Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: APRIL
Tokoh Terkait
Dugaan Kecurangan Pilpres 2024, Perludem Dukung Digelarnya Pengadilan Rakyat
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Anggota Dewan Pembina Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai Pengadilan Rakyat atau Mahkamah Rakyat perlu dilakukan untuk mengoreksi Pilpres 2024 dan menjaga iklim demokrasi ke depannya.
Menurutnya, warga negara Indonesia punya kewajiban untuk memastikan bahwa praktik Pemilu itu tidak menjadi bagian dari demokrasi yang cacat. Sebab, kehendak Konstitusi Pasal 22E ayat 1 Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, setiap lima tahun sekali.
Selain itu, berikutnya pasal 22E ayat 5 itu disebutkan pondasi penting bahwa Pemilu yang luber jurdil itu diselenggarakan suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
"Dalam praktiknya, yang harus kita pastikan bukan hanya Pemilu yang reguler, tetapi juga Pemilu yang autentik, Pemilu yang genuine, Pemilu yang luber jurdil tadi. Nah, terkait dengan proses perselisihan hasil Pemilu, itu adalah salah satu mekanisme yang disediakan oleh konstitusi untuk menyelesaikan salah satu masalah hukum Pemilu yang terjadi, dalam hal ini adalah soal hasil," kata Titi dalam sebuah diskusi daring bertajuk Mahkamah Rakyat untuk Keadilan Pemilu, Perlukah? pada Senin, 15 April 2024.
Titi menuturkan, problemnya adalah saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) berada dalam situasi yang problematik. Salah satu persoalan yang menjadi pondasi perselisihan hasil dikontribusikan oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri, yaitu adanya putusan MK Nomor 90/PUU/XXI/2023.
Menurutnya putusan itulah yang memberikan karpet merah kepada putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk maju di Pilpres 2024. Titi juga menganggap hal itulah yang menimbulkan keragu-raguan apakah bisa diwujudkannya keadilan.
"Karena Mahkamah Konstitusi sebagai institusi formal, praktiknya itu menjadi bagian dari problem itu sendiri yang menjadi persoalan mengapa kemudian orang mempermasalahkan proses Pemilu 2024. Akan berbeda kalau perselisihan hasil Pemilu itu tidak berkaitan dengan problematika yang diakibatkan oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Jadi inilah salah satu dilema terbesar keadilan Pemilu 2024. Karena institusi formal yang diberi tugas menyelesaikan masalah hukum Pemilu, itu adalah bagian dari masalah hukum itu sendiri, yaitu adanya putusan 90," ujarnya.
Titi juga menjelaskan praktik Mahkamah Rakyat untuk mewujudkan keadilan Pemilu dalam lingkup Asia Tenggara itu bukan sesuatu yang baru. Misalkan Pengadilan Rakyat yang dibentuk oleh BERSIH di Malaysia.
"Jadi, Pengadilan Rakyat atau People's Tribunal untuk memproses kecurangan Pemilu itu sudah pernah dipraktikkan di Malaysia yang diinisiasi oleh kawan-kawan BERSIH," katanya.
"Jadi, mengapa kemudian kawan-kawan BERSIH mengadakan people's tribunal untuk Pemilu ke-13 Malaysia pada 2013? Karena tadi ingin memastikan bahwa penilaian itu hadir dari pakar, dari pihak yang tidak terlibat dalam benturan kepentingan ketika institusi formal itu dianggap tidak cukup meyakinkan akan mampu melahirkan keadilan Pemilu," tuturnya.
Dalam konteks Indonesia, dia menilai rasa ketidakyakinan itu masih tersimpan pada kita. Karena itu, Titi mengatakan mendukung upaya masyarakat sipil untuk mewacanakan mahkamah rakyat untuk perbaikan pemilu di masa mendatang.
"Karena Mahkamah Konstitusi yang menjadi bagian dari penyelesaian masalah hukum Pemilu terkait perselisihan hasil itu menjadi bagian dari problematika hukum yang kita hadapi di 2024 melalui putusan 90," katanya.***
Sentimen: positif (88.3%)