Sentimen
Negatif (100%)
20 Jan 2024 : 13.25
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Institusi: UGM

Kab/Kota: Tangerang

Kasus: Tipikor, KKN, nepotisme

Setuju Amin Rais, Jokowi Merupakan Bahaya Nasional Justru Segera Dimakzulkan

20 Jan 2024 : 13.25 Views 1

Keuangan News Keuangan News Jenis Media: Nasional

Setuju Amin Rais, Jokowi Merupakan Bahaya Nasional Justru Segera Dimakzulkan

 

Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212

KNews.id – Pembuktian Jokowi merupakan Bahaya Nasional, cukup simpel, yakni melalui teori hukum yang dikenal sebagai asas fiksi hukum atau presumtio iures de iur yaitu seseorang yang hidup dan kehidupannya diyakini selamanya berada diatas wilayah pegunungan sekalipun tidak lulus SD. Secara hukum orang tersebut dianggap tahu adanya Peraturan atau norma hukum termasuk sanksi hukum yang tertera didalam norma dimaksud.

Maka jika dikomparasi dengan eksistensi seorang Jokowi, yang berpredikat pemangku jabatan presiden, walau secara de facto pendidikannya belum atau bukan sarjana strata satu ( S.1 ), namun tentu de yure sepengetahuan umum titel beliau adalah S.1.

Artinya secara sisi pandang yuridis Jokowi yang presiden pastinya terikat akan asas fiksi hukum dimaksud, bahwa Jokowi mengetahui bahwa dirinya tidak boleh melakukan kebohongan publik atau menyampaikan perkataan bohong, termasuk mengangkat dan melantik indiivudu – individu sebagai menteri – menteri yang sedang dalam proses hukum pidana oleh sebab terpapar tuduhan koruptif ” lalu cawe – cawe atau intervensi , ikut campur untuk anak kandungnya Gibran agar dapat menjadi cawapres dan intervensi kepada KPU, KPK dan MK ( setidak – setidaknya pembiaran ) yang kategori perbuatan tersebut justru melanggar sistim hukum, selain melanggar asas asas good governance Jo. Nepotisme yang terdapat pada UU. No. 28 Tahun 1999 Undang Undang Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Bebas Dari KKN.

Maka pertanyaannya berapa puluh kali Jokowi selaku presiden RI melakukan atau berkata bohong, pembiaran atau obstruksi yang melanggar sistim hukum yang terdapat pada KUHP. UU. TIPIKOR dan pelanggaran kepada TAP MPR RI No. 6 Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa, termasuk pembiaran tuduhan publik terhadap perendahan martabat yang booming dan publis, bahkan beberapa kali melaui proses gugatan di lembaga peradilan, terkait bahwa dirinya dituduh menggunakan ijasah palsu S.1 dari UGM. Kesemua penyimpangan perilaku tak beradab ( amoral ) ini secara tranparansi Jokowi tunjukan kepada seluruh masyarakat bangsa ini dan dunia internasional ? Tentunya Jokowi dianggap tahu ( fiksi hukum), bahwa bohong, pembiaran dan obstruksi kepada seseorang yang dalam tuduhan koruptif tuduhan menyangkut peristiwa hukum yang extra ordinary crime, dirinya diancam hukuman oleh Pasal 14 KUHP Jo. Terkait obstruksi 221 KUHP dan 21 UU. TIPIKOR serta UU. NO.28 Tahun 1999 dan ada pemberatan sanksi yang dapat ditambah 1/3 nya dari sanksi ancaman hukuman terberat sesuai Pasal 52 KUHP. Oleh karena dirinya adalah aparatur negara.

Lalu apa sanksi moralitas dari sisi hukum ketatanegaraan, Jokowi tahu bahwa menurut TAP MPR RI.No.6 Tahun 2001 dan Juncto terkait asas -atau prinsip – prinsip tentang Good Governance, dan UU. RI No. 28 Tahun 1999 maka tehadap ketentuan atau norma – norma yang ada dan berlaku serta bersanksi hukum, adab atau moralitas, dirinya harus mengundurkan diri dari kursi kepresidenannya.

Jika Jokowi tidak memiliki kesadaran untuk keharusan mundur dari jabatan presiden, oleh sebab pelanggaran yang Ia lakukan dan terhadap keberlakuan hukum, serta sesuai temuan fakta hukum, artinya dirinya telah melakukan pelanggaran hukum positif atau hukum yang harus berlaku atau wajib Jokowi berlakukan ( ius konstitum ), bukan hukum yang sekedar cita – cita, yang tidak hanya mudah – mudahan berlaku atau ius konstituendum. Lalu apa solusi hukumnya jika Jokowi tidak mau mengundurkan diri dari jabatannya selaku presiden ?

Maka, secara konstitusi Jokowi harus dimakzulkan oleh DPR RI melalui checks and balances sebagai wujud mekanisme hukum pemakzulan.

Namun pemakzulan Jokowi harus melalui mekanisme khusus checks and balance antara legislatif dan eksekutif, yang hakekatnya merupakan untuk memperkuat sistim predensial karena presidennya pimpinan eksekutif tertinggi, tidak mumpuni, nir kwalitas serta rusak moralitasnya, dan oleh sebab Jokowi adalah seorang Presiden, Pejabat Tinggi dan Tertinggi yang dilantik oleh sebab kegiatan kontestan politik pemilu pilpres, maka mekanisme khusus politik harus mengacu kepada proses pemakzulannya, yang bisa saja diawali atas desakan massa atau rakyat bangsa ini kepada dirinya, kemudian atas kesadaran Jokowi sendiri berdasarkan TAP MPR RI No.6 Tahun 2001 dia nyatakan mengundurkan diri, atau jika tidak, maka atas desakan massa, DPR RI yang juga mesti tunduk kepada asas fiksi hukum, harus wajib melakukan proses pemakzulan merujuk UU. Tentang MD.3. Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2019. Perubahan daripada UU.RI. No.17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang prosesnya persidangan nya, diantaranya setelah DPR RI mendapatkan usulan impeachment / pemakzulan dari 25 anggotanya, lalu mengantongi suara 2/ 3 dari paripurna DPR .RI dengan hasil pemakzulan, maka DPR.RI harus merekomendasikan hasil pemakzulan Jokowi melalui permohonan pemakzulan Mahkamah Konstitusi/ MK., jika MK mengabulkan pemakzulan melalui putusannya. Maka DPR RI mengajukan semua hasil putusan ( DPR RI dan MK ) ke MPR RI untuk proses persidangan mengimpeach Jokowi melalui TAP.MPR RI.

Kembali dengan attitude kepemimpinan Jokowi yang notoire feiten ( sepengetahuan umum ) dari sisi hukum tata negara atau politik dan dari sisi pidana, maka Jokowi sudah tepat untuk dimakzulkan oleh DPR RI.

Lalu apa yang terjadi jika pada kenyataannya, DPR RI sendiri tidak mau, bergeming tidak mau melaksanakan perintah UU.RI.No. 13 Tahun 2019 Tentang MD.3 sistim hukum yang mengatur mereka. Undang-undang yang memuat aturan mengenai wewenang, tugas, dan keanggotaan MPR, DPR, DPRD dan DPD. Hak, kewajiban, kode etik serta detil dari pelaksanaan tugas juga diatur. Namun ternyata perintah yang berasal dari sumber hukum kepada mereka yang terdapat pada Pasal 7 UUD 1945.

Sehingga konklusi perilaku eksekutif dan legislatif sama sama justru tidak role model, tidak melaksanakan ius konstitum ( hukum yang wajib diberlakukan ), malah melakukan pembiaran terhadap perilaku eksekutif dan mereka legislatif sendiri sudah mengabaikan fungsi materiil hukum, keadilan ( gerechtigheid ), manfaat (doelmatigheid) dan kepastian hukum (rechtmatigheit).

Oleh karena perilaku pembiaran oleh legislatif atau disfungsi dan tidak taat hukum yang mengatur mereka dan abaikan hak – hak milik rakyat bangsa ini. Maka Subtansial legislatif dan eksekutif telah melakukan konspirasi kejahatan politik, dan hal disfungsi ini sebenarnya sudah lama legislatif lakukan, karena DPR RI terhadap perilaku Jokowi yang banyak inkonstitusional tranparansi dihadapan wajah legislatif.

Maka perilaku ini DR RI dan Presiden Jokowi, secara moralitas politis merupakan konspirasi kedua lembaga tinggi negara tersebut, yang isi kedua lembaga tersebut adalah para subjek hukum penyelenggara negara, dan sejatinya merupakan perbuatan kejahatan poltiik yang dilakukan secara delneming ( bersama sama ) antara kedua lembaga tinggi penyelenggra negara tersebut.

Dan kausalitas sebenarnya, gejala – gejala yang akan timbul merupakan buah konspirasi kejahatan politik yang berkepanjangan tersebut, tidak mustahil lahirkan letupan dalam bentuk eksplosif kompulsif yaitu suatu kondisi yang melibatkan ledakan kemarahan, agresi, atau kekerasan secara tiba-tiba, bisa menjadi triger model eigenrichting atau penghakiman oleh massa terhadap para penyelenggara negara tersebut ( street justice ) atau peradilan jalanan yang sifatnya negatif.

Reaksi-reaksi cenderung menjadi tidak rasional atau tidak proporsional. Namun asal muasalnya justru dari para pejabat tinggi dan tertinggi negara sendiri sehingga berakibat bumerang berupa ” eigenrichting ” atau penghakiman oleh massa, tentu hal ini terjadi terhadap para pejabat penyelenggara negara yang ditandai, saat mengemban jabatannya, tidak keberpihakan kepada rakyat semesta.

Oleh karenanya diksi – diksi dan narasi yang dijadikan statemen Amin Rais yang menyatakan, ” Jokowi adalah sosok bahaya nasional ” diamini oleh penulis

Maka atas dasar kedaulatan berada ditangan rakyat atau biasa dikaitkan dengan istilah vox populi vox dei ( suara rakyat adalah suara tuhan ) yang berdaulat sesuai pasal 28 UUD. 45 dapat mencabut paksa hak – hak rakyat yang pernah diwakili mereka, oleh sebab tidak amanah, karena terbukti disfungsi sehingga DPR RI selaku legislalatif dan Presiden RI. Selaku eksekutif dapat saja digantikan oleh kekuatan rakyat dengan metode atau pola ” turun rame – rame dengan mendesak para anggota MPR RI untuk persidangan impeachment, dan hal kehendak rakyat, yang diimplemantasikan melalui berbagai kelompok massa ini, memang jalan terkahir untuk fungsikan hak kedaulatan rakyat, dikarenakan kondisi force mejeur atau darurat oleh sebab prinsip subtantif makna keadilan yakni hukum tertinggi adalah melindungi kepentingan rakyat atau
Salus populi suprema lex esto yang maknanya adalah keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, sebuah diktum yang menjadi dasar politik hukum negara yang pertama kali dikemukakan oleh Marcus Tullius Cicero (106–43 SM). dalam bukunya yang berjudul De Legibus (Tentang Hukum).

Selebihnya, terkait pola pikir yang mendasari Cicero pun menjadi perintah Tuhan kepada ummat mayoritas bangsa ini, amarma’ruf nahi munkar, karena Jokowi dan kabinetnya serta Anggota DPR RI dihadapan publik, tidak sekedar apriori, publik memiliki berbagai data empirik, bahwa eksekutif dan legislatif selain banyak melakukan disfungsi atas tugas dan kewenangannya termasuk pembiaran hukum sudah banyak melakukan tindakan keliru dan banyak melakukan perbuatan cacat moral atau moral hazard serta melakukan perbuatan melawan hukum yang bisa menjadikan banyak kerugian yang amat sangat kepada bangsa ini, maka kembali solusi yang paling mujarab adalah menggunakan hak kedaulatan ditangan rakyat atau vox poluli vox dei lalu mengikuti prinsip hukum salus populi suprema lex esto atau kewajiban ummat muslim tegakan yang hak lawan kebatilan amarma’ruf nahi munkar.

Tangerang Selatan, Jumat , 19 Januari 2024.

(Zs/NRS)

Sentimen: negatif (100%)