Sentimen
Positif (100%)
29 Mar 2024 : 00.48
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Grup Musik: APRIL

Kab/Kota: bandung, Surabaya, Garut

Soekarno, Kenapa Bandung?

29 Mar 2024 : 00.48 Views 13

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Soekarno, Kenapa Bandung?

PIKIRAN RAKYAT - "Aku kembali ke Bandung, kepada cintaku yang sesungguhnya", ucap Soekarno. Pernyataan itu kembali mendapat popularitasnya setelah menjadi filler di banyak billboard di Bandung yang kosong ditinggal pengiklan selepas pemilu 2024.

Kenapa Bandung? Tentu saja Soekarno memilih Bandung bukan karena ritme kehidupannya yang lambat seperti yang diglorifikasi anak muda sekarang. Tentu bukan pula hanya karena masalah geografis.

Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno tak bisa dilepaskan dengan Bandung, Jawa Barat. Banyak tempat yang menjadi saksi sejarah perjalanan Bung Besar itu. Sebut saja Gedung Merdeka, tempat sang Singa Podium itu pidato dengan tajuk Let a New Asia and News Africa be Born.

Bung, kenapa Bandung?

Jika 100 tahun lalu Soekarno ditanya, "kenapa Bandung?" kira-kira beginilah dia akan menjelaskannya.

Bandung punya sejarah penting dalam perjalanan hidup Soekarno. Seusai menyelesaikan pendidikan di Hooge Burgelijke School Surabaya, dia melanjutkan pendidikan di Technische Hoogeschool te Bandoeng.

Akhir Juni 1921, Soekarno muda menginjakkan kaki di Kota Kembang bersama istrinya, Siti Utari, anak Haji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto, Ketua Sarekat Islam Pusat di Surabaya. Dia mengubur impian melanjutkan pendidikan di luar negeri karena kondisi ekonomi orangtuanya. Bung Besar itu lantas memilih Technische Hoogeschool de Bandoeng, kampus impian generasi muda kala itu.

Dia terdaftar sebagai mahasiswa tahun akademik ke-2, dari 2 Juli 1921—1 Juli 1922. Dia tinggal di rumah Haji Sanusi, pengurus Sarekat Islam Bandung, sahabat mertuanya.

Soekarno kembali ke Surabaya

Haji Sanusi membuka pintu lebar-lebar untuk menantu sahabatnya itu. Soekarno dan Utari diterima dengan baik. Benih cinta timbul dari benak Bung Besar kala melihat Inggit Garnasih, istri Haji Sanusi.

Dalam tulisan bertajuk Bung Karno Mahasiswa di Bandung 1921, H. Rosihan Anwar mengungkapkan bagaimana Bung Besar jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat Soekarno melihat ruang kamar di dalam dan melihat tubuh seorang wanita dengan kembang merah di rambut dan senyum yang menyilaukan.

"Itulah istri Sanusi, Inggit Garnasih. Antara mahasiswa dan kostvrouw (ibu kos) itu terjadilah cinta pada pandangan pertama," katanya.

Walakin, Bung Besar dan Utari tidak lama tinggal di sana, karena harus kembali ke Surabaya. Bung Karno meninggalkan kuliahnya. Dia ke Surabaya karena mertuanya dituding terlibat peristiwa Afdeling B di Garut, Jawa Barat.

Di Surabaya, Bung Besar bekerja di perusahaan milik Hindia Belanda, Staat Spoor en tramwegen—kini PT. Kereta Api Indonesia. H.O.S. Tjokroaminoto dipenjara selama tujuh bulan, baru dibebaskan pada April 1922, karena terbukti tidak bersalah.

Soekarno balik Bandung

Ir. Sukarno dan Inggit Garnasih menghadiri rapat di Bandung pada 1926.

Soekarno kembali ke Bandung bersama Utari. Untuk kali kedua, dia mendaftar di Technische Hoogeschool de Bandoeng pada tahun akademik k-3, yakni 1 Juli 1922—30 Juni 1923. Mereka kembali indekos di rumah Haji Sanusi, berkumpul kembali bersama. Perasaan Soekarno dengan Bandung kembali bertaut.

Hubungan pernikahan Bung Besar dengan Utari tak lebih dari hubungan kakak-adik. Utari dianggap masih kekanak-kanakan. Berbanding terbalik dengan ibu kosnya yang sudah matang.

Rumah tangga Soekarno-Utari kandas. Bung Besar menceraikan Utari dan memulangkannya ke H.O.S. Tjokroaminoto, ke Surabaya. Ibu kosnya pun sama, bercerai dengan Haji Sanusi.

"Karena kesetiaan yang menjadi ikatan perkawinan sudah tidak ada lagi, kini giliran Haji Sanusi menceraikan Inggit. Sejak itu, terbukalah jalan menuju ke pelaminan. Keduanya menikah pada tanggal 24 Maret 1923. Ini berarti Soekarno baru saja sembilan bulan mengikuti perkuliahan di TH Bandung," kata Her Suganda dalam bukunya bertajuk Jejak Soekarno di Bandung (1921—1934).

Perbedaan usia tak menghalangi Soekarno (6 Juni 1901) mempersunting Inggit Garnasih (17 Februari 1888). Mereka menikah di rumah Ny. Amsi, ibu Inggit Garnasih, di Jalan Java Veem, letaknya tak jauh dari viaduct jalur kereta api.

Bung Besar lulus

Sukarno dengan anggota KNI Pusat pada 1947.

Soekarno menyelesaikan studinya di Technische Hoogeschool te Bandoeng pada 1926, dengan tugas akhir rancangan pelabuhan. Sebenarnya, dia lebih suka arsitektur. Bung Besar lulus sebagai insinyur sipil dengan 19 mahasiswa lainnya. Dia adalah satu dari empat insinyur sipil pribumi pertama.

Bung Besar merupakan mahasiswa kesayangan Guru Besar Technische Hoogeschool te Bandoeng Prof. C.P. Wolff Schoemaker. Ada ciri khusus bangunan yang dirancang Bung Besar, dalam Bung Karno Sang Arsitek yang ditulis Yuke Ardhiati, salah satu cirinya adalah penggunaan ventilasi alami melalui lubang ventilasi silang.

Seusai lulus dari Technische Hoogeschool te Bandoeng, Soekarno muda ogah bekerja di Burgelijke Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum) pemerintahan Hindia Belanda. Hal itu karena bentuk sikap politiknya yang noonkooperasi dan menentang penjajahan.

Selain dengan H.O.S. Tjokroaminoto, Bung Karno juga pernah menimba ilmu politik dari Tan Malaka, Semaun, Darsono, dan Kartosuwiryo. Saat menimba ilmu di Hooge Burgelijke School Surabaya.

Soekarno mengawali karier sebagai guru di sekolah swasta yang dijuluki Ksatrian Institut. Letaknya di Niewstraat—sekarang Jalan Ksatrian—nomor 1, Bandung. Dia mengajari 30 siswa di sana. Bung Besar memberi pelajaran sejarah. Salah satu muridnya adalah Anwar Tjokroaminoto.

Soekarno dan pergerakan

Ir. Sukarno.

Karier politik Soekarno muda bermula dari Algemene Studie club, bergabung pada 27 Juli 1927. Kala itu, baru berusia 25 tahun. Dia memimpin Perserikatan Nasional Indonesia, cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI). Pilihannya berbeda dengan mahasiswa lain yang menaruh minat ke Bandoengsch Studenten Corps atau Korps Mahasiswa Bandung.

Soekarno muda juga bergaul dengan dr. Tjipto Mangunkusumo. Dari pergaulan itu pula jejaring pertemanannya melebar. Bung Besar pun dikenalkan dengan E.F.E Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Moh. Natsir. dr. Tjipto Mangunkusumo merupakan guru politik dan guru spiritualnya. Semangatnya yang membara membuatnya pernah berpidato dalam sebuah rapat umum di Alun-alun Bandung.

Waktu pun bergulir, Soekarno mendirikan PNI. Selain Ketua Pengurus Besar PNI, dia juga menjabat sebagai Ketua PNI Cabang Bandung. Bioskop Elita yang letaknya di sebelah timur Alun-alun Bandung, adalah saksi sejarah diresmikannya PNI Cabang Bandung.

Pesona Soekarno membuat masyarakat Sunda dan masyarakat Priangan terpikat. Mereka mengagumi cara-cara Bung Besar menyampaikan gagasan. Dari Bandung pula, sapaan Bung Karno itu lahir.

"Salah satu bukti bagaimana kedekatan hubungan emosional masyarakat Priangan dengan Bung Karno sebagai pemimpinnya diabadikan dalam bentuk sebuah tugu peringatan oleh masyarakat Desa Cimaung, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung. Cimaung merupakan desa pegunungan yang terletak sekitar 30 kilometer selatan Kota Bandung. Masyarakat desa ini, yang berusia 70 tahun lebih, sangat boleh jadi masih bisa mengingat bagaimana Bung Karno membangkit kesadaran jiwa nasionalisme dengan bahasa Sunda yang sederhana. Selain itu, Bung Karno melakukan kegiatan baca tulis untuk memberantas kebodohan karena buta huruf," demikian kata Her Suganda dalam Jejak Soekarno di Bandung (1921—1934) hlm. 68—69.

Her Suganda juga bilang, gegap gempita Bung Karno dalam membangun kekuatan nasional telah menjadikan Bandung sebagai kiblat perjuangan kemerdekaan. Dalam sebuah kesempatan, Bung Besar bahkan pernah mengungkapkan alasan mengapa Bandung menjadi pilihannya.

"Untuk menaklukkan Nusantara, saya harus sekolah di Bandung," kata Soekarno kepada H.O.S. Tjokroaminoto.***

Sentimen: positif (100%)