India & Filipina Ngegas Tapi RI Melamban, Jokowi Harus Lakukan Ini
CNBCindonesia.com Jenis Media: News
Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 yang hanya tumbuh 5,05% atau melambat dari 2022 yang mencapai 5,31%, tertinggal dibanding pertumbuhan negara-negara mitra dagang utama, maupun negara tetangga Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, negara mitra dagang utama Indonesia, yakni China masih mampu tumbuh 5,2% dari tahun lalu 3%, demikian pula Jepang yang tumbuh 2% dari tahun lalu 1%. Tingkat pertumbuhan ekonomi RI 2023 bahkan tertinggal dari Uzbekistan yang tumbuh 6%, dan Filipina 5,57%.
Kalangan ekonom tanah air mengungkapkan, laju pertumbuhan ekonomi itu disebabkan oleh kinerja ekspor Indonesia yang anjlok sangat dalam. Berimplikasi pada kinerja di sektor manufaktur hingga pendapatan para pekerja di dalamnya. Pertumbuhan ekspor pada 2023 hanya 1,32% sedangkan pada 2022 mencapai 16,28%.
Hal ini salah satunya diungkapkan oleh Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual. Menurutnya, kinerja pertumbuhan ekspor itu bahkan sudah minus, berimplikasi pada terus anjloknya produk domestik bruto (PDB) nominal.
"Kalau kita lihat penyebabnya dari sisi ekspor turun cukup dalam, dari sisi pertumbuhan ekspor saja sudah negatif 5,75% akhir 2023," kata David kepada CNBC Indonesia, Selasa (6/2/2024).
David mengatakan, jika dilihat berdasarkan pertumbuhan PDB Riil, sebetulnya tidak terlalu buruk kinerja ekonomi 2023, karena masih mampu bertahan di kisaran 5%. Namun, jika dilihat berdasarkan PDB Nominal, ia mengatakan, pertumbuhannya terus turun.
Data PDB Nominal Indonesia terakhir menurutnya hanya tumbuh 3,67%, turun dari kuartal III-2023 yang 4,51%, dan turun drastis dari catatan pada kuartal II-2023 yang mencapai 6,71%. Pada kuartal I-2023 sebetulnya pertumbuhan PDB Nominal masih mencapai 12,5% dan menurut David biasanya pertumbuhan PDB nominal memang selalu dua digit.
"Jadi yang perlu dicermati PDB nominal yang turun drastis, ini kaitannya erat dengan omzet dari berbagai perusahaan, kalau perusahaan kan tidak melihat unit penjualan berapa tapi nominal penjualan berapa," tegas David.
Permasalahan itu menurutnya disebabkan kinerja ekspor yang telah anjlok tadi, dipicu oleh turunnya harga-harga komoditas andalan ekspor Indonesia. Misalnya, minyak kelapa sawit dari US$ 1.344,8 per metrik ton pada Januari 2022 menjadi hanya US$ 813,5 per metrik ton pada Desember 2023.
Lalu, batu bara dari US$ 197 per metrik ton hanya menjadi US$ 141,8 per metrik ton, nikel dari US$ 22,4 ribu per metrik ton menjadi US 16,5 ribu metrik ton, gas alam dari US$ 4,3/mmbtu menjadi US$ 2,5/mmbtu, dan minyak mentah dari US$ 83,9/bbl menjadi US$ 75,7/bbl.
"Komoditas banyak turun ini satu, kedua ada kelebihan kapasitas industri di China sampai sekarang, yang bermuara dalam tanda kutip dumping ke banyak negara termasuk ke Indonesia," tutur David.
Pernyataan serupa disampaikan ekonom yang merupakan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, Karena Indonesia menjadi negara eksportir komoditas, perlambatan harga-harga ekspor itu mempengaruhi kinerja industri yang terkait, dan ujungnya berdampak ke pendapatan dari pekerja di dalamnya.
Korelasi itu menurutnya tergambar dari level konsumsi rumah tangga yang juga ikut merosot pada 2023. Konsumsi rumah tangga pada tahun itu hanya tumbuh 4,47%, lebih rendah dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada 2022 yang sebesar 4,93%. Akibatnya laju inflasi di dalam negeri pada 2023 juga hanya 2,61% lebih rendah dari realisasi inflasi 2022 sebesar 5,51%.
"Jadi ada perlambatan demand dalam negeri yang itu terefleksikan ke inflasi.Jadi inflasi rendah merupakan refleksi dari demand yang rendah di dalam negeri," tutur Faisal.
Karena implikasinya yang luas, kinerja ekspor ini menurut keduanya harus diperbaiki. Meski tekanan harga disebabkan perlambatan permintaan dari negara-negara mitra dagang utama yang perekonomiannnya melemah, pemerintah perlu mencari pasar ekspor baru dan memperbaiki iklim usaha untuk menggeliatkan kembali perluasan komoditas ekspor bernilai tambah tinggi.
"Jadi perlu mungkin terobosan untuk sektor manufaktur supaya hilirisasi di situ banyak serap tenaga kerja juga untuk meningkatkan produktivitas mereka, karena sekarang melemah akibat banyak yang beralih ke sektor perdagangan atau jasa," tuturnya.
[-]
-
Muncul Tanda RI Berpotensi Gagal Jadi Negara Maju, Awas!(arm/mij)
Sentimen: netral (49.9%)