HEADLINE: KPAI Soroti Bentuk Eksploitasi Anak Saat Kampanye Pemilu 2024, Respons Bawaslu?
Liputan6.com Jenis Media: News
Liputan6.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan setidaknya 19 kasus eksploitasi anak. Di antara bentuk eksploitasi terbanyak ialah membawa anak-anak ke dalam kerumunan arena kampanye. Hal ini dinilai dapat mengganggu kesehatan, keamanan, dan kenyamanan anak.
Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita, jika melihat proses kampanye, semangatnya memang ingin memberikan informasi atau edukasi terkait visi misi program partai maupun capres cawapres. Tapi akhirnya semua pihak tanpa sengaja turut terlibat.
"Termasuk ketika anak-anak muncul, bukan cuman anak ya definisinya tapi kemudian bisa jadi melibatkan pihak yang belum mempunyai hak pilih dalam Pemilu," ujar dia kepada Liputan6.com, Rabu (24/1/2024).
Dia menegaskan, larangan melibatkan anak dalam kampanye tertera dalam Pasal 280 Ayat 2 huruf K. Yang mana menyatakan jika anak usia 17 tahun ke bawah itu tidak boleh diikutsertakan dalam kegiatan kampanye. Selanjutnya Pasal 493 menyebutkan ada denda Rp 12 juta.
"Kalau bicara secara pendekatan norma, ini yang bisa terjerat sebetulnya tim kampanye. Alasannya kan banyak ketika tiba-tiba anak turut serta kampanye. Bisa jadi oh ini anak saya enggak ada yang menjaga," ujar dia.
Mita menjelaskan, sebetulnya pengurus partai politik juga dapat mengingatkan bahwa kampanye tidak boleh melibatkan anak di bawah umur 17 tahun. Di situ sebenarnya peran dari para parpol diperlukan untuk mengedukasi masyarakat.
"Tapi saya agak pesimis kalau itu dilakukan oleh partai politik, karena justru partai politik kan inginnya menghadirkan massa banyak-banyaknya," ujar dia.
Dalam proses kampanye terbuka ini, Mita menambahkan, sebetulnya ada panwas yang mengawasi kegiatan tersebut. Yang bergerak bissa dari Panwaslu Kelurahan/Desa yang basisnya pada wilayah masing-masing.
"Artinya sebetulnya juga aparatnya panwas masih bisa mengingatkan gitu ya sekalian dia mengawasi proses kampanye," ucap dia.
Mita menuturkan, ke depan hendaknya ada edukasi terkait persiapan kampanye rapat umum ini, termasuk sosialisasi pelarangan melibatkan anak dalam proses pesta demokrasi tersebut.
"Saya kira Bawaslu sudah punya gugus tugas ya dengan KPAI misalnya kan juga ada undang undang anak di sana. KPAI juga bisa memberikan sosialisasi kepada ibu-ibu, terutama perempuan atau misalnya di instansi-instansi ya. Itu kan juga edukasinya, sehingga sudah cukup masif," ujar dia.
"Dan ini kan tinggal kesadaran masyarakat dan kesadaran masyarakat juga harus didorong atau dikuatkan dengan peran satgasnya tadi. Satgas kan otomatis kan pengawas di lapangan atau mungkin masyarakat yang ikut memantau proses berjalannya hal tersebut, ya harus mengingatkan," ujar dia.
Mita tidak sependapat alasan pelibatan anak dalam proses kampanye untuk mengenalkan politik sejak dini. Masih banyak cara lain yang bisa diterapkan dalam memberikan pemahaman kepada anak tentang politik.
"Kalau bicara soal pengenalan sejak dini, Saya kira anak-anak bisa kemudian dikenalkan oleh orang tuanya kalau misalnya mau bicara soal aspek demokrasi atau bagaimana atau siapa instrumen penting dalam Pemilu. Itu kan justru menurut saya sih harus dimulai dari keluarga ya, dan keluarga itu yang kemudian literasi politiknya harus baik," terang dia.
Kalau memang pada kenyataannya anak-anak itu mengikuti kampanye rapat umum, menurutnya, emosi mereka akan cenderung tidak stabil. Selain itu, penerimaan informasinya juga masih belum komprehensif karena anak hanya bisa mencerna salah satu sisi saja.
"Salah satu hal yang kemudian menurut dia baik padahal belum tentu. Ini yang bahayanya itu adalah tersulut emosi konflik yang kemudian juga tidak ada yang bisa disalahkan nanti siapa gitu kan. Kalau anak kan masih di bawah tanggung jawab setiap orang tua ya. Tentu saja kan sebenarnya orang tuanya juga memberitahu," kata dia.
"Jadi betul betul tidak boleh. Harus ada yang mengingatkan bahwa itu tidak boleh," dia menegaskan.
Sementara itu Anggota Bawaslu RI, Puadi mengakui acap kali ditemukan anak-anak dalam metode kampanye tertentu. Namun Bawaslu masih harus membuktikan adanya pelibatan anak dalam kampanye.
"Secara kasat mata diakui pada metode kampanye tertentu seperti pertemuan tatap muka, pertemuan terbatas dan di saat sekarang kampanye rapat umum kerap ditemui adanya anak yang berada di tempat kampanye, hanya saja apakah ada pelibatan atau mengikutsertakan anak, ini yang akan Bawaslu buktikan," ujar dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Rabu (24/1/2024).
"Tidak semua kegiatan kampanye terdapat anak lantas serta merta dikatakan ada pelibatan anak," dia menegaskan.
Yang jelas, Puadi mengatakan, baik UU 7/2017 maupun UU 35/2014 menyebutkan melarang pelibatan anak dalam kegiatan Kampanye Pemilu atau kegiatan politik, dan perbuatan melibatkan atau mengikutsertakan anak dapat dikualifisir sebagai tindak pidana Pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 493 UU 7/2017.
"Penerapan ketentuan Pasal 493 harus dihubungkan secara sistematis dengan ketentuan Pasal 280 ayat (2) huruf k, yaitu: “Pelaksana dan/atau Tim Kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan WNI yang tidak memiliki hak memilih,” jelasnya.
Puadi mengungkapkan, subjek hukum yang dilarang dalam Pasal 493 adalah Pelaksana kampanye dan/atau Tim Kampanye. Sedangkan perbuatan yang dilarang adalah mengikutsertakan anak dalam Kampanye Pemilu.
Pelibatan anak dalam Kampanye Pemilu dimaknai sebagai tindakan aktif atau inisiatif pelaksana dan/atau tim kampanye, dilakukan dengan sengaja, dimaksudkan untuk memobilisasi atau mengikutsertakan anak dalam kegiatan kampanye pemilu.
"Ketiga hal tersebut bersifat kumulatif," dia menandaskan.
Sementara itu, Psikolog anak Seto Mulyadi mengatakan bahwa Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) selalu menyerukan agar Pemilu dapat berjalan ramah terhadap anak.
“Dan Pemilu ini jangan sampai ada pelanggaran hak anak, juga jangan ada penyalahgunaan anak-anak dalam hak politik praktis di kampanye Pemilu. Misalnya, melibatkan anak untuk ikut pawai, ikut demo, dan sebagainya. Itu mohon tidak dilakukan,” kata Pria yang akrab disapa Kak Seto kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Rabu (24/1/2024).
Ketua LPAI menambahkan, anak-anak tidak belajar politik dengan cara yang sama dengan orang dewasa.
“Artinya, jangan sampai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, untuk mendapatkan kesehatan dan sebagainya terlanggar karena terlibatnya mereka dalam kegiatan-kegiatan praktis. Kegiatan yang kemudian sering menimbulkan konflik yang bisa berbahaya untuk anak-anak.”
Dalam kampanye, anak-anak bisa saja mengalami luka, kepanasan, kurang istirahat, dan sebagainya.
Selain dampak fisik, Kak Seto juga khawatir bahwa eksploitasi anak di masa kampanye dapat membawa dampak psikis.
“Dampak psikisnya, takutnya justru anak mendapat pandangan kontraproduktif lalu anak merasa ‘wah ternyata politik itu kotor, ternyata politik itu jahat karena ada kekerasan, ada saling caci maki, ada bentrokan dan sebagainya.”
Dengan terbentuknya pandangan keliru terhadap politik, anak akhirnya tidak tertarik pada kegiatan politik pada saat dewasa nanti, lanjut Kak Seto.
“Jadi kita justru harus menunjukkan kepada anak-anak keteladanan. Baik di dalam debat, di dalam kampanye, dengan suasana yang sesuai dengan ajaran karakter profil pelajar Pancasila.”
“Ada unsur akhlak mulia, kejujuran, tidak ada kebohongan atau manipulasi, gotong royong, hargai perbedaan, mengacu pada kreativitas dan sebagainya.”
Selain itu, KPU juga mengingatkan para peserta Pemilu 2024 untuk tidak melibatkan anak-anak dalam kegiatan kampanye maupun aktivitas politik lainnya. Hal itu lantaran anak-anak belum memiliki hak memilih dalam pesta demokrasi tersebut.
“Kami sampaikan kepada peserta pemilu, jangan libatkan warga negara yang tidak memiliki hak pilih. Yang boleh menjadi peserta kegiatan kampanye adalah mereka yang memiliki hak pilih,” kata Anggota KPU RI Idham Kholik, Selasa, 23 Januari 2024.
Idham menjelaskan, hal tersebut telah diatur dalam Pasal 280 Ayat (2) Huruf k Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengamanatkan pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan WNI yang tidak memiliki hak memilih.
“Dalam Pasal 280 Ayat (2) huruf k dijelaskan bahwa pelaksana kampanye tidak boleh warga negara yang tidak memiliki hak pilih dan itu bisa terkategori pada tindak pidana,” kata Idham.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga telah mengatur anak-anak tidak boleh terlibat dalam aktivitas politik.
“Kalau kita merujuk pada UU Perlindungan Anak, yang namanya anak itu adalah usianya 18 tahun. UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak tidak boleh terlibat dalam aktivitas politik secara langsung,” kata Idham.
Sebelumnya, Bawaslu dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan kerjasama untuk mencegah keterlibatan anak dalam kegiatan pemilu.
"Melibatkan anak pada Pemilu 2024 memiliki efek yang kurang baik," kata Ketua Bawaslu Rahmat Bagja dalam sambutannya pada MoU Bawaslu dan KPAI di Jakarta, Selasa 23 Mei 2023 lalu.
Bagja mengingatkan keterlibatan anak dalam kegiatan pemilu dapat dikenakan tindak piana. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan pasal 16, dan pasal 280 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, secara tegas melarang melibatkan anak-anak dan melibatkan orang yang tidak memiliki hak pilih.
Selain dua peraturan tersebut, mereka yang melibatkan anak-anak dalam kampanye dapat dijerat Undang-undang 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
"Tindakan pidana menjadi upaya hukum terakhir dari melibatkan anak dalam kegiatan pemilu," ujarnya.
Untuk mencegah hal tersebut, Bawaslu akan melakukan sosialisasi kepada peserta pemilu dan masyarakat agar tidak melibatkan anak dalam kegiatan pemilu.
Sentimen: negatif (100%)