu hukum pidana. Dasar hukum itu menyebutkan pidana mati dipandang tak lagi sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus yang diatur dalam pasal tersendiri sebagai upaya terakhir mengayomi masyarakat. "Pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan. Dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan dan dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun," lanjut bunyi salinan putusan tersebut. Pidana mati disebut harus diterapkan secara selektif dan ditujukan terhadap tindak pidana khusus/tertentu. Jika digunakan, pidana mati harus menjadi pilihan paling akhir. "Dan hukuman ini dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat bahkan dalam penerapannya pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan," lanjut salinan tersebut. Majelis hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta menganggap kasus mutilasi kedua terdakwa belum masuk kategori kejahatan serius dan luar biasa yang bisa berdampak luas terhadap masyarakat. Meskipun secara pembuktian keduanya melakukan mutilasi yang dalam persidangan disebut perbuatan keji. Majelis hakim menilai pidana mati kedua terdakwa harus diubah dengan berbagai pertimbangan itu. "Pengadilan tingkat banding berpendapat adalah tepat jika para terdakwa dijatuhi pidana penjara seumur hidup," demikian bunyi simpulan putusan itu.
Yogyakarta: Pengadilan Tinggi Yogyakarta menganulir vonis hukuman mati kepada dua terdakwa kasus mutilasi, Waliyin dan Ridduan. Kedua terdakwa yang memutilasi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Redho Tri Agustian hukumannya diubah menjadi pidana seumur hidup.Putusan sidang di Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang hakimnya diketahuai Sugiyanto serta dua hakim, yakni Tatik Hadiyanti dan Wiwik Dwi Wisnuningdyah itu menggunakan pertimbangan Amnesty Internasional. Amnesty Internasional mengusulkan negara-negara di dunia menghapuskan hukuman mati atas dalih hukuman tersebut merenggut kesempatan individu untuk hidup dan bebas dari siksaan yang merupakan komponen hak asasi manusia.
"Dan atas upaya tersebut maka tercatat sejak tahun 1976 lebih dari 85 negara telah menghapuskan hukuman mati di negaranya, baik terhadap semua kejahatan maupun sebagian," demikian salah satu bunyi salinan putusan banding nomor 39/PID/2024/PT YYK itu.
Selain dari Amnesty Internasional, hakim juga menyebut menggunakan dasar politik hukum pidana nasional setelah diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP serta tujuan dan pedoman pemidanaan menurut ilmu hukum pidana. Dasar hukum itu menyebutkan pidana mati dipandang tak lagi sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus yang diatur dalam pasal tersendiri sebagai upaya terakhir mengayomi masyarakat.
"Pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan. Dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan dan dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun," lanjut bunyi salinan putusan tersebut.
Pidana mati disebut harus diterapkan secara selektif dan ditujukan terhadap tindak pidana khusus/tertentu. Jika digunakan, pidana mati harus menjadi pilihan paling akhir.
"Dan hukuman ini dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat bahkan dalam penerapannya pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan," lanjut salinan tersebut.
Majelis hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta menganggap kasus mutilasi kedua terdakwa belum masuk kategori kejahatan serius dan luar biasa yang bisa berdampak luas terhadap masyarakat. Meskipun secara pembuktian keduanya melakukan mutilasi yang dalam persidangan disebut perbuatan keji.
Majelis hakim menilai pidana mati kedua terdakwa harus diubah dengan berbagai pertimbangan itu.
"Pengadilan tingkat banding berpendapat adalah tepat jika para terdakwa dijatuhi pidana penjara seumur hidup," demikian bunyi simpulan putusan itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(DEN)
Sentimen: negatif (100%)