Petani Menyesalkan Keputusan Jokowi Impor Beras Saat Panen Raya
Tirto.id Jenis Media: News
Ketua SPI, Henry Saragih, mengatakan impor beras tersebut merupakan akibat dari lambatnya pemerintah mengambil kebijakan perberasan.
Menurutnya, kondisi ini terjadi karena rentetan Bulog yang tidak menguasai cadangan beras pemerintah (CBP) dari tahun lalu dan masalah ini berlanjut sampai tahun ini. Sehingga Bulog tidak bisa menjadi satu kekuatan yang bisa mengintervensi pasar.
‘‘Kami menyesalkan langkah pemerintah mengambil kebijakan impor beras. Ini merupakan buah dari buruknya pemerintah dalam menangani persoalan pangan, yang hampir tiap tahun selalu berulang,” kata Henry dalam pernyataan resmi, Senin (27/3/2023).
Dia menambahkan, pemerintah sebelum memutuskan impor beras harus terlebih dahulu memperbaiki peran, fungsi dan cara kerja Bulog dalam menjalankan tugasnya sebagai CBP, baik dalam menyerap gabah petani atau mendistribusikannya.
Menurut Henry, berapa banyak cadangan pangan pemerintah ini haruslah dibuat aturannya. Baik 10 persen dari kebutuhan beras nasional atau berapapun. Dia menegaskan masalah pangan ini akibat keteledoran pemerintah mengurus pangan dan Bulog sejak 2022 tidak melakukan tugasnya.
Seharusnya persoalan CBP pemerintah bisa diantisipasi jauh-jauh hari. Akan tetapi pemerintah lambat merevisi harga pembelian pemerintah (HPP) di tingkat petani sehingga penyerapan beras tidak maksimal.
Jika dilakukan secara terukur jauh-jauh hari, tentu petani akan mempertimbangkan untuk menjual gabahnya ke Bulog. Saat ini penyerapan Bulog sangat kecil sekitar 55 ribu ton. Padahal, Bulog diberi mandat oleh pemeirntah untuk menyerap 70 persen pada saat panen raya, dari target 2,4 juta ton hingga akhir tahun.
Dia menjelaskan para petani sampai saat ini mengusulkan agar nilai HPP tetap di Rp5.600 per kg karena biaya produksi sudah Rp5.050 per kg.
Kemudian, angka harga eceran tertinggi (HET) beras terlampau tinggi sekali. Dia menilai hendaknya HET diturunkan agar harga beras tidak seperti sekarang ini terlampau mahal di tangan konsumen dan menjadi peluang bagi korporasi pangan besar menjadi spekulan.
Henry menambahkan, kebijakan impor pangan ini tidak berada di momen yang tepat karena saat ini di beberapa wilayah Indonesia tengah panen raya.
Meskipun ditujukan sebagai CBP dan untuk program bantuan sosial, Henry menyebut pengumuman impor beras dalam waktu dekat ini pasti berpengaruh, baik itu secara psikologis maupun langsung terhadap harga di tingkat petani.
"Pemerintah seharusnya belajar dari peristiwa surat edaran Badan Pangan Nasional lalu, yang langsung berimplikasi pada turunnya harga gabah di tingkat petani," imbuhnya.
Henry menilai, pemerintah masih belum maksimal dalam mengeluarkan kebijakan perberasan yang berpihak pada nasib petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.
"Mulai dari sisi produksi, kita melihat pemerintah belum maksimal menjalankan reforma agraria yakni meredistribusikan tanah kepada petani Indonesia yang mayoritas gurem," jelasnya.
"Pemerintah juga belum berhasil menstabilkan harga pupuk maupun sarana produksi lainnya," sambungnya.
Dia mengatakan, pemerintah terkesan mengambil jalan pintas dengan terus mengandalkan impor pangan untuk mengatasi permasalahan pangan di Indonesia. Hal ini semakin menjauhkan pemerintah pada prinsip kedaulatan pangan.
Lebih lanjut, Henry menjelaskan Kedaulatan pangan seharusnya menjadi paradigma utama pembangunan pertanian di Indonesia. Hal Ini sebenarnya sudah tercantum di dalam UU Pangan, di mana keharusan untuk mengutamakan produksi dalam negeri dan menjadikan impor sebagai alternatif terakhir.
"Apakah ini menunjukkan pemerintah sudah mau menerapkan Perppu Cipta Kerja yang baru disahkan DPR yang isinya merubah isi pasal UU pangan perihal impor pangan," pungkasnya.
Sentimen: netral (66.3%)