Sentimen
Positif (99%)
10 Mar 2024 : 20.31
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Event: Ramadhan, Idul Adha 1441 Hijriah, Sidang Isbat 1 Syawal, sidang isbat

Grup Musik: APRIL

Institusi: UIN

Kab/Kota: Surabaya

Usul Sidang Isbat Ditiadakan, Benarkah Tak Berguna Tentukan Awal Ramadhan?

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

10 Mar 2024 : 20.31
Usul Sidang Isbat Ditiadakan, Benarkah Tak Berguna Tentukan Awal Ramadhan?

PIKIRAN RAKYAT - Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengusulkan agar sidang isbat penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri 2024 tidak perlu digelar. Sebab, jika menggunakan kriteria Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada tanggal tersebut sudah dipastikan tidak akan terlihat hilal.

"Posisi hilal masih di bawah 1 derajat, jelas hilal tidak akan terlihat kalau menggunakan kriteria MABIMS," ucapnya.

Sejak Januari, Muhammadiyah telah mengumumkan awal Ramadhan 2024 yang menandai dimulainya ibadah puasa. Begitu juga dengan awal Syawal yang menandai hari raya Idul Fitri 2024.

Oleh karena itu, sudah dapat dipastikan Ramadhan 2024 berdasarkan metode Kemenag akan dimulai 12 Maret 2024. Di sisi lain, Muhammadiyah yakin bila Hari Raya Idul Fitri versi pemerintah akan berbarengan dengan versi Muhammadiyah. Sebab pada akhir Ramadhan, hilal dipresdiksi sudah di atas 8 derajat.

“Insya Allah Idul Fitri akan bareng. Posisi hilal saat akhir Ramadan sudah di atas 8 derajat. Dengan posisi seperti itu, hilal sudah bisa dilihat jelas," kata Abdul Mu'ti.

Selain hemat waktu, Muhammadiyah berpendapat peniadaan sidang isbat dapat menghemat anggaran pemerintah. "Jadi tidak perlu sidang isbat, sehingga bisa hemat anggaran,” ujarnya.

Merujuk Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 1/MLM/I.0/E/2024, awal Ramadhan jatuh pada 11 Maret 2024 dalam kalender Masehi. Sementara awal Syawal bakal jatuh pada 10 April 2024.

Muhammadiyah menggunakan metode hisab atau penghitungan dalam menentukan tanggal-tanggal tersebut. Secara lebih spesifik, metode yang digunakan adalah hisab hakiki.

Hisab hakiki berpatokan pada peredaran bulan dan matahari secara hakiki atau sebenarnya, dengan kriteria wujudul hilal atau terbentuknya hilal, yakni bulan sabit tipis yang menandai awal bulan baru.

Metode yang digunakan Muhammadiyah berbeda dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan metode rukyatul hilal (rukyat) atau pemantauan hilal sebagai penentu keputusan akhir. Mudahnya, untuk menentukan awal bulan baru, hilal harus benar-benar terlihat mata.

"Nahdlatul Ulama sejak dulu menetapkan bahwa awal bulan Hijriah, termasuk Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha ditentukan dengan metode rukyatul hilal," ucap NU.

"NU juga melakukan metode hisab, tetapi bukan keputusan akhir. Karena menurut K.H. Ghazalie Masroeri, metode hisab hanya bersifat prediktif," ujarnya menambahkan.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia memakai metode hisab imkanur rukyat atau visibilitas hilal. Metode itu menggunakan penghitungan hari kalender Hijriah seperti dalam metode hisab, tapi tetap mengandalkan penampakan hilal secara langsung oleh mata untuk penetapan awal bulan.

Lebih lanjut, hilal harus berada di posisi minimal 3 derajat di atas ufuk dengan elongasi ( jarak sudut bulan-matahari) minimal 6,4 derajat. Ini sesuai dengan kesepakatan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) yang pertama diterapkan di Indonesia pada 2022. Kriteria MABIMS itu juga telah dijadikan pedoman oleh NU.

Respons pemerintah dan NU

Pemerintah menegaskan sidang isbat penting dilaksanakan sebagai bentuk kehadiran negara untuk menengahi perbedaan metode berbagai organisasi Islam di Indonesia dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal.

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah di Kementerian Agama, Adib mengatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama ataupun sekuler. Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa menyerahkan sepenuhnya urusan agama ke individu atau kelompok tertentu yang kerap memiliki metode dan standar berbeda dalam penentuan awal bulan Hijriah.

"Sidang isbat dibutuhkan sebagai forum bersama mengambil keputusan. Ini diperlukan sebagai bentuk kehadiran negara dalam memberikan acuan bagi umat Islam untuk mengawali puasa Ramadan dan ber-Lebaran," tuturnya.

Tidak hanya di Indonesia, sidang isbat juga dijalankan di negara-negara Arab setelah mendapat laporan hasil pemantauan hilal dari lembaga resmi pemerintah atau individu yang telah mendapat verifikasi. Bedanya, Indonesia menggunakan mekanisme musyawarah yang melibatkan seluruh peserta sidang isbat.

"Inilah yang menjadi nilai lebih, bahwa keputusan diambil bersama, nilai-nilai demokrasi sangat tampak dengan kehadiran seluruh ormas yang hadir pada saat sidang isbat," kata Adib.

Meski begitu, hasil sidang isbat pun tidak wajib diikuti seluruh umat Islam di Indonesia. Setiap orang berhak memulai ibadah puasa dan merayakan Lebaran sesuai dengan tanggal yang ditetapkan berdasarkan metode yang diyakininya.

"Untuk menyamakan kriteria ini kan memang belum ketemu. Oleh karena itu, maka sikap yang kita harus bangun adalah sikap saling pengertian, legawa untuk bisa berbeda," ujar Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

"Dan, itu sudah lama kita biasa berbeda. Jadi masing-masing saja," ucapnya menambahkan.

Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa sidang isbat adalah tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad dan tak terpisahkan dari sejarah Islam. Sehingga, "mustahil" untuk meniadakannya.

Dengan menggelar sidang isbat, pemerintah Indonesia telah mengambil jalan tengah yang cukup baik.

"Jadi, penetapan tetap di tangan pemerintah, tetapi ada ruang bagi organisasi masyarakat yang mempunyai metode penetapan berbeda untuk tetap diberikan opsi itu," kata Ulil Abshar Abdalla.

"Kalau kita tengok di dalam sejarah Islam, ndak ada itu ruang bagi organisasi seperti Muhammadiyah, misalnya, untuk menetapkan tanggal. Itu ndak ada. Ini kreasi Indonesia. Jadi, Indonesia sebagai negara membuka peluang untuk adanya perbedaan pendapat dalam penetapan bulan ini oleh organisasi dan tidak masalah," tuturnya menambahkan.

Benarkah Sidang Isbat Tak Berguna?

Merujuk hasil studi dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Siti Tatmainul Qulub, penentuan awal Ramadhan diserahkan pada kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Indonesia pada masa penjajahan Belanda.

Setelah Indonesia merdeka, barulah penetapan awal Ramadhan dan Syawal diserahkan pada Departemen Agama yang kini menjadi Kementerian Agama. Departemen tersebut terbentuk pada Januari 1946.

Akan tetapi, hal itu tak serta-merta membuat praktik di lapangan seragam. Terutama, karena perbedaan pemahaman terkait metode hisab dan rukyat.

Departemen Agama lantas membentuk Badan Hisab dan Rukyat (BHR) pada Agustus 1972, dengan maksud menjaga persatuan dan persaudaraan sesama Muslim dalam beribadah dan mempersatukan paham para ahli hisab dan rukyat.

Meski BHR baru terbentuk pada 1972, arsip Departemen Agama menunjukkan sidang isbat telah dilaksanakan sejak setidaknya 1962. Sejak itu, perbedaan berulang kali muncul antara tanggal yang ditetapkan pemerintah dan Muhammadiyah.

"Perbedaan sering kali terjadi pada saat posisi-posisi hilal awal bulan sedikit berada di atas ufuk, yaitu antara 0-2 derajat," ucap Siti Tatmainul Qulub dalam studinya.

Setelah lebih dari setengah abad berdiri, BHR pun hingga kini belum berhasil menyeragamkan sistem hisab dan kriteria penetapan awal bulan. Menurutnya, salah satu alasan adalah karena setiap kelompok aliran Islam 'masih mengedepankan ego masing-masing dan tidak mau mengalah untuk kemaslahatan bersama'.

"Banyak dari mereka yang masih mengandalkan ego masing-masing dan ingin lebih menonjol daripada yang lain walaupun tidak berbasis objektif ilmiah," ujar Siti Tatmainul Qulub.

Aktivis dari Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP), Ahmad Nurcholish mengatakan bahwa pengikut militan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah memang cenderung menjalankan keputusan organisasi tanpa peduli dengan hasil sidang isbat.

Akan tetapi, itu bukan berarti sidang isbat sama sekali tak berguna. Selain menunjukkan kehadiran negara, hasil sidang juga tetap menjadi acuan bagi sejumlah umat Islam, utamanya yang tak tergabung ke dua organisasi besar tersebut.

"Kita kan juga tidak bisa mengabaikan, ada masyarakat di luar dua ormas itu kan. Di antara mereka, pasti ada juga yang menunggu penetapan dari pemerintah," kata Ahmad Nurcholish, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari BBC.***

Sentimen: positif (99.8%)