Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: korupsi
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Secara Teori Hukum dan Faktor Kepemimpinan Jokowi Ideal di Lengserkan
Keuangan News Jenis Media: Nasional
Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
KNews.id – Sebelum membahas apakah Joko Widodo pantas diberhentikan dari jabatannya sebagai seorang pemimpin bangsa ini. Maka butuh pemahaman teori makna kelayakan dari citra atau jatidiri seorang pemimpin disanding ( komparasi ) pemikiran dari para orang bijak ( teori para filsuf ).
Aristoteles :
1. Sebagai Landasan Utamanya seorang pemimpin harus didasarkan pada prinsip keadilan. Keadilan menjadi pondasi bagi stabilitas masyarakat dan keberlanjutan pemerintahan atau dalam substansial kepemimpinan nyatanya era sebelum Jokowi ternyata lebih baik dari masa Jokowi.
2. Faktor esensial kemampuan memimpin dan berkomunikasi, maka terhadap faktor essensial ini tidak dimiliki oleh Jokowi. Jokowi tidak piawai atau mini kualitas kepada semua lapisan, hanya kepada kalangan tertentu ( wong cilik ). Terbukti tidak dapat memotivasi bawahan ( kabinet ) untuk berkarya dengan profesional dan proporsional ( banyak yang overlap ).
3. Kesederhanaan dan berkepribadian baik, namun realitasnya Jokowi hanya sederhana dalam penampilan kostum, namun tidak berkepribadian baik bagi seorang Pemimpin, yang mesti bijaksana dan dapat mengendalikan hawa nafsu, sehingga bertolak belakang ( kontradiktif ) Jokowi memiliki hasrat ‘ politik kedinastian “.
4. Kemampuan Berpikir Etis dan Moralitas, nyatanya Jokowi tidak mampu berpikir etis dan memiliki moralitas tinggi. Keputusan melalui kebijakan yang banyak diambil oleh Jokowi mencla – mencle dan hobi berdusta.
Ibnu Chaldun :
Citra ideal dalam perspektif seorang pemimpin adalah orang yang menganggap kekuasaannya itu sebagai amanah Allah, sehingga pelaksanaan kekuasaannya itu dianggapnya tidak lain daripada cara yang terbaik untuk mengabdi kepada Tuhan.
Immanuel Kant :
Menurut Kant, pemimpin yang baik haruslah orang yang ‘tulus’ ( punya moral dan motivasi baik) dan ‘cerdik’ ( bijaksana, cerdas dan punya strategi kepemimpinan yang baik) serta melulu berpegangan dengan prinsip ketidakberpihakan. Sementara Jokowi kurang, amat jauh dari tipikal pemimpin yang bermoral oleh sebab terbukti, bukan sekedar apriori, namun berdasarkan data empirik, Jokowi bertindak serta berperilaku, banyak ditandai dengan hasrat kebijakan yang inkonstitusional.
Oleh karenanya berdasarkan teori kepemimpinan dan politik kenegaraan diantaranya menurut para ahli filsafat ( filosof ) Aristoteles, Ibnu Chaldun dan Kant, tidak keliru, jika Pemimpin negara yang berlaku curang, menginjak – injak sistim hukum, berulang puluhan kali bohongi rakyatnya, tidak profesional, tidak proporsional, tidak mampu bekerja dan tidak inovatif dengan karakteristik model Jokowi untuk segera dilengserkan, karena tak layak dipertahankan dan bila ada pun upaya PENOLAKAN hanya mungkin oleh segelintir kelompok yang berkepentingan atau merasa diuntungkan ( kelompok oligarki ), sehingga setia membabi buta, atau pihak individu – individu yang senang dan terbiasa kepada perilaku amoral. Walau kenyataan sesuai prinsip jatidiri sosok kepemimpinan, dan attitude Jokowi sudah banyak bertentangan atau kotroversial pada setiap sektor.
Dan perihal hak – hak publik yang berpendapat, minta diturunkannya sosok pemimpin dengan sosok model Jokowi adalah sebuah kewajaran karena masyarakat tidak sekedar berdasar alasan apriori semata, namun berdasarkan data dan fakta ( empirik ) tentang yang janji – janji politik yang tak terpenuhi serta kinerja yang dihasilkan banyak kegagalan dan atau wan prestasi.
Contoh, beberapa diantaranya janji politik yang Jokowi ucapkan, namun tak kunjung terealisir, akan memproduksi mobil esemka, buy back indosat, ekonomi akan meroket serta akan melakukan pemberantasan korupsi, ternyata praktik dan hasilnya bertolakbelakang. Maka rakyat punya hak daulat menurunkannya, tidak lagi butuh menunggu janjinya akan terealisir, karena pastinya, mengingat masa sisa jabatannya efektif hanya 8 bulan.
Prinsipnya demi kewajiban teori sebuah konsep organisasi negara yang mesti memiliki seorang pemimpin dan kepemimpinan yang role model ( suri tauladan ) yang bersesuaian merujuk konsitusi. Maka sudah sepatutnya Jokowi dilengserkan, kemudian layak digantikan oleh Wapres KH. Maruf Amin, sampai dengan selesainya masa jabatan Capres – wapres Oktober 2024 dan menyerahkannya kepada Presiden – Wapres terpilih hasil Pemilu Pilpres 14 Februari 2024.
Demi kebutuhan pelengseran Jokowi lalu berperannya Wapres selaku penggantinya, negara dan seluruh bangsa, namun mengingat oleh sebab para wakil rakyat di parlemen ( DPR RI dan DPR RI ) nyata disfungsi. Maka dibutuhkan peran seluruh masyarakat bangsa ini dalam wujud representasi dari seluruh para tokoh bangsa serta proporsional, untuk segera menyusun konsep konsensus nasional atau konsep dengan metode musyawarah nasional, dalam bentuk metode kesepakatan seluruh anak bangsa dengan agenda mendesak pemberhentian Joko Widodo dari kursi jabatan Presiden RI. agar melepaskan fungsi tugasnya selaku pemimpin bangsa ini, tanpa menunggu prosesi serah terima jabatan.
Terkait musyawarah ( nasional ) dalam konteks Negara RI yang berdasarkan dan bersumber Pancasila sesuai sila ke- 4 ( empat ), sehingga musyawarah merupakan hukum yang tertinggi, bahkan lebih tinggi dari keputusan yang telah berkekuatan tetap dan mengikat ( inkracht ). Eksekusi terpidana mati bisa gugur dengan grasi dan kejahatan individu ( maupun kelompok ) dengan kategori delik yang nuansanya dalam bidang politik, dapat hapus dengan amnesti. Dan Perdata yang inkracht dapat gugur melalui musyawarah atau kesepakatan antara pihak yang berperkara dengan mengenyampingkan keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap ( inkracht ).
Sehingga seluruh bangsa ini terlepas dari kesalahan dan dosa sejarah politik dan penegakan hukum, melainkan berkesesuaian menurut teori makna faktor keberhasilan atau teori gagalnya faktor kepemimpinan, tidak sebaliknya, seorang pemimpin yang nyata tidak berhasil ( gagal ), namun praktiknya justru diberikan kehormatan pelepasan sampai masa akhir jabatannya dengan karpet merah berikut kibaran bendera merah putih dengan diiringi lagu kebangsaan adalah bentuk pelecehan terhadap konstitusi serta terhadap bangsa ini yang menginginkan keadilan, manfaat hukum serta kepastian hukum.
Oleh karenanya demi kebaikan sistim hukum dan ilmiah, karena menyangkut faktor sejarah politik dan hukum di masa depan, dibutuhkan penerapan teori bernegara yang sejalan dengan teori prinsip – prinsip kepemimpinan yang ada dan tetap senyawa, atau tidak menyimpang terhadap konstitusi ( tidak kontradiktif ), yang mencakup faktor hubungan dalam praktiknya seorang pemimpin pada banyak sisi, selain sektor hukum ( dan ketatanegaraan ), juga sistim ekonomi, politik dan moralitas, sehingga pantas jika faktor kegagalan Jokowi dinyatakan serta pengimplemantasiannya dengan pelengseran, terlebih salah satu pertimbangan lainnya adalah kata – kata bijak, bahwa Hukum Tertinggi yang sebenar – benarnya ( subtansial ) pada sebuah bangsa, adalah demi melindungi kepentingan rakyat atau salus populi suprema lex esto.
(Zs/NRS)
Sentimen: positif (100%)