Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru
Institusi: Universitas Hasanuddin, UNJ
Kab/Kota: Roma, Bone
Kasus: HAM
Tokoh Terkait
Forum Guru Besar dan Dosen Unhas Serukan Selamatkan Demokrasi, Hafid Abbas Beber Peran Tokoh Sulsel dari Masa ke Masa
Fajar.co.id Jenis Media: Nasional
FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Sivitas Akademika di sejumlah Perguruan Tinggi mulai terang-terangan mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi). Termasuk Universitas Hasanuddin di Makassar, Sulsel.
Mantan Anggota Komnas HAM RI, Prof Hafid Abbas menyebut hal itu sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia akademik.
Menurut UNESCO, universitas adalah komunitas ilmiah yang mempunyai misi untuk memajukan ilmu dan teknologi bagi penajuan demikrasi, HAM, keadilan dan perdamaian.
“Dengan misi itu, universitas sesungguhnya adalah Otak Negara. Suaranya haruslah diperdengarkan agar nilai-nilai universal yang menjadi misinya itu tidak dinodai oleh kekuasaan,” tuturnya kepada Fajar.co.id, Sabtu, (3/2/2024).
Dia menjelaskan, Sejarah Galileo di abad ke-16 yang menjalani tahan rumah seumur hidup karena bersuara berbeda dengan kehendak otoritas gereja Roma, kiranya tidak akan pernah terulang lagi di dunia akademik.
Sebagai refleksi, lebih 1/4 abad silam, sekitar 26 tahun lampau, dapat dilihat jejak orang-orang Bugis-Makassar sebagai penyelamat negeri ini.
“Ketika kita mengalami perubahan, dari era Orde Baru ke era Reformasi; atau dari sistem pemerintahan otoritarian ke demokrasi; atau dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi atau otonomi daerah, ternyata peran tokoh-tokoh Bugis-Makassar, alumni Unhas tidak bisa dilupakan,” tambah pria kelahiran Bone ini.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kelihatannya tidak ada negara di dunia yang selamat dengan perubahan yang amat ekstrim seperti itu.
Uni Soviet saja sebagai negara adidaya secara ekonomi, militer dan politik, tapi dengan menerapkan glasnost (keterbukaan) dan perestorika (restrukturisasi) dari sistem politik dan ekonomi yang tersentralisasi ke sistem desentralisasi, negara ini mengalami disintegrasi dan akhirnya hilang dari peta dunia. Demikian juga Yugoslavia yang kini telah pecah menjadi enam keping negara karena melakukan perubahan seperti yang dilakukan Indonesia.
“Pertanyaannya, mengapa Indonesia selamat dari perubahan besar di 1998 itu. Kelihatannya, karena tiba-tiba yang menjadi penentu kebijakan dari perubahan besar di masa krisis luar biasa itu adalah para tokoh dari Bugis-Makassar,” ujar Ketua Yayasan Pembangunan Sulsel ini.
Lihatlah peran B.J. Habibie sebagai Presiden RI menggantikan Presiden Soeharto, lihatlah peran Tanri Abeng, yang menyelamatkan seluruh BUMN; Jenderal M. Yunus Yospiah, Menteri Penerangan, yang membuka kran kebebasan pers.
Kemudian Andi M. Ghalib yang memimpin Kejaksaan Agung, Prof Ryaas Rasyid yang telah meletakkan dasar sistem pemerintahan desentralistik dan lain-lain.
Waktu itu, Hafid Abbas juga dipercaya menangani urusan HAM baik sebagai Deputi Menteri HAM atau pun sebagai Dirjen, di era Orde Baru urusan ini tidak ada.
“Di awal reformasi kita juga melihat Jusuf Kalla sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian di era Presiden Gusdur, ada Baharuddin Lopa yang memimpin Kementerian Kehakiman, Alwi Shihab sebagai Menlu, dsb,” tandas Guru Besar FIP UNJ ini. (selfi/fajar)
Sentimen: positif (100%)