Sentimen
Negatif (66%)
4 Feb 2024 : 08.38
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Institusi: Universitas Indonesia, UGM, UNPAD, UII, Universitas Andalas

Kab/Kota: Jati, Yogyakarta, Sleman

Gelombang Kritik Para Guru Besar soal Pemilu 2024 dan Tanda Tanya Sikap Jokowi...

4 Feb 2024 : 08.38 Views 8

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Gelombang Kritik Para Guru Besar soal Pemilu 2024 dan Tanda Tanya Sikap Jokowi...

JAKARTA, KOMPAS.com - Gelombang kritik terhadap Presiden Joko Widodo datang dari kalangan sivitas akademika. Mahasiswa hingga guru besar sejumlah universitas ternama di Tanah Air ramai-ramai menyoroti sikap Jokowi pada Pemilu 2024.

Sejauh ini, sikap tersebut telah dikemukakan oleh sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Indonesia (UI), Universitas Andalas (Unand), dan Universitas Padjadjaran (Unpad).

Mereka meminta Pemilu 2024 digelar secara demokratis, dan Presiden berhenti cawe-cawe atau ikut campur.

Menyimpang

Pernyataan sikap ini diawali oleh UGM, yang tak lain merupakan kampus almamater Jokowi. Pada 31 Januari 2024, para guru besar, dosen, mahasiswa, serta alumni UGM menyampaikan petisi Bulaksumur.

Dalam petisi tersebut, mereka merasa prihatin dengan tindakan sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini yang dinilai menyimpang dari prinsip-prinsip moral, demokrasi, kerakyatan, serta keadilan sosial. Para sivitas akademika UGM juga menyinggung pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK).

Tangkapan layar akun youtube UGM Prof Koentjoro membacakan petisi Bulaksumur.“Kami menyesali tindakan-tindakan menyimpang yang baru saja terjadi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada (UGM),” ujar perwakilan sivitas akademika UGM, Prof Koentjoro, di Balairung UGM, Sleman, Yogyakarta, membacakan petisi.

“Pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang berjalan, dan pernyataan kontradiktif Presiden Jokowi tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi,” lanjut guru besar psikologi UGM itu.

Dalam petisi tersebut, Jokowi diingatkan agar berpegang teguh pada jati diri UGM yaitu menjunjung tinggi nilai Pancasila serta memperkuat demokratisasi.

Pudarnya kenegarawanan

Setelah UGM, giliran sivitas akademika UII menyampaikan pernyataan sikap "Indonesia Darurat Kenegarawanan". Pernyataan sikap tersebut diikuti oleh para guru besar, dosen, mahasiswa dan para alumni UII.

Rektor UII Prof Fathul Wahid menyebut, dua pekan jelang Pemilu 2024, praktik penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan kian kentara. Kekuasaan digunakan untuk kepentingan politik praktis sekelompok golongan dengan mengerahkan sumber daya negara.

"Kondisi ini kian diperburuk dengan gejala pudarnya sikap kenegarawanan dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo," kata Fathul di Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang Km 14, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Kamis (1/2/2024).

Baca juga: Guru Besar Ramai-Ramai Kritik Jokowi, Timnas Anies-Muhaimin: Karena Ada Nurani yang Dilukai

Indikator utamanya adalah pencalonan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang didasarkan pada putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini dinilai sarat dengan intervensi politik dan terbukti melanggar etika.

"Gejala ini kian jelas ke permukaan saat Presiden Joko Widodo menyatakan ketidaknetralan institusi kepresidenan dengan membolehkan Presiden berkampanye dan berpihak," ucapnya.

Sivitas akademika UII menyerukan agar Jokowi kembali menjadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan dengan tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarga. Presiden harus bersikap netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan, bukan untuk sebagian kelompok.

"Menuntut Presiden Joko Widodo beserta semua aparatur pemerintahan untuk berhenti menyalahgunakan kekuasaan dengan tidak mengerahkan dan tidak memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan politik praktis, termasuk salah satunya dengan tidak melakukan politisasi dan personalisasi bantuan sosial," ucap Fathul.

Sentimen: negatif (66%)