Sentimen
Negatif (79%)
15 Jan 2024 : 06.27
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak, Pilkada 2020, Rezim Orde Baru, kongres luar biasa

Kab/Kota: Ciganjur

Kemarahan Megawati dan Efek Elektoral Jokowi terhadap PDI Perjuangan

15 Jan 2024 : 13.27 Views 1

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Kemarahan Megawati dan Efek Elektoral Jokowi terhadap PDI Perjuangan

JIKA seorang penulis ingin menulis skenario terbaik dalam perjalanan karier politisi di Indonesia, maka nama Megawati Soekarnoputri adalah salah satu politisi paling pantas dalam catatan itu.

Ia adalah satu-satunya politisi yang masih eksis hingga saat ini sebagai sosok yang mampu bertahan melalui 3 (tiga) masa periode kekuasan, yaitu periode kepemimpinan ayahnya Presiden Sukarno, periode Presiden Soeharto di masa Orde Baru dan periode reformasi.

Pun pada setiap perjalanan politik Mega, ia kerap menghadapi perselisihan politik dari orang terdekatnya yang kadang membuatnya merasa dikhianati.

Mulai dari; kudeta Soerjadi terhadapnya pada Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Medan 1996, Pembentukan Poros Tengah oleh Amien Rais yang dianggapnya melanggar komitmen Kesepaktan Ciganjur 1999 soal pemilihan presiden di MPR, majunya Susilo Bambang Yudhonono (SBY) sebagai capres di Pilpres 2004 dan majunya putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres di Pilpres 2024 untuk melawan kandidat Ganjar-Mahfud yang diusung PDI Perjuangan.

Lebih lanjut, baik Soerjadi, Amien Rais, SBY hingga Jokowi pada masanya adalah orang-orang yang pernah dekat secara pribadi dan emosional dengan Mega.

Secara politik, Mega selalu mengambil pilihan hitam putih dalam kerja sama politik. Ia sejatinya bukan sosok yang pendendam. Mega tidak pernah melakukan balas dendam dengan memakai hukum dan kekuasaan dalam menghajar lawan politiknya di masa lalu ketika berkuasa.

Sekali pun terhadap Presiden Soeharto, sosok yang menjadi lawan politik Mega di masa Orde Baru.

Namun sekali pun sifat Mega tidak pendendam, ia bukanlah tipe politisi yang mudah melupakan kejadian masa lalu dengan konsekuensi terputusnya kerja sama politik di masa depan dengan orang-orang yang dianggap pernah dekat dengannya, tapi melanggar komitmen.

Perseteruan dengan Amien Rais dan SBY di masa lalu adalah bukti tersahih bagaimana Mega tidak pernah membuka ruang kerja sama strategis dalam politik nasional hingga hari ini.

Relasi Mega-Jokowi

Sejak PDI Perjuangan mencalonkan dan berhasil memenangkan Jokowi di Pilkada DKI 2012, relasi Mega dan Jokowi menjadi sangat dekat.

Mega dalam pidato politiknya dihadapan para kader PDI Perjuangan beberapa kali mengibaratkan dirinya adalah “Mpok” atau kakak perempuan dari Jokowi.

Kemesraan ini berlanjut dengan surat rekomendasi dari PDI Perjuangan dalam pencapresan Jokowi di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.

Bahkan demi Jokowi, Mega terpaksa menggunakan hak prerogatifnya sebagai ketua umum dalam pencalonan Gibran maju sebagai Calon Wali Kota Surakarta dan pencalonan menantu Jokowi, Bobby Nasution maju sebagai Calon Wali Kota Medan pada Pilkada 2020.

Alasannya waktu itu, DPC PDI Perjuangan Kota Surakarta telah mengusulkan nama kader senior bernama Achmad Purnomo untuk maju sebagai calon wali kota. Demi menjaga hubungan dengan Jokowi, Mega akhirnya memutuskan nama Gibran.

Situasi yang sama juga terjadi di Kota Medan, kala DPC PDI Perjuangan Kota Medan telah mengusulkan nama kader senior Akhyar Nasution maju sebagai calon wali kota.

Sentimen: negatif (79.9%)