Lengkap! Keputusan Rapat Dewan Gubernur Maret 2024: BI Rate Tetap 6%
CNBCindonesia.com Jenis Media: News
Jakarta, CNBC Indonesia - Dewan Gubernur Bank Indonesia kembali mempertahankan suku bunga acuan BI Rate di level 6%. Seiring dengan suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 19-20 Maret 2024 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 6,00%," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat konferensi pers Rabu (20/3/2024).
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, keputusan mempertahankan BI-Rate pada level 6,00% itu karena fokus kebijakan moneter BI saat ini pada stabilitas makro atau pro-stability, yaitu untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% pada 2024.
Meski begitu, kebijakan ini diiringi dengan kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau pro-growth demi mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Sementara itu, kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk tetap memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digi
"Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga," tegas Perry.
Keputusan kebijakan ini didasari dari kondisi perekonomian global yang tak kunjung membaik, berimplikasi pada masih besarnya ketidakpastian di pasar keuangan. Misalnya, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang masih tetap kuat ditopang oleh permintaan domestik. Menyebabkan tekanan inflasinya masih tinggi.
Sementara itu, prospek ekonomi China kata Perry juga tetap belum kuat, meskipun sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya didorong peningkatan stimulus fiskal.
Ketidakpastian perekonomian global ini juga didorong peningkatan harga komoditas yang didorong oleh naiknya biaya angkut karena ketegangan geopolitik dan ketatnya pasokan akibat faktor cuaca.
"Berbagai perkembangan tersebut mengakibatkan laju penurunan inflasi global tertahan, dengan inflasi di negara maju masih di atas targetnya. Suku bunga Fed Funds Rate (FFR) diprakirakan baru menurun pada semester II 2024," tegas Perry.
Ketidakpastian pasar keuangan global menurutnya masih tinggi tecermin pada yield US Treasury yang meningkat sejalan dengan premi risiko jangka panjang dan inflasi yang masih di atas prakiraan pasar.
Perkembangan ini mendorong berlanjutnya penguatan dolar AS secara global, lebih terbatasnya aliran masuk modal asing, dan meningkatnya tekanan pelemahan nilai tukar di negara emerging market.
"Kondisi tersebut memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global tersebut, termasuk di Indonesia," tutur Perry.
Di dalam negeri, Perry menilai, kondisi ekonomi masih kuat, didorong oleh permintaan domestik yang baik di konsumsi rumah tangga dan investasi. Investasi bangunan lebih tinggi dari prakiraan, ditopang oleh berlanjutnya Proyek Strategis Nasional (PSN) di sejumlah daerah dan berkembangnya properti swasta sebagai dampak positif dari insentif pemerintah.
Konsumsi rumah tangga dan investasi nonbangunan menurutnya juga masih terjaga, meskipun perlu terus didorong untuk mendukung berlanjutnya pemulihan ekonomi nasional. Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2024 berada dalam kisaran 4,7-5,5%.
"Ekspor barang diprakirakan belum kuat seiring penurunan permintaan dari negara mitra dagang utama, khususnya untuk komoditas CPO, besi baja, dan batu bara, sedangkan ekspor jasa khususnya pariwisata tumbuh kuat," ujar Perry.
Nillai tukar Rupiah menurutnya juga masuh melemah sebesar 2,02% dibandingkan dengan level akhir Desember 2023, meski lebih baik dibandingkan dengan Ringgit Malaysia, Won Korea, dan Baht Thailand yang masing-masing melemah sebesar 3,02%, 3,87%, dan 5,39%.
Dari sisi, inflasi Perry mengakui masih rentan, tercermin dari Indeks Harga Konsumen (IHK) Februari 2024 sebesar 2,75% (yoy), ditopang oleh inflasi inti yang rendah sebesar 1,68% (yoy) dan inflasi administered prices (AP) yang menurun menjadi 1,67% (yoy). Sementara itu, inflasi volatile food (VF) meningkat menjadi 8,47% (yoy) dari 7,22% pada bulan sebelumnya.
Inflasi bahan pangan bergejolak yang tinggi itu menurutnya dipengaruhi oleh dampak El-Nino, faktor musiman, dan pergeseran musim tanam, yang terutama terjadi pada komoditas beras dan cabai merah. Namun, ia meyakini Inflasi itu akan kembali menurun seiring dengan peningkatan produksi akibat masuknya musim panen dan dukungan sinergi pengendalian inflasi.
"Bank Indonesia akan terus memperkuat kebijakan moneter pro-stability dan meningkatkan sinergi kebijakan dengan Pemerintah Pusat dan Daerah sehingga inflasi tahun 2024 tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1%," tutur Perry.
Oleh sebab itu, dengan berbagai data tersebut Perry juga menetapkan sejumlah kebijakan di samping kebijakan suku bunga. Di antaranya, pengendalian stabilisasi nilai tukar Rupiah melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Lalu, penguatan strategi operasi moneter yang pro-market untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Perluasan pendalaman pasar uang dan pasar valas juga dilakukan melalui peningkatan volume dan jumlah pelaku transaksi repurchase agreement (repo).
Penguatan kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) juga terus dipertahankan dengan pendalaman suku bunga kredit berdasarkan sektor ekonomi. Sedangkan, penguatan aspek pelindungan konsumen dalam inovasi produk melalui kampanye literasi digital, termasuk melalui QRIS Jelajah Indonesia dan perluasan QRIS antarnegara untuk memperkuat sistem pembayaran.
[-]
-
Video: BI Ubah Nama BI7DRR Jadi BI Rate, Ini Sejarahnya
(arm/mij)
Sentimen: positif (97%)