Sentimen
Negatif (50%)
7 Des 2023 : 13.29
Informasi Tambahan

Event: Rezim Orde Baru

Partai Terkait

PDI-P Tolak Gubernur Jakarta Ditunjuk Presiden, Said Beberkan 4 Alasannya

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

7 Des 2023 : 13.29
PDI-P Tolak Gubernur Jakarta Ditunjuk Presiden, Said Beberkan 4 Alasannya

KOMPAS.com – Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bidang Perekonomian Said Abdullah memaparkan empat alasan pihaknya menolak usulan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Wagub) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) ditunjuk dan diangkat oleh presiden.

Untuk diketahui, peraturan tentang pemilihan kepala daerah tersebut tercantum dalam draft Rancangan Undang-undang (RUU) DKJ telah disepakati menjadi usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) dalam rapat paripurna ke-10 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 2023-2024, Selasa (5/12/2023). 

“Pertama, kekhususan Jakarta tidak boleh menjadi dasar bahwa gubernur dan wagub Jakarta dipilih oleh presiden selaku kepala pemerintahan, sebab hal itu tidak ada hubungannya,” ujar Said dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (7/12/2023).

Baca juga: Jakarta Sudah Punya Kekhususan, Pengamat Sebut Mekanisme Pemilihan Gubernur Tak Usah Diutak-atik

Formulasi kekhususan Jakarta, lanjut dia, seharusnya diartikan sebagai bagian dari daerah yang menyimpan sejarah perjuangan bangsa dan negara, sekaligus sebagai pusat kegiatan bisnis dan keuangan berskala nasional dan internasional.

Said mengungkapkan, alasan kedua adalah kewenangan kekhususan Jakarta yang dijabarkan dalam RUU DKJ, yang terbagi dalam kewenangan urusan pemerintahan dan kelembagaan, belum sepenuhnya mencerminkan kekhususan Jakarta.

“Meskipun RUU DKJ telah mengatur dengan rinci mengenai kewenangan kekhususan Jakarta, tetapi ada hal yang luput dimasukkan dalam peraturan tersebut, seperti kewenangan dalam tata kelola pemajuan sejarah bangsa di Jakarta,” jelas Said. 

Baca juga: Sejarah Hari Bela Negara dan Konsepnya

Lebih lanjut, ia menjelaskan, alasan ketiga dari penolakan PDI-P atas ajuan pemilihan gubernur dan wagub DKJ itu karena tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

“Usulan ini mencabut hak politik warga Jakarta. Terlebih lagi, sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di daerah khusus, gubernur Jakarta akan memiliki kewenangan yang lebih besar daripada daerah otonom lainnya,” tutur Said.

Menurutnya, kewenangan yang signifikan harus selaras dengan asas demokrasi. Oleh karena itu, PDI-P berkomitmen untuk merawat dan memperkuat perkembangan demokrasi yang baik di Jakarta.

Baca juga: Ramai-ramai Tolak Wacana Penunjukan Gubernur Jakarta oleh Presiden: Sekjen PDI-P hingga Cak Imin

“Alasan keempat peran Jakarta sebagai ibu kota telah berakhir, dan agar berlaku adil dan sejalan dengan daerah otonom lainnya, maka bupati dan wali kota yang memerintah di kabupaten dan kota yang berada di wilayah Jakarta juga harus dipilih melalui pemilihan kepala daerah secara langsung,” imbuhnya.

Selain itu, lanjut Said, pemilihan DPRD kabupaten/kota juga harus dipilih secara langsung. Hal ini bertujuan agar Jakarta menjadi daerah otonom sepenuhnya, bukan lagi sebagai bagian dari wilayah administratif.

Gagasan yang mundur ke belakang

Dalam kesempatan tersebut, Said mengungkapkan bahwa gagasan mengenai pemilihan gubernur dan wagub DKJ yang ditunjuk oleh presiden layaknya seperti mundur ke belakang.

Baca juga: Serahkan Realisasi SHU PT HMBP, Wagub Kalteng Harap Kesejahteraan Masyarakat Meningkat

“Saat masih menjadi ibu kota negara, Jakarta sudah melaksanakan proses demokrasi dengan baik. Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta bahkan menjadi barometer demokrasi nasional karena partisipasi kritis warga Jakarta, meskipun Pilgub Jakarta pernah diwarnai oleh politisasi agama pada 2017,” jelasnya.

Namun secara umum, lanjut Said,  pelaksanaan Pilgub Jakarta adalah barometer politik nasional dan simbol demokrasi.

Ia mengungkapkan bahwa ada banyak tokoh nasional yang lahir dari kepemimpinan di Jakarta, seperti Joko Widodo (Jokowi), Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan Ali Sadikin, tokoh Petisi 50 pada era Orde Baru (orba).

“Praktik yang tumbuh dengan baik ini seharusnya tidak ditarik kembali seperti pada masa kegelapan atau masa otoritarian seperti era orba,” kata Said. 

-. - "-", -. -

Sentimen: negatif (50%)