Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Senayan
Kasus: PDP
Tokoh Terkait
Anomali Suara Partai Tertentu Mendadak Meroket
iNews.id Jenis Media: Nasional
Dr KRMT Roy Suryo
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen
PEMBERITAAN dihebohkan dengan adanya anomali (baca: keanehan yg tidak logis) dalam 2 hari terakhir, dari perolehan suara partai di rekapitulasi real count KPU yang meroket tajam. Sebab bukannya ekonomi yang diharapkan meroket seiring dengan naiknya harga bahan-bahan pokok belakangan ini, namun perolehan angka segelintir partai malahan yang justru meroket, sementara partai lain tampak landai-landai saja.
Kata "meroket" ini memang legendaris, mengingatkan kita pada janjinya saat awal-awal berkuasa dahulu. Saat itu (2015) di depan banyak wartawan, kalimatnya adalah, "Sekarang Juni, Juli, nanti mulai agak meroket itu September, Oktober. Wuh, nanti pas November Desember itu begini ..." sambil memperagakan tangan yang bergerak menunjuk ke atas. Walhasil saat itu ekonomi kita tidak pernah meroket bahkan hingga sekarang, tidak pernah ada pernyataan maaf atau minimal penyesalan atas kalimat yang lebay dan tidak pernah terbukti tersebut.
Namun sekarang kata "meroket" itu memang benar-benar sedang terjadi pada perolehan partai tertentu (contohnya PSI & Partai Gelora), di mana menunjukkan akselerasi yang luar biasa cepat dan tajam dibandingkan dengan perolehan partai-partai lain yang cenderung landai atau bahkan stagnan (untuk tidak menyebutnya "berhenti"). Hal ini memang aneh, sebab kecenderungan/tren pergerakan perolehan partai biasanya masih akan berjalan serempak mengikuti pola perolehan yang sudah ada. Bahwa ada satu, dua yang kemungkinan saling fluktuatif bisa dimaklumi, namun jarang atau bahkan tidak mungkin hanya partai tertentu saja yang naik sedangkan lain-lainnya tidak.
Hal senada disampaikan Prof Burhanuddin Muhtadi, yang selama ini dikenal sebagai Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, sampai-sampai yang bersangkitan mengatakan "... Saya tidak paham" (anomalii ini). Ini menarik dan perlu dicermati, sebab kalau saja sampai seorang profesor tokoh lembaga survei terkenal yang selama ini banyak makan asam garam soal statistik saja tidak paham, terus siapa sebenarnya yang paham atas anomali tersebut? Dengan kata lain, anomali ini di luar batas kewajaran alias merupakan sebuah "hil yan mustahal" kalau meminjam istilah dari pelawak Srimulat Almarhum Asmuni untuk menunjukkan sebuah hal yang mustahil.
Penjelasannya adalah biasanya (dan memang sudah menjadi kelaziman sebuah hasil nyata dari perhitungan suara), kalau data yang masuk sudah di atas 60 persen, bahkan 70 persen maka volatilitas yang terjadi tidak akan bisa ekstrem. Artinya pergerakan angka yang diperoleh akan cenderung "serempak" dan bergerak bersama (satu naik, lainnya pun ikut naik, meski masih dalam simpangan margin error). Sangat jarang atau bahkan mustahil bilamana ada 1 atau 2 saja yang mendadak naik tajam, sedangkan yang lain melandai atau bahkan stagnan.
Volatilitas adalah ukuran perubahan statistik dalam periode tertentu. Sebutan lain untuk volatilitas adalah mood, karena volatilitas dapat digunakan sebagai acuan untuk memperkirakan peluang maupun risiko, namun tetap bukan patokan yang pasti. Dalam hal ini, volatilitas erat kaitannya dengan beta dan deviasi standar. Seringkali volatilitas dipakai dalam dunia saham karena bisa menjadi acuan. Volatilitas saham adalah hasil perhitungan deviasi standar tahunan yang ditujukan untuk mengukur risiko saham pada periode berikutnya.
Bila dicermati, partai yang paling banyak mengalami peningkatan perolehan yang tidak wajar ini adalah PSI. Partai yang dalam berbagai iklan, baik cetak maupun elektronik, mengklaim "Partainya Bapaknya Ketumnya" ini memang sangat fenomenal. Dimulai dari penunjukkan ketuanya dari anggota yang baru bergabung 2 hari saja, pelaporan pengeluaran keuangan oartai yang sempat dipertanyakan (karena sama sekali tdak wajar, hanya ratusan ribu rupiah dari masifnya iklan di berbagai media), dsb.
Secara detail, pada 15/02/24 suara PSI masih 2,68 persen, namun tanggal 01/03/24 suara PSI sudah 3,02 persen. Bahkan ketika pukul 10.00 WIB mencapai 2.319.968 atau sekitar 3,03 persen, kemudian pukul 16.00 WIB sudah 2.393.774 (bertambah 83.343) alias sudah 3,12 persen. Pertambahan jumlah 83.000 ini hanya dari 110 TPS saja sudah tidak masuk akal sehat. Sebab jika dihitung (83.343 dibagi 110, maka perolehan PSI di setiap TPS mencapai 757 lebih, padahal 1 TPS rata-rata hanya berisi 250 sd 300 suara saja).
Hal ini juga diakibatkan karena sistem "automatic cutter" di setiap TPS yang seharusnya hanya 250 sd 300 tsb (sengaja?) dihilangkan di Sirekap, sehingga perolehannya bisa tidak wajar. Ratusan hingga bahkan ada ribuan untuk 1 TPS saja. Sulit dimengerti memang bila hal ini hanya senata-mata dianggap sebagai sebuah kesalahan teknis belaka, karena pola yang berjalan bisa disebut terjadi secara TSM (Terstruktur Sistematis Masif) karena saling terkait dan mendukung.
Belum lagi kalau melihat modus lain, misalnya ada partai lain yang justru dikurangi suaranya, ini benar-benar tidak bisa disebut sebagai sebuah kebetulan semata.
Apakah hal di atas terjadi katena ingin memaksakan "janji" yang diucapkan di iklan-iklan elektroniknya? Bisa saja terjadi. Karena sebagaimana diketahui bersama dan sudah menjadi rahasia umum, salah satu narasi di iklan elektroniknya tersebut (selain "menang, pasti menang") adalah "Di 2024 masuk Senayan". Artinya batas Parliamentary Threshold sebesar 4 persen mau tidak mau harus dilewati agar tidak malu karena telanjur diucapkannya secata terstuktrur kemarin.
Pembuatan iklan elektronik yang masif ditayangkan di banyak media elektronik tsb tentu juga bukan hal yang kebetulan, pasti sudah dirancang secara sistematis karena menyangkut pejabat negara yang digunakan dalam sosok iklannya.
Kesimpulannya, anomali ini terjadi secara tidak wajar dan sulit dimengerti oleh akal orang waras (apalagi sekelas profesor yang sampai "tidak paham" di atas). Terlebih "didukung" oleh karut marutnya Sirekap yang menambah peluang hal tersebut terjadi.
Oleh karenanya statement saya tetap tegas dan tidak berubah: Segera audit forensik IT KPU dan sekaligus audit investigatif Sirekap, karena jika auditornya independen dan terpercaya, pasti akan menemukan "backdoor" yang sudah selama ini disebut-sebut sebagai hal teknis yang dapat dimanfaatkan secara politik. Sebab jika KPU menolak audit tersebut, jelas-jelas telah terjadi pelanggaran serius terhadap UU KIP (Keterbukaan Infornasi Publik) Nomor 14/2008, selain UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) No. 27/2022 saat diketahui bahwa data-data yang disimpan sempat ditaruh dalam cloud milik Aliyun Computing Alibaba.com Singapore (sebelum dipindah diam-diam) ke Indonesia kemarin.
Editor : Anton Suhartono
Follow Berita iNews di Google News
Bagikan Artikel:
Sentimen: negatif (100%)