Sentimen
Negatif (100%)
14 Feb 2024 : 05.04
Informasi Tambahan

Event: Pemilu 2019

Sutradara Dirty Vote Bongkar Ide Pembuatan Film

14 Feb 2024 : 05.04 Views 5

Harianjogja.com Harianjogja.com Jenis Media: News

Sutradara Dirty Vote Bongkar Ide Pembuatan Film

Harianjogja.com, JAKARTA—Film Dirty Vote masih menjadi trending topik menjelang pemilu 2024. Selama dua hari sejak pemutaran, film ini sudah disaksikan oleh 7,15 juta penonton.

Film ini membahas tentang bagaimana munculnya dugaan kecurangan dalam pemilu, terutama menuju pemilu 2024, yang dilakukan baik oleh para calon sendiri sampai dari institusi pemerintahan seperti Mahkamah Konstitusi, KPU, dan Bawaslu.

Film yang dibuat oleh Dandhy Laksono itu dibintangi oleh tiga Ahli Hukum Tata Negara, Zainal ARifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti.

BACA JUGA: 3 Pakar Hukum dan Sutradara Dirty Vote Dilaporkan ke Polisi

Kemunculan "Dirty Vote" juga memantik komentar dari berbagai pihak, disebut menyudutkan pihak tertentu, bahkan disebut sebagai film "fitnah", walaupun 80% isinya adalah kliping data.

Ide Pembuatan "Dirty Vote"

Dandhy mengungkapkan dalam Wawancara Eksklusif Sutradara Dirty Vote di akun Youtube Indonesia Baru, bahwa ide pertama pembuatan film ini berawal dari kegelisahan banyak orang yang melihat berita soal kecurangan pemilu yang sudah menjadi makanan sehari-hari.

"Mulai dari soal menteri yang kampanye, menteri yang tak malu-malu mengatakan bantuan sosial dari presiden. Kok kayaknya kita jadi hancur standar normalnya," ujarnya, dikutip Selasa (13/2/2024).

Dandhy mengungkapkan, dia lahir di era kepemimpinan Presiden Soeharto dan kemudian mengalami reformasi. Konflik kepentingan dan apa yang terjadi hari ini menurutnya bisa dikatakan tidak normal.

"Tapi karena dibikin jadi kabar setiap hari, jadi kaya "oh, this is another bad thing" tapi kita akhirnya merasa normal. Ibaratnya kaya air dingin yang kalau tiba-tiba disiram air panas kan gelasnya pecah, tapi ini air panasnya disiram pelan-pelan tiap hari, kita sampai nggak sadar, air di gelas itu sudah panas," ungkapnya.

Lebih lanjut Dandhy mengatakan, mulai dari kecurangan ini itu, aparat yang tidak netral, bahkan presiden dan ibu negara yang membuat gestur tidak netral dengan mengeluarkan dua jari dari dalam mobil kepresidenan, itu lama-lama dianggap normal oleh masyarakat. Hingga puncaknya adalah kasus di MK.

Seperti yang digambarkan di Dirty Vote, Dandhy melihat bagaimana banyak orang berusaha mengubah ketentuan syarat menjadi presiden, mulai yang seharusnya punya suara 20% di parlemen.

"Jadi kalau bukan Anak Sultan, atau pamannya Ketua MK, orang biasa nggak mungkin bisa maju. Kalaupun mau maju harus meyakinkan partai-partai besar untuk dukung, dan partai besar butuh biaya besar," paparnya.

Dari dan sistem yang sudah tidak adil bagi seluruh rakyat itu, sempat ditentang 31 kali oleh berbagai pengacara publik, partai,dan politikus, yang berusaha menjebol pagar MK, aturan tersebut tetap bergeming, bertahan.

Namun, tiba-tiba ada satu permohonan mengubah syarat pencalonan presiden yang sudah berat tadi itu, dengan umur dibikin muda, termasuk syarat berpengalaman jadi kepala daerah, tapi kemudian spesifik harus pernah atau sedang menjabat, dan langsung dikabulkan, tepat menjelang masa pencalonan.

"Saya nggak ada masalah dengan aturan umur, bagus sebetulnya. Tapi kemudian semua perubahan itu berlaku seketika, dari yang sebelumnya nggak jebol-jebol. Jadi semua cerita ini lewat di hadapan kita, terus saya pikir kayanya kita perlu strategi untuk membuat apa yang lewat tiap hari jadi sesuatu yang bisa kita lihat dari jarak yang baik sehingga bisa lebih jelas," imbuhnya.

Kemudian, Dandhy menyebutkan, salah satu yang akhirnya membuatnya yakin ingin menjadikan isu ini menjadi film adalah podcast Feri Amsari. Dalam podcastnya Feri bercerita soal kecurangan pemilu, yang membuat Dandhy terpancing, padahal politik bukan hal yang dia pedulikan.

BACA JUGA: Rosan Roeslani Laporkan Connie ke Bareskrim Polri

"Tapi masalahnya masih ada orang yang masih percaya sistem demokrasi, padahal pemilu itu sirkulasi elit, momen untuk gantian berkuasa. Jadi nggak dicurangin pun sudah bias. Nggak dicurangin pun sistem pemilu kita ini udah nggak fair, karena menutup banyak kesempatan orang-orang berpartisipasi dalam politik. Sistem yang udah nggak fair ini malah dicurangi bertubi-tubi banget dan daya hancurnya pada demokrasi besar sekali. Ya sudah saya putuskan itu baru kepikiran sebulan yang lalu," terangnya.

Dandhy juga mengungkapkan, film ini dibuat tanpa banyak persiapan, atau rencana akan dibuat lagi yang serupa pada pemilu sebelum-sebelumnya atau pada pemilu mendatang, lima tahun lagi. "Soalnya kan nggak kebayang masa lima tahun lalu cawapresnya Gibran, terus bakal ada isu di MK begitu, dua tahun lalu aja nggak kepikiran. Kita yang awam aja nggak pernah kepikiran. Namun, yang pengen Gibran jadi cawapres mungkin sudah mikirin. Jadi kalau film ini didesain rapi dan dibuat dari lama juga nggak masuk akal," jelasnya.

Proses Pembentukan Tim: Bergerak dari Donasi

Dandhy juga menceritakan prosesnya membentuk tim untuk mewujudkan film ini. Pertama, dia menghubungi Feri Amsari, untuk mendengar dan mendapat data lebih detail terkait dengan yang mereka sampaikan di podcastnya.

"Dia excited banget, kita ketemu dia dan teman-temannya, tim risetnya, saya lihat datanya, walaupun bang Feri pasti kredibel. Lalu kita diskusikan dan saya pikir perlu ada orang lain yang membahas, saya hubungi Bivitri Susanti, karena dia pernah jadi ahli di MK beberapa kali," jelasnya.

Terakhir dia menghubungi Zainal Arifin Mochtar atau Uceng, yang disebut langsung mau bergabung dalam proyek Dandhy itu tanpa banyak pertanyaan. Dandhy juga menyebutkan alasannya memilih tiga narasumber tersebut, Feri Amsari, Bivitri Susanti dan Zainal Arifin Mochtar, karena mereka punya pengalaman menjadi ahli hukum dan pernah berurusan dengan MK.

"Ini yang tidak dimiliki banyak pakar lain di banyak kampus lain yang terkenal. Mereka sering muncul di media dan mereka sangat akrab dengan isu-isu terkait konstitusi," ungkapnya.

Selanjutnya, untuk produksi, kata Dandhy, semua bersifat potluck atau sumbangan dengan modal dan kemampuan masing-masing. "Yang punya alat ya bawa, yang nggak punya alat mau pakai waktu, tenaga, atau sumbang uang, boleh. Itu semua bantuan patungan yang berkontribusi untuk mewujudkan project ini. Dalam waktu seminggu, kami sambil omongin materi, ada tim fundraising juga untuk kumpulkan dana, bahwa dalam tim ini enggak ada fundraising yang mengarah kepada kontestan politik, perusahaan, dan lembaga-lembaga yang nyawer pakai tabungan," imbuhnya.

Dia juga mengungkap, pencarian dana dilakukan tanpa membuat proposal apapun, sehingga perusahaan-perusahaan yang memberikan dana bukan berasal dari dana program tertentu. Setelah terkumpul, berikutnya, tim riset mengumpulkan data, menyusun keping demi keping informasi, mengkliping, dan mengecek semua data, serta melakukan konfirmasi ulang.

"Banyak data yang didrop karena nggak bisa divalidasi, karena sumbernya kurang, misalnya narsumnya cuma satu, nah itu makan waktu. Kemudian, tim grafis memvisualkan data, lalu kita bicarakan bagaimana mempresentasikannya," ujarnya.

Beruntung, kata Dandhy, ketiga ahli hukum itu adalah public speaker yang baik, mereka adalah dosen, biasa bicara di depan kelas, forum, pengacara publik, dan sering menjadi juga tamu di televisi. Hal itu sudah sangat menolong dan justru menjadi kekuatan di film ini.

Dandhy menegaskan, tidak melulu membuat film hanya soal pemilu, yang terjadinya lima tahun sekali. Dia membuat film yang didasari atas keresahan banyak orang dan banyak film yang sudah dibuat.

"Pekerjaan saya kan pembuat film. Kalau buat film lima tahun sekali, saya makan apa? Lagi pula beberapa film seperti "Sexy Killers" itu bukan sengaja diluncurkan saat pemilu 2019. Itu adalah film proyek dari 2015, tapi karena banyak riset, kebetulan jadi rilis 2019 dan ternyata waktunya jadi tepat," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis.com

Sentimen: negatif (100%)