Borok KPU Tak Kunjung Sembuh Jelang Hari Pencoblosan
Rmol.id Jenis Media: Nasional
Kantor Berita Politik RMOL merangkum sejumlah persoalan yang disorot publik, karena dianggap krusial untuk pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.
Persoalan pertama adalah terkait pendaftaran partai politik (parpol) pada 1 hingga 14 Agustus 2023, meninggalkan borok bagi parpol yang tak lolos verifikasi karena penggunaan sistem informasi partai politik (Sipol).
Sipol yang digunakan sebagai instrumen pendaftaran agar mempermudah parpol mendaftar melalui teknologi informasi, justru memunculkan gugatan hingga laporan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), hingga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Parpol yang tak lolos verifikasi menganggap Sipol sebagai biang keroknya, sehingga dari 40 parpol yang mendaftar hanya 18 parpol nasional dan 6 parpol lokal Aceh yang memenuhi syarat menjadi peserta Pemilu Serentak 2024.
Bahkan, muncul laporan ke DKPP terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh KPU Sulawesi Selatan, karena diduga terdapat kecurangan oleh internal penyelenggara pemilu dengan mengubah data persyaratan parpol peserta Pemilu Serentak 2024.
Pencalegan Anggota DPR RI 2024 juga menyisakan luka yang menjadi borok bagi perempuan-perempuan yang menjunjung tinggi amanat Pasal 245 UU 7/2017 tentang Pemilu terkait aturan keterwakilan 30 persen perempuan di pencalonan anggota legislatif di setiap daerah pemilihan (dapil).
Pasalnya, KPU membuat aturan teknis yang termuat dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c Peraturan KPU 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang membuat keterwakilan caleg perempuan untuk pemilihan DPR RI tak mencapai 30 persen.
Pada akhirnya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menguji materiil norma keterwakilan perempuan itu ke Mahkamah Agung (MA).
Hasilnya, KPU dinilai tak menjalankan perintah UU Pemilu yang mengatur hal tersebut, karena mekanisme penghitungan pemenuhan 30 persen keterwakilan perempuan adalah pembulatan ke bawah.
Namun, putusan MA atas perkara nomor 24/ P/HUM/2023 tersebut tidak diindahkan KPU RI, karena tidak ada tindak lanjut yang jelas agar keterwakilan 30 persen caleg perempuan terpenuhi.
Pada akhirnya Perludem bersama sejumlah masyarakat sipil lainnya yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan, mengajukan laporan dugaan pelanggaran administrasi oleh KPU RI ke Bawaslu RI.
Putusan atas perkara itu dinyatakan terbukti melanggar, dan merekomendasikan agar KPU menjalani putusan MA, karena Majelis Pemeriksa Bawaslu RI mendapatkan bukti temuan 267 Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPR RI yang dinyatakan memenuhi syarat (MS) oleh KPU RI ternyata belum memenuhi 30 persen keterwakilan caleg perempuan.
Sebagian kalangan menganggap, seharusnya KPU membatalkan DCT anggota DPR RI 2024, dan memerintahkan parpol untuk merevisi nama-nama caleg di dapil yang tidak memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan.
Masalah ketiga adalah terkait peretasan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu Serentak 2024, yang dilakukan oleh hacker dengan anonim Jimbo.
Sebanyak 252 juta data yang termuat dalam DCT diklaim diretas Jimbo. Beberapa pakar teknologi informasi (TI) menyatakan peretasan tersebut benar terjadi. Alasannya, hasil penelusuran para pakar menemukan kecocokan data yang diretas adalah valid, karena sesuai dengan data induk yang direkam lembaga negara.
Namun, KPU RI hingga Desember 2023 kemarin tidak mengungkap akibat dari permasalahan peretasan data pemilih, meski ada dugaan pelanggaran perlindungan data pribadi pemilih yang dalam hal ini dirugikan.
KPU RI beralibi, persoalan data yang diretas tengah diselidiki oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) hingga Cyber Crime Mabes Polri. Namun, sudah sebulan berlalu sejak terjadi pada November 2023, hasil penyelidikan peretasan tak kunjung diungkap.
Masalah keempat, adalah terkait pembentukan aturan teknis pencalonan presiden dan wakil presiden 2024, khususnya pasca keluar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, atas uji materiil norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang mengatur batas usia minimum capres-cawapres.
Dalam hal ini, KPU mendapat kritik publik karena mengubah secepat kilat PKPU 19/2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, berbeda dengan ketika menindaklanjuti Putusan MA soal keterwakilan perempuan.
Tindak lanjut yang dilakukan KPU atas putusan MK tersebut langsung dikonsultasikan dengan Komisi II DPR RI, dan mendapat persetujuan untuk diubah.
Pada akhirnya, menyeruak dugaan KPU berkelindan dengan parpol yang mengusung putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Bahkan, KPU tak menghiraukan putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK), yang membuktikan adanya dugaan pelanggaran kode etik Anwar Usman selaku Ketua MK yang menangani perkara uji materiil norma batas usia minimum capres-cawapres saat itu, karena ternyata terbukti membiarkan adanya intervensi pihak luar terhadap MK untuk memutuskan menerima mengabulkan permohonan penggugat.
Masalah kelima baru saja terjadi di pertengahan Desember 2023 kemarin, yaitu kejadian surat suara untuk pemilihan metode pos di Taipei, Taiwan, dikirim di luar jadwal.
Pelanggaran prosedural yang dilakukan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Taipei diakui KPU RI. Hanya saja, pelanggaran pidana pemilu berupa pemilih memilih sebanyak dua kali tidak tidak direspon serius oleh KPU RI.
Sebab, KPU RI menyatakan surat suara yang dikirim di luar jadwal sebanyak 65.552 lembar yang terbagi kedua jenis pemilihan, yakni PIlpres dan Pileg Anggota DPR RI Dapil 2 DKI Jakarta, adalah rusak.
Sementara, Bawaslu RI menilai surat suara yang dikirim di luar jadwal tersebut tidak bisa dianggap rusak, karena tidak sesuai ketentuan perundang-undangan yang dibuat sendiri oleh KPU RI.
Tak cuma itu, Bawaslu juga meyakini akan timbul masalah di belakang, apabila surat suara yang menyalahi prosedur itu dianggap rusak.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
Sentimen: negatif (99.2%)