Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pemilu 2019, Rezim Orde Baru
Kab/Kota: Semarang
Kasus: korupsi
Partai Terkait
Siapa Berpesta di Pesta Demokrasi?
Detik.com Jenis Media: News
Jakarta -
Pada 25 - 26 November lalu, Project Multatuli berhasil mengadakan pesta yang bertajuk "Pesta Pinggiran". Tentu dari namanya saja sudah bisa ditebak kalau pesta yang digerakkan oleh media tersebut diperuntukkan bagi orang-orang pinggiran, orang-orang miskin kota, orang-orang miskin desa, buruh, mahasiswa, pemuda yang bingung dengan masa depannya, hingga masyarakat minoritas. Pesta ini bertujuan untuk membangun solidaritas sesama masyarakat untuk melawan narasi negara yang tidak memihak kepada masyarakat kecil.
Momentum pesta ini tentunya sangat pas mengingat Indonesia kini tengah bersiap untuk menggelar pesta besar yang disebut dengan pesta demokrasi, Pemilu 2024. Presiden Joko Widodo pernah mengatakan bahwa pemilu kali ini akan menjadi pesta demokrasi terbesar di Indonesia bahkan dunia. Perlu diketahui lebih dari 200 juta pemilih di dalam negeri dan 1,75 juta diaspora Indonesia di seluruh dunia akan ikut berpartisipasi dalam pemilu kali ini.
Tak hanya itu, pemilihan legislatif juga akan digelar bersamaan pada hari yang sama. Komisi Pemilihan Umum (KPU) kini telah resmi mengumumkan Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2024, untuk DPR RI sebanyak 9.917 calon dan untuk DPD RI sebanyak 668 calon. Tentu hal ini belum termasuk pemilihan DPRD tingkat 1 dan DPRD tingkat 2. Hal ini sudah cukup untuk menggambarkan betapa besarnya pesta yang akan Indonesia hadapi tahun depan.
Lalu, pernahkah kita berpikir, siapa yang sebenarnya berpesta di pesta demokrasi tersebut? Benarkah seluruh rakyat berpesta dalam pesta itu? Siapa tuan rumah dalam pesta itu? Apakah pesta itu pesta elit atau pesta rakyat?
Pesta Demokrasi
Berbicara tentang demokrasi tak sedikit orang ingin mati di hadapannya, misalnya saat Indonesia berupaya menghidupkan demokrasi di Tanah Air ini, tak sedikit mahasiswa dan masyarakat sipil meninggal dunia. Bahkan yang terbaru atas nama penyelenggaraan pesta demokrasi sekitar 894 penyelenggara meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. Selain itu saat menjelang penetapan pemenang Pilpres 2019 yang lalu, sekitar 6 orang meninggal dunia pasca unjuk rasa di depan Bawaslu RI. Pesta yang seharusnya berakhir dengan riang gembira, namun menelan korban jiwa.
John Pemberton, seorang antropolog dari Colombia University, menjelaskan (1986) bahwa istilah "pesta demokrasi" itu untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Presiden Soeharto pada Pemilihan Umum 1982. Saat itu ia tengah melaksanakan rapat persiapan pemilu bersama gubernur, bupati, dan wali kota se-Indonesia, Februari 1981. "Kita harus menganggap pemilihan umum sebagai sebuah pesta besar demokrasi", ucap Soeharto.
Frasa 'pesta demokrasi' hadir setelah pemerintahan Orde Baru berhasil memenangkan Pemilihan Umum 1971 dan 1977 dan mendominasi kehidupan politik saat itu. Pemilu 1982 kemudian dianggap sekadar sebuah perayaan formal belaka untuk memeriahkan kembali kemenangan pemerintah yang berkuasa. Secara sederhana pesta itu disiapkan untuk 'mensyukuri' kemenangan kembali kubu Soeharto.
Dalam persepsi Orde Baru, pesta demokrasi sama halnya dengan hajatan besar dalam suatu pernikahan. Misalnya terdapat segala perangkat resepsi pesta seperti iringan musik yang meriah, dekorasi menawan, hidangan lezat, dan segala perangkat pesta yang sudah tertata.
Dalam pesta pernikahan ada tuan rumah dan tamu, begitu pula dalam pesta demokrasi. Pemerintahan Soeharto saat itu menjadi tuan rumah dalam pesta sedangkan masyarakat hanya ditempatkan sebagai tamu belaka. Selayaknya tamu mereka hanya 'tim hore' sambil menikmati hiburan sesaat yang disajikan oleh tuan rumah. Setelah pesta demokrasi selesai, tamu akan kembali pada kehidupan masing-masing mereka bahkan sangat minim dilibatkan dalam aktifitas langsung dalam kehidupan politik.
Pesta Elit atau Pesta Rakyat?
Untuk Pemilu 2024 mendatang DPR dan pemerintah telah menyepakati besaran dana pelaksanaan Pemilu 2024 yakni Rp 76,6 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibanding dengan pemilu-pemilu sebelumnya yakni Rp 25,59 triliun pada 2019 dan Rp 15,62 triliun pada 2014. Nilai tersebut jauh lebih kecil jika melihat dana kampanye dari para peserta. Misalnya total dana kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo - Sandiaga 2019 mencapai Rp 213,2 miliar, sementara dana kampanye Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi - Amin menembus Rp 606,7 miliar. Tentu angka-angka tersebut adalah nilai yang sangat bombastis.
Kini pesta besar itu sudah semakin terlihat, sejak 28 November 2023 kampanye pemilu sudah dimulai. Para calon mulai menyambangi rumah-rumah warga untuk menebar janji-janjinya. Tak hanya itu mereka rela mengeluarkan gocek untuk memasang baliho, spanduk, ataupun hanya selebaran kertas yang ditempel di rumah warga. Hal ini bisa kita temui di banyak tempat, misalnya di setiap pinggir jalan raya, pertigaan, perempatan, dan persimpangan lainnya. Warna-warni di tengah jalan raya berhamburan, entah mengikuti aturan atau pun tidak. Baliho-baliho itu seakan menjadi sebuah sarana 'undangan' kepada masyarakat untuk datang ke sebuah pesta besar.
Selain memasang baliho di jalan-jalan para calon juga mendatangi rumah-rumah warga. Berbagai aktivitas mereka lakukan, dari membagikan sembako hingga bantuan untuk pembangunan. Hal yang aneh adalah mereka sebelumnya tak pernah berkunjung ke rumah warga itu sebelumnya. Menjelang pesta besar ini mereka berbondong-bondong silih berganti menebarkan undangan untuk datang ke pesta dan memilih mereka.
Janji-janji seperti tentang kesehatan, pendidikan, sarana prasarana, pangan, ekonomi kreatif, dan lain sebagainya mereka hadirkan. Tak jarang kita melihat mereka menggunakan private jet, namun setelah itu berbicara tentang krisis iklim; membicarakan kedaulatan pangan, tapi impor beras dari negara tetangga; berbicara tentang penggunaan transportasi umum, tapi tetap nyaman dengan kendaraan pribadinya.
Penentu Politik Indonesia
Jeffrey Winters, seorang analis politik asal Amerika, menilai (2013) Indonesia adalah ladang basah para oligarki untuk tumbuh dan berkembang. Di Indonesia tak ada aturan terkait melarang pihak oligark untuk menjalankan aksinya karena negara demokrasi menjamin siapa saja dengan jalan apa saja untuk berkuasa, sekalipun dengan material. Namun sayangnya rakyat menjadi korban. Lihat saja contohnya berbagai kebijakan yang tidak pro dengan kepentingan rakyat.
Contoh yang paling dekat dan menghebohkan publik adalah kala DPR dan pemerintah sepakat untuk mengubah UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU KUHP. Masyarakat sipil telah bergerak untuk menolak perubahan kala itu, namun penguasa tak mengindahkannya sama sekali. Entah siapa yang diuntungkan dalam praktik kebijakan itu.
Hadiz dan Robison (2013) mengatakan bahwa meskipun terjadi konsolidasi demokrasi sejak 1998, namun pemerintahan pasca-otoriter masih dikuasai oleh kaum oligarki dan predator kekuatan yang telah menentukan politik Indonesia selama beberapa dekade. Tak hanya itu, pandangan serupa mengatakan bahwa politik Indonesia kontemporer didominasi oleh kartel partai, di mana berbagai partai politik berkolusi untuk menikmati rampasan kekuasaan (Slater 2004; Ambardi 2008).
Contoh yang paling dasar adalah kala naiknya Jokowi ke kursi kepresidenan pada 2014 yang sebagian disebabkan oleh dukungan oligarki dalam kampanyenya. Hal ini membuat dirinya sulit untuk melepaskan diri dari kewajibannya kepada oligarki setelah menjadi presiden (Muhtadi, 2015).
Tampaknya di Pemilu 2024 akan sama saja, oligark-oligark itu akan berkelindan di tubuh masing-masing calon. Lihat saja komposisi tim pemenangan masing-masing calon presiden. Kita akan menemukan beragam kalangan pebisnis ternama negeri ini terlibat di dalamnya. Di tim Prabowo-Gibran ada Aburizal Bakrie, Rosan Roeslani, Erwin Aksa, Wishu Wardana, Akbar Himawan Bukhori, dan Pandu Patria Sjahrir.
Di kubu pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md dikelilingi sosok-sosok pengusaha hebat di antaranya ada Harry Tanoesoedibjo, Sandiaga Uno, hingga Arsjad Rasjid. Selain itu di kubu Anies Baswedan sosok yang paling mencolok sejauh ini adalah Ketua Umum Partai NasDem sekaligus Pimpinan Media Group, Surya Paloh.
Pascapesta selesai semua elit akan kembali berkonsolidasi untuk menikmati hidangan kue besar kekuasaan. Tak jarang kita melihat pascapesta demokrasi digelar, semua kandidat kembali harmonis dengan kue kekuasaan yang sudah dibagi. Lihat saja kubu Prabowo-Sandiaga pada pemilu 2019, keduanya adalah lawan Jokowi-Amin. Namun mereka mendapat jatah untuk masuk ke dalam pemerintahan. Prabowo sebagai Menteri Pertahanan dan Sandiaga sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada akhirnya rakyat hanya menikmati sandiwara pesta elit semata. Untuk itu nikmati saja secukupnya dan sepintar-pintarnya.
Dendy Lisna Wansyah Associate Researcher di Lembaga Kajian Kolaboratif Semarang
(mmu/mmu)
Sentimen: negatif (100%)