Sentimen
Positif (61%)
19 Feb 2024 : 23.27
Informasi Tambahan

Agama: Katolik

Institusi: Universitas Indonesia, Universitas Udayana

Kab/Kota: bandung

Kasus: HAM

APHA Siap Bantu Pemda Susun Perda Adat terkait KUHP Baru

19 Feb 2024 : 23.27 Views 1

Gatra.com Gatra.com Jenis Media: Nasional

APHA Siap Bantu Pemda Susun Perda Adat terkait KUHP Baru

Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia siap membantu pemerintah daerah (Pemda) menyusun peraturan daerah (Perda) tentang pidana adat terakait implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.

APHA Indonesia yang kembali diketuai oleh Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum. setelah dikukuhkan bersama jajaran kepengurusannya untuk periode 2023–2028, di antaranya Sekjen Dr. Rina Yulianti dan Wakil Sekjen (Wasekjen) Dr. Ummu Salamah, S. Ag, M.H. menyatakan sikap tersebut menanggapi masukan dari seminar nasional di Bandung, Jawa Barat (Jabar).

Pada intinya, para narasumber menyampaikan pentingnya peran pemda dalam implementasi KUHP baru, yaitu membentuk produk hukum berupa perda berkaitan dengan pidana adat.

APHA Indonesia dalam keterangan pers, Minggu (18/2), menyampikan, pihaknya menggelar seminar nasional bertajuk “Dinamika Peradilan Adat di Indonesia Pascaberlakunya KUHP Baru” bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar) Bandung.

Adapun para narasumber dalam seminar tersebut, yakni Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D., Guru Besar FH Unpar Prof. Dr. Dr. Rr. Catharina Dewi Wulansari, PhD, S.H., M.H., S.E., M.M., dan Guru Besar FH Universitas Udayana Prof. Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H., serta Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, Singgih Budi Prakoso, S.H., M.H. Mereka mengupas keberadaan peradilan adat sehubungan dengan diberlakukannya KUHP baru di Indonesia.

Mereka juga memberikan masukan kepada pemerintah terkait dengan peraturan pelaksana ketentuan peradilan adat guna memberikan kepastian hukum bagi masyarakat serta mencegah terjadinya konflik terkait pemberlakuan ketentuan tersebut.

UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru yang akan berlaku pada 2 Januari 2026, tegas mengakui hukum adat. Ini tertuang dalam Pasal 2, yakni hukum yang hidup dalam masyarakat berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam UU, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum yang diakui manusia beradab.

Pasal 597 KUHP baru lebih lanjut menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang diancam dengan pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat.

Prof. Topo Santoso menyampaikan, KUHP baru memberikan ruang bagi pidana adat sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih hidup dalam masyarakat.

Hukum adat tersebut berlaku di tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam KUHP dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia (HAM), dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

Prof. Topo menegaskan bahwa hukum adat yang berlaku didasarkan pada penelitian empiris dan akan ditegaskan dalam perda serta tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan peraturan pemerintah (PP).

Adapun Singgih Budi Prakoso mengatakan, pada hakikatnya, UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP, telah mengakomodir eksistensi pidana adat. Hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dapat menentukan bahwa seseorang patut dipidana, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam UU. No.1 Tahun 2023 tentang KUHP.

“Putusan pidana adat mempunyai kekuatan magis, daya efek jera, dan rasa malu yang kuat, sehingga mempunyai kekuatan recovery yang lebih dahsyat untuk tidak mengulangi lagi,” katanya.

Singgih lebih lanjut menyampaikan, putusan pidana adat juga efektif karena tidak ada banding dan bersifat mengikat, proses persidangan relatif singkat, sederhana dan tentunya berefek pada biaya ringan.

Menurutnya, putusan adat mempunyai kekuatan yang dahsyat, efektif untuk kembali pada keadaan semula, sekaligus dapat memutus rasa dendam, menghilangkan rasa jengkel masyarakat, sehingga kondisi masyarakat serasa nyaman, tentram, dan damai.

Adapun Prof. Ari Atu Dewi menyampaikan, apabila hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dalam perda secara rinci maka karakteristik dan kemurniannya akan hilang.

Atas dasar itu, kata dia, diperlukan pendekatan untuk menghormati dan melindungi hukum adat untuk tetap hidup dan berkembang dengan norma hukumnya sendiri serta sejalan dengan filosofi bangsa dan negara.

“Konsep living law menekankan pada fleksibelitas dan adaptasi hukum. Apabila terlalu banyak perubahan dan interpretasi yang terjadi, maka akan timbul ketidakpastian hukum dan akibatnya masyarakat akan sulit memahami dan mematuhi hukum,” ujarnya.

Menurutnya, dalam penerapan living law, penegakan hukum bisa menjadi sulit karena adanya interpretasi yang bervariasi terhadap hukum yang ada. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian dalam penegakan hukum dan ketidakadilan dalam sistem peradilan.

“Berkaitan dengan living law [hukum adat] dalam KUHP baru, dalam konteks penerapan harus dilakukan hati-hati dan seimbang, mengingat living law dengan ciri fleksibelitas dan adaptasi dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum,” katanya.

Sementara itu, Prof. Catharina Dewi menyampaikan, substansi hukum adat harus diatur dalam perda. Apabila pemda tidak mau mengaturnya, maka hukum adat sulit untuk diterapkan. Pasalnya, formulasi hukum adat yang dilakukan oleh hakim belum tentu sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat adat.

“Akibatnya sulit untuk dapat terwujudnya penguatan hukum adat yang ideal dalam upaya penyelesaian perkara adat,” ujarnya.

Menurut Prof Dewi Wulansari, Pasal 2 Ayat (2) KUHP baru apabila dianggap sebagai suatu pengakuan mengenai eksistensi living law mengandung multi interpretasi dan tidak jelas sehingga penggunaan living law secara semena-mena.

“KUHP tidak memberikan batasan yang jelas mengenai hukum yang mana yang diterapkan karena setiap masyarakat adat mempunyai hukum yang berbeda antara satu sama lain,” katanya.

36

Sentimen: positif (61.5%)