Sentimen
Negatif (88%)
10 Jan 2024 : 05.48
Informasi Tambahan

Event: Rezim Orde Baru, kongres luar biasa

Kab/Kota: Surabaya

Kasus: Tragedi Kudatuli

Partai Terkait

51 Tahun PDI Perjuangan: Ujian Kepemimpinan Megawati

10 Jan 2024 : 12.48 Views 1

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

51 Tahun PDI Perjuangan: Ujian Kepemimpinan Megawati

PARTAI Demokrasi Indonesia (PDI) diterpa konflik internal menjelang Kongres III 1986. Alasannya sejak difusikan (digabungkan) oleh pemerintahan Orde Baru pada 10 Januari 1973, perolehan suara PDI dari pemilu ke pemilu mengalami penurunan, yaitu 29 kursi (10,06 persen) di Pemilu 1977 kemudian lima tahun berikutnya di Pemilu 1982 turun menjadi 24 kursi (8,60 persen).

Dampaknya terjadi perdebatan tajam di antara para elite PDI yang mengarah pada situasi destruktif serta mengancam eksistensi organisasi, khususnya terkait menguatnya ego sektoral kader dan faksi-faksi di tubuh PDI.

Para tokoh PDI kala itu, khususnya Ketua Umum Soerjadi, Manai Sophiaan, Supeni hingga Sabam Sirait merasa partai berlambang banteng itu membutuhkan keterlibatan keluarga Sukarno sebagai sosok yang bisa menyelamatkan eksistensi PDI.

Melalui ajakan dari Taufiq Kiemas, Megawati akhirnya bersedia masuk PDI jelang Pemilu 1987. Adapun Taufiq Kiemas adalah suami dari dari Megawati yang terlebih dahulu bergabung PDI.

Bergabungnya Megawati tentu membawa keberkahan bagi PDI. Ini tidak hanya menambah rasa percaya diri para kader, tapi karisma Megawati sebagai putri Sang Proklamator diyakini akan berkorelasi positif secara elektoral bagi penambahan suara dan kursi PDI.

Pada kampanye Pemilu 1987, Megawati banyak dilibatkan partai dalam forum-forum terbuka yang kala itu menjadi daya pikat massa atas kerinduan pada sosok Sukarno.

Dampaknya terjadi peningkatan suara PDI di 22 Provinsi di Indonesia yang beberapa wilayah di antaranya bahkan mampu mengungguli perolehan suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Tentu saja, Pemilu 1987 diakhiri gemilang oleh PDI karena kenaikan kursi yang signifikan menjadi 40 kursi (10 persen) atau naik 16 kursi dari Pemilu 1982, yaitu 24 kursi.

Kehadiran Megawati yang berkontribusi dalam peningkatan suara PDI ternyata memicu ketidaknyamanan dari rezim pemerintahan Orde Baru.

Ini tidak hanya berkaitan dengan keterpilihan Megawati menjadi anggota MPR/DPR RI periode 1987-1992, tapi jabatan struktural yang dipegangnya sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat kala itu bisa memicu efek bola salju dukungan yang berpotensi mendongkrak perolehan suara PDI di Pemilu berikutnya.

Terbukti pada Pemilu 1992, kesuksesan PDI kembali berlanjut, kursi PDI mengalami kenaikan signifikan menjadi 56 kursi (14,89 persen) atau naik 16 kursi dari perolehan Pemilu 1987, yaitu 40 kursi sekaligus mengantarkan Megawati kembali terpilih menjadi anggota DPR/MPR RI masa bakti 1992-1997.

Menyadari besarnya pengaruh Megawati terhadap PDI, dukungan dari kader di akar rumput, pengurus daerah hingga elite partai mulai muncul secara organik untuk mengusung Megawati maju menjadi pucuk pimpinan di PDI.

Pada Desember 1993, melalui Kongres di Surabaya, Megawati akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum PDI.

Namun keterpilihan Megawati sebagai ketua umum PDI menimbulkan kegusaran bagi pemeritahan otoritarisme Orde Baru.

Alasannya tidak hanya berkaitan dengan potensi kenaikan suara PDI di Pemilu yang bisa mengancam eksistensi Golkar sebagai partai pemerintah, tapi akan membangkitkan semangat para pendukung Sukarno kembali melek terhadap politik setelah apatis sebagai dampak dari kebijakan de-Sukarnoisasi yang digagas rezim Soeharto.

Adapun de-Sukarnoisasi adalah kebijakan dari pemerintah Orde Baru dalam upaya melemahkan sosok Sukarno dari ingatan rakyat Indonesia.

Rezim Orde Baru kala itu mulai bertindak dalam mengantisipasi semakin meluasnya pengaruh Megawati.

Agenda pecah belah di internal PDI atas intervensi pemerintah berujung pada Kongres Luar Biasa (KLB) yang dilaksanakan di Medan pada Juni 1996. Megawati tidak diundang.

Para kader pro-Megawati dilarang masuk ke lokasi pertemuan untuk memuluskan keterpilihan Soerjadi yang saat itu mendapat restu dari pemerintahan Soeharto untuk menjadi ketua umum PDI menggantikan Megawati. Secara aklamasi, Soerjadi akhirnya terpilih menjadi ketua umum.

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING Kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta.

Megawati menyatakan sikap dirinya menolak hasil KLB tersebut dan memilih bertahan menempati kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat.

Soerjadi merasa tidak senang. Begitu pun Rezim Orde Baru yang secara terang-terangan mendukung Soerjadi sebagai ketua umum yang sah versi pemerintah terlibat dalam upaya perebutan paksa kantor PDI.

Dampaknya bentrokan fisik tidak bisa dihindari pada tragedi berdarah di tanggal 27 Juli 1997 kala pendukung Soerjadi menyerang Markas PDI atau dikenal dengan peristiwa Kerusuhan Dua puluh Tujuh Juli (Kudatuli) yang memakan korban 5 orang meninggal dunia, 149 orang luka-luka, dan 23 orang hilang.

Megawati mendapatkan pengucilan secara politik. Seluruh headline koran-koran nasional yang pro-pemerintah mendiskreditkan Megawati sebagai seorang tokoh penghasut dan pemicu kerusuhan.

Sentimen: negatif (88.9%)