Sentimen
Negatif (88%)
17 Jan 2024 : 12.04
Informasi Tambahan

Kasus: covid-19

Jika Terpilih, Prabowo Bisa Bikin Indonesia Krisis Utang Lebih Parah Dibanding Jokowi

17 Jan 2024 : 12.04 Views 1

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Jika Terpilih, Prabowo Bisa Bikin Indonesia Krisis Utang Lebih Parah Dibanding Jokowi

PIKIRAN RAKYAT - Pada saat Debat ketiga Capres, Prabowo Subianto menyatakan bahwa tak masalah rasio utang Indonesia 50 persen dari PDB. Namun, Ekonom Ahli Fiskal Awalil Rizky menilai hal itu justru bisa menjadi gerbang menuju krisis utang yang lebih parah.

Pasalnya, jika nanti Prabowo-Gibran memenangkan Pilpres 2024, Prabowo Subianto memiliki kemungkinan akan menerapkan paradigma mengenai utang tersebut. Hal itu dinilai berbahaya bagi perekonomian Indonesia.

"itu artinya Pak Prabowo, pemerintahannya itu memang berencana akan mengutang yang banyak. kira-kira begitu kan? Orang sekarang aja kita 30 persen mau 50 persen, itu berarti kita akan menambah sekitar 20 persen," kata Awalil Rizky, Selasa 16 Januari 2024.

"Jadi terbayang bahwa ide itu, terlepas itu utang pemerintah ataupun utang luar negeri, sama saja dengan menaikkan rasio. Berarti ada rencana berutang jauh lebih banyak dibandingkan yang sudah-sudah," ujarnya menambahkan.

Terkait hal itu, Awalil Rizky mengatakan masyarakat harus melihat dua hal. Pertama, pengalaman Indonesia maupun negara lain terhadap utang. Kedua, rekomendasi buku teks maupun rekomendasi para pakar hingga lembaga internasional.

"Nah, kedua-duanya ini menunjukkan hal yang tidak sejalan dengan ide itu, bahwa ketika suatu negara utang luar negerinya rasionya di Kisaran 50, kisaran 50 artinya di atasnya sedikit atau di bawahnya, itu adalah pertanda negara tersebut akan mengalami krisis ekonomi," tuturnya.

"Krisis ekonominya bisa beriringan dengan krisis utang, bisa dimulai krisis utang baru krisis ekonomi, bisa dimulai krisis ekonomi (dan) krisis utangnya mempercepat, memperparah. Pernah terjadi di Indonesia, kita hanya pernah rasio di atas 50 persen itu dari tahun 90-an, 92, jadi 5 tahunan menjelang Pak Harto lengser. Nah ketika krisis, kita lalu jadi luar biasa, sampai lebih dari 100 persen," ucap Awalil Rizky menambahkan.

Dia menjelaskan, tidak mudah menurunkan rasio utang yang sudah terlanjur tinggi. Meski ekonomi secara umum sudah pulih, tetapi utangnya tidak bisa segera pulih.

"Jadi utangnya pelan-pelan berkurang, lalu rasio turun menjadi 60, 50, dan tadi sudah saya katakan baru mulai 2005 kita di bawah 50 persen tapi langsung lumayan penurunannya menjadi 36 persen dan itu terus turun," ujar Awalil Rizky.

"Selama era SBY rata-rata di 31, dan selama Jokowi pun sama naik sedikit 33. jadi dengan kata lain dalam pengalaman kasus Indonesia rasio 50 persen itu berarti akan krisis atau sedang krisis atau sedang pemulihan krisis. Artinya kan bahaya ide ini," katanya menambahkan.

Kebingungan dari Pernyataan Prabowo

Awalil Rizky menduga, Prabowo Subianto keliru membedakan antara utang pemerintah dengan utang luar negeri. Pasalnya, pertanyaan pada saat debat adalah terkait utang luar negeri.

Dia ditanya bagaimana sikap Pasangan Calon (Paslon) Nomor Urut 2 dan kebijakannya terhadap utang luar negeri Indonesia yang terus bertambah. Apakah hal itu tidak dikhawatirkan akan mengganggu kedaulatan negara.

"Lalu dijawab beliau, jawaban normatif, saya kira masih bagus jawabannya, tetapi ketika ditanggapi oleh paslon 01, beliau kemudian mengemukakan di tanggapan berikut bahwa sekarang ini rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB itu kisaran 40 persen. Saya kira tidak masalah ya yang namanya capres itu tidak harus presisi ke ekonomi, tapi ya jangan jauh-jauh juga kan," tutur Awalil Rizky.

"Nah itu bahkan sampai 50 persen tidak mengapa, dari konteks keseluruhan penjelasannya itu maksudnya tidak apa-apa belanja pengeluaran menjadi lebih besar demi memperkuat misalnya pertahanan kan konteks keseluruhannya begitu, dan rasio sampai 50 persen itu aman. Itu satu. Kedua, secara jelas dan tegas beliau mengatakan Indonesia termasuk yang terendah dalam hal rasio," ucapnya menambahkan.

Menurut Awalil Rizky, dua hal itu perlu diluruskan. Namun, dia menegaskan tidak akan mempersoalkan masalah politiknya dan akan membahas secara tenokratis dan akademis.

"Pertama, fakta bahwa sebetulnya rasio utang luar negeri itu tidak sama dengan rasio utang pemerintah. Utang luar negeri terdiri dari utang luar negeri pemerintah, utang luar negeri Bank Indonesia, dan utang luar negeri swasta, jadi tiga ya," ujarnya.

"Nah sementara utang pemerintah itu terdiri dari utang luar negeri pemerintah dan utang dalam negeri, berarti kan dia beririsan. Jadi tidak seluruh utang pemerintah masuk utang luar negeri, hanya sebagiannya, sepertiganya, dua per tiga utang dalam negeri. Maka rasio pun jadi berbeda, orang angkanya beda, kalau PDB-nya sama," tuturnya.

"Rasio itu adalah membandingkan posisi utang, sisa utang pada suatu waktu, dengan produk domestik bruto," ucap Awalil Rizky menambahkan.

Produk domestik bruto adalah nilai tambah produksi negara di wilayah Indonesia selama satu tahun. Bisa juga dibaca sebagai pendapatan nasional Indonesia selama setahun.

"Nah ketika beliau (Prabowo) dalam tanggapannya kepada paslon 01 itu mengatakan bahwa sekarang di Kisaran 40, itu keliru, yang benar sekitar 40 itu tepatnya 38,9 utang pemerintah," ujar Awalil Rizky.

"Sedangkan utang luar negeri hanya 30,6. jauh banget kan 30 dengan 40, 10 persen dari PDB itu artinya Rp2.000 triliun. Itu bukan selisih namanya, kan jadi keliru dan menurut saya misleading aja, mungkin dalam bayangannya Pak Prabowo ini utang pemerintah," tuturnya menambahkan.

Kedua, Awalil Rizky membenarkan bahwa dalam hal rasio, utang pemerintah memang 39 persen atau jampir 40 persen dan memang termasuk rendah di dunia. Namun, jika menyangkut utang luar negeri artinya berbeda, karena utang luar negeri Indonesia termasuk tinggi.

"Kita sejak tahun 2006 tidak pernah mencapai 50, bahkan mulai 2006 kita selalu di bawah 40, hanya pernah sekali di atas 40, sedikit banget, 40,4 itu di tahun 2020 karena Covid. Jadi dengan demikian, saya tidak tahu bagaimana Pak Prabowo punya pikiran bahwa tidak masalah 50, kita 40 saja enggak," katanya.

"Nah begitu juga dunia. Dunia itu rata-rata selama 20 tahun terakhir, dunia ini maksudnya khusus negara berpendapatan rendah dan menengah, itu rata-rata di kisaran 25. Bahkan di banyak tahun itu hanya 20. Artinya, ide 50 persen atau anggapan 50 persen itu tidak berdasarkan fakta," ucap Awalil Rizky menambahkan, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari kanal Youtube Hersubeno Point.***

Sentimen: negatif (88.8%)