Sentimen
Informasi Tambahan
Brand/Merek: Ford
Kasus: korupsi
Tokoh Terkait
Nyalakan Obor Pencerahan Politik
Kompas.com Jenis Media: Nasional
PADA pemilu 2024 nanti, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 49 calon legislatif yang rekam masa lalunya pernah dipenjara karena terjerat kasus korupsi.
Nama mereka akan tertera di kertas suara. Dan bukan tidak mungkin, dengan kekuatan sumber daya materialnya, mereka bisa terpilih sebagai wakil rakyat.
Merujuk data Perludem, pada 2019, ada 9,9 persen caleg bekas terpidana korupsi yang berhasil terpilih.
Ini bukan sekadar ironi, tetapi juga terasa di luar nalar. Coba bayangkan, orang yang terbukti menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk memperkaya diri, dengan mencuri uang rakyat (APBN/APBD), masih juga dipercaya dan diberi mandat untuk menjadi Wakil Rakyat.
Pada kesempatan lain, seorang ketua umum partai menyebut bantuan sosial (Bansos) sebagai pemberian Presiden Jokowi. Sebagai rasa terima kasih, si ketum partai yang pernah diamuk oleh Harrison Ford perihal kerusakan hutan Indonesia itu mengajak warga memilih putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming, yang berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai Capres-Cawapres pada pemilu 2024.
Tentu saja, anggapan bahwa bansos adalah pemberian (pribadi) presiden adalah buah dari pikiran yang korup, licik, dan tuna moral. Sebab, seorang ketua umum partai harusnya tahu bahwa Bansos dibiayai oleh APBN, yang lebih dari 60 persennya dari pajak.
Pencerahan PolitikTahun 1930, ketika Partai Nasional Indonesia (PNI) limbung dan kadernya kocar-kocar pascamendapat represi, Mohammad Hatta bersuara amat keras tentang perlunya pencerahan politik.
Menurut Bung Hatta, kalau rakyat tidak punya keinsyafan dan pengertian, maka politik tidak bisa dijalankan. Sebab, politik tanpa pencerahan hanya melahirkan “manusia pembebek”, yang tak punya pikiran mandiri dan sekadar tergerak karena faktor emosional.
Rakyat yang buta politik, kata penyair kiri Jerman, Bertolt Brecht, tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam kehidupan politik. Mereka tidak tahu biaya hidup dan segala hal yang menyangkut kehidupannya ditentukan oleh politik.
Rakyat harus melek politik, agar mengerti isu-isu yang berkembang dan bagaimana kebijakan politik memengaruhi kehidupannya. Melek politik berarti memiliki pengetahuan, kemampuan, dan sikap untuk menyikapi isu-isu sosial dan politik (Sir Bernard Crick, 1978).
Bagi Crick, melek politik merupakan persyaratan paling dasar untuk memastikan warga negara untuk menjadi partisipan politik yang sadar, efektif, dan rasional. Hanya masyarakat melek politik yang bisa melahirkan pemimpin dan kehidupan politik yang sehat dan demokratis.
Beberapa indikator melek politik, antara lain: mengenal hak dan kewajiban sebagai warga negara, mengenal isu-isu politik yang berkembang, mengikuti berita/informasi politik secara reguler, bisa memilah informasi politik yang relevan, mengetahui cara berpartisipasi dalam politik, punya sudut pandang sendiri dan bisa bertukar pikiran, dan lain-lain.
Warga yang melek politik akan tahu bahwa di balik jalan yang rusak ada tanggung jawab pemerintah yang tak tertunaikan.
Mereka akan tahu, sembako hingga hasil pembangunan dibiayai oleh APBN, bukan dana pribadi pemerintah.
Bahkan, lebih tinggi lagi kadar meleknya, mereka bisa menilai janji politik relevan atau tidak. Mereka tidak gampang termakan oleh janji politik populis, apalagi gimik-gimik politik yang kering.
Sentimen: positif (91.4%)