Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Institusi: UIN
Kab/Kota: Gunung, Senayan
Kasus: mafia tanah
Reshuffle Momen Rekonsiliasi Politik Jokowi dan Demokrat
Detik.com Jenis Media: News
Perombakan kabinet (reshuffle) yang dilakukan Jokowi pada Rabu (21/2/2024) lalu menjadi momen spesial rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Partai Demokrat. Apapun judulnya, Demokrat merujuk pada nama besar Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Berkah terbesar dari islah politik ini tentu AHY didapuk sebagai Menteri ATR/BPN di 8 bulan pemerintahan tersisa.
Jadi, secara politik Jokowi ibarat sekali mendayung tiga pulau terlampaui. Berdamai dengan tiga hal sekaligus. Yakni dengan Demokrat secara kelembagaan, SBY, dan AHY. Praktis sejak jadi menteri AHY mulai menunjukkan loyalitasnya ke Jokowi. Bukan hanya bertekad menggebuk mafia tanah dalam 100 hari kinerjanya, melainkan AHY juga secara kelembagaan menjadi pembela terdepan menolak usulan hak angket yang sedang bergulir.
Tentu sikap politik AHY berbeda secara diametral dengan sikap politik Demokrat yang selama 9 tahun berada di luar kekuasaan. Menyalak sepanjang saat mengkritisi setiap jengkal kebijakan politik Jokowi. Mulai dari pembangunan IKN yang dinilai membebani anggaran negara, pembangunan infrastruktur yang dituding ugal-ugalan, kondisi demokrasi yang mundur, isu begal Demokrat, hingga tuduhan pemilu 2024 yang sudah diseting jumlah paslon yang bakal bertanding.
Bahkan Juni lalu SBY menulis buku maha dahsyat dan paling spektakuler sepanjang abad ini. The President Can Do No Wrong. Pilpres 2024 dan Cawe-Cawe Presdien Jokowi. Intinya, SBY menyoroti manuver politik Jokowi yang ditengarai terlampau jauh mengintervensi persoalan politik elektoral. Tak sepantasnya dilakukan seorang presiden yang masih aktif karena rentan abuse of power. SBY keras mengkritik Jokowi.
Itu sikap politik SBY, AHY, dan Demokrat dahulu. Kini, cuaca politik berubah total. Rekonsiliasi politik terjadi dalam sekejap. Tak ada yang menyangka, tak ada yang menduga, tiba-tiba saja Demokrat dan Jokowi berkongsi dalam satu kolam koalisi bersama. Mengubur segenap perbedaan yang mengeras tajam cukup lama. Ternyata, politik bisa melenturkan segalanya. Sesuatu yang sekeras baja sekalipun bisa melunak seketika.
Menebak MotifDalam politik pasti ada mutual interesting yang saling menguntungkan untuk menjaga keseimbangan politik. Jokowi butuh Demokrat dan Demokrat butuh Jokowi. Hukum alam dalam perkongsian politik. Tak mungkin berat sebelah. Politik sesimpel itu saja. Ada titik temu kepentingan yang menjadi lem perekat keduanya berkoalisi.
Dari segi Jokowi dua hal yang bisa dibaca. Pertama sebagai reward kepada AHY yang terlihat begitu total bekerja memenangkan pasangan Prabowo-Gibran sepanjang kampanye pilpres 2024. Semua instrumen politik Demokrat dimaksimalkan mengampanyekan paslon nomor 2 secara masif. Tak ketinggalan SBY turun gunung terutama di basis-basis pendukung partai berlambang Mercy.
Sedangkan yang kedua sebagai upaya membendung usulan hak angket yang digulirkan partai pengusung AMIN dan Ganjar-Mahfud. Hak angket menjadi isu liar yang sangat meresahkan karena isunya bisa merembet ke segala penjuru arah mata angin. Bukan hanya isu kecurangan pemilu tapi bisa merembet ke isu pemakzulan presiden.
Meski hanya sebatas wacana, isu hak angket tentu bikin tak nyaman. Hingga sebelum AHY dilantik jadi menteri, posisi Demokrat masih oposan. Kalkulasi kekuatan politik yang tegak lurus ke Jokowi hanya Gerindra, Golkar, dan PAN. Kekuatan gabungan ketiga partai ini tak dominan di Senayan. Sangat riskan dan rentan hak angket berjalan mulus.
Pada level kepentingan Demokrat bisa ditafsirkan dua hal sekaligus. Pertama tentu sebagai panggung politik menunjukkan kualitas kepemimpinan AHY. Suka tak suka AHY belum pernah teruji, belum bisa dinilai sebagai pejabat publik selama ini. AHY belum pernah terpilih sebagai kepala daerah, anggota dewan, menteri, dan pejabat publik lainnya yang official elected dalam pemilu.
Kedua sebagai kebutuhan mengakses sumber daya ekonomi politik. Harus diakui menjadi oposisi 9 tahun membuat Demokrat berjalan di tempat sunyi. Saluran terhadap ekonomi politik kering kerontang. Tak ada sumber daya (resource) yang bisa dikapilitalisasi untuk kepentingan politik elektoral. Apapun dalihnya, banyak partai yang menggantungkan kekuatan dan masa depan partai mereka dengan mengakses kekuasaan. Hal alamiah dalam politik yang berbiaya sangat mahal.
Jalan Panjang AHYAHY bisa sampai pada posisi saat ini, sebagai menteri ATR/BPN, tentu setelah menempuh jalan yang begitu panjang, berliku, dan mendaki. Karir politik AHY terlihat stagnan setelah kalah pilkada Jakarta 2017. Tak ada yang bisa membayangkan karir politik AHY seperti apa mengingat negara ini surplus nama-nama besar lain yang dalam banyak hal menenggelamkan nama AHY di setiap percaturan politik.
AHY juga sempat berupaya menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto maju pilpres 2019. Namun gagal lantaran Prabowo lebih memilih Sandiaga Uno sebagai pendamping menantang Jokowi untuk yang kedua kalinya. Demokrat marah besat saat itu, merasa hanya diberikan harapan palsu, menyebut Prabowo Jenderal Kardus. Tapi kini, seakan Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK), Demokrat berkongsi kembali dengan Prabowo untuk 5 tahun mendatang.
AHY tak patah arang. Upaya untuk terus tampil di belantika politik nasional terus diupayakan. Membangun komunikasi yang cukup lama dengan Anies Baswedan, berharap bisa duet di pilpres 2024, punya chemistry sama, suasana hati yang serupa sebagai oposan, sama-sama lantang menyalak Jokowi, tapi nyatanya harapan AHY bisa maju pilpres kandas lagi. Anies Baswedan justeru memilih bersanding dengan Muhaimin Iskandar.
Mungkin inilah takdir politik yang harus dijalani AHY saat ini. Memulai karir politiknya sebagai menteri, bukan langsung di jantung kekuasaan sebagai calon presiden atau wakil presiden. Jadi menteri Jokowi, lalu kemudian lanjut menteri Prabowo Subianto untuk terus merawat stamina politiknya. Hanya ini satu-satunya jalan yang ditempuh agar AHY punya panggung politik yang stabil.
Selama jadi menteri Jokowi, termasuk ketika jadi menteri Prabowo (mungkin) nanti, tak ada pilihan lain bagi AHY selain harus mampu menunjukkan kelasnya sebagai pembeda dalam urusan kinerja. Tentu untuk memberikan kesan bahwa AHY kinerjanya bagus. Posisi menteri yang didapat bukan hanya hadiah politik, tapi lebih pada kepercayaan AHY bisa diandalkan bekerja. Lima tahun ke depan adalah eksposur politik, semacam pembuktian, kinerja AHY.
Semua ini bisa terjadi karena diktum yang berlaku 'Tak perlu lagi meributkan warna kucing. Yang penting kucing itu, apapun warnanya, bisa menangkap tikus'. Dengan kata lain, bagi Demokrat dan AHY warna idiologi politik tak lagi penting, yang terpenting dalam politik bagaimana mengakses segala sumber kekuasaan.
Adi Prayitno. Ketua Laboratorium Politik FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik.
(rdp/rdp)Sentimen: negatif (100%)