Sentimen
Negatif (99%)
7 Des 2023 : 15.37
Informasi Tambahan

Kasus: korupsi

Partai Terkait

Pernyataan Lama Fahri Hamzah Soal Kasus E-KTP Kembali Viral, Novel Baswedan: Ini Kata-katanya Seperti Penjahat

7 Des 2023 : 22.37 Views 1

Fajar.co.id Fajar.co.id Jenis Media: Nasional

Pernyataan Lama Fahri Hamzah Soal Kasus E-KTP Kembali Viral, Novel Baswedan: Ini Kata-katanya Seperti Penjahat

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, mengundang perhatian publik setelah secara mendadak menyinggung Wakil Ketua Partai Gelora, Fahri Hamzah.

Hal ini bermula dari viralnya wawancara kembar Fahri pada 2017 yang menuding Agus Rahardjo dan Novel Baswedan terlibat dalam kasus e-KTP.

Dalam tanggapannya di aplikasi media sosial X, Novel menyampaikan ketidaksetujuannya dengan keras, menyebut pernyataan Fahri seperti ucapan seorang penjahat.

"Fahri ini kata-katanya seperti penjahat," ujar Novel dalam keterangannya di aplikasi X @nazaqistsha (6/12/2023).

Novel Baswedan tidak menahan kritiknya terhadap Fahri Hamzah, menyoroti konsistensi politisi tersebut dalam memusuhi individu yang berkomitmen memberantas korupsi dengan benar.

"Tapi memang dari dulu dia konsisten memusuhi orang-orang yang mau memberantas korupsi dengan benar," ucapnya.

Novel mencermati peran Fahri yang dengan gigih membela Firli Bahuri, yang dianggapnya merusak integritas KPK.

"(Fahri) Sekuat tenaga membela Firli yang merusak KPK," Novel menuturkan.

Dalam konteks tudingan terhadap Agus Rahardjo dan dirinya dalam kasus e-KTP, Novel Baswedan menegaskan, pernyataan Fahri Hamzah terdengar seperti tuduhan.

Pernyataan ini menciptakan ketegangan baru dalam dinamika politik dan penegakan hukum di Indonesia.

"Kalau Fahri mau membuka soal apapun itu bagus.
Karena anti korupsi itu transparansi dan akuntabilitas," tandasnya.

Dinamika politik dan persaingan dalam penegakan hukum kembali menjadi fokus perbincangan, menimbulkan pertanyaan tentang independensi lembaga penegak hukum dan intervensi politik dalam prosesnya.

Sebelumnya, dalam beberapa video yang beredar di aplikasi X, terdapat pernyataan mantan Ketua KPK Agus Raharjo yang menceritakan ketika mendapat tekanan langsung dari Presiden.

"Waktu zaman saya, KPK mau dicoba untuk dijadikan alat kekuasaan, tapi waktu itu masih independen. Masih tidak di bawah Presiden, kita masih bisa menyangkal, bisa tidak mengikuti apa yang diinginkan Presiden," kata Agus dalam video tersebut.

Dibeberkan Agus, pernyataan itu baru pertama kali dia ungkapkan di media. Selama ini dia hanya memendam sembari mengikuti setiap perkembangan.

"Mohon maaf ini perlu saya ungkapkan karena semuanya harus jelas dan saya pikir baru sekali ini saya mengungkapkan di media yang kemudian ditonton orang banyak," ucapnya.

"Bicara kepada beberapa teman sudah, tapi kalau di media belum. Mohon maaf, saya terus terang pada kasus e-KTP, saya dipanggil sendirian oleh Presiden," Agus menuturkan.

Diceritakan Agus, saat dipanggil oleh Presiden, bukan melalui ruang wartawan, melainkan di ruang masjid kecil.

"Dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi di ruang masjid kecil," imbuhnya.

Tambahnya, saat memasuki ruangan tersebut, dia sudah disambut Presiden dengan wajah yang marah.

"Di sana begitu saya masuk, Presiden sudah marah. Karena baru saya masuk, beliau sudah teriak hentikan!," tukasnya mengikuti gaya bicara Jokowi.

Awalnya, Agus mengaku masih belum mengerti kasus apa yang diminta Presiden untuk dihentikan.

"Setelah saya duduk yang suruh hentikan itu ternyata kasusnya pak Setyo Novanto, ketua DPR waktu itu yang mempunyai kasus e-KTP. Mengingat Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) telah diterbitkan," ingatnya.

Karena KPK tidak punya SP3, kata Agus, dia mengatakan tidak mungkin dirinya menghentikan atau membatalkan kasus tersebut.

"Saya bicara apa adanya saja, sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu, saat itu di KPK tidak ada SP3, tidak mungkin saya memberhentikan itu," terangnya.

Hingga pada akhirnya, dikatakan Agus, dilakukan revisi Undang-undang. KPK pada hasil revisi tersebut menjadi di bawah kendali Presiden.

"Tapi akhirnya kan dilakukan revisi Undang-undang, intinya itu SP3 jadi ada, kemudian di bawah (kendali) presiden. Presiden mungkin waktu itu berpikir ini diperintah Presiden kok gak mau," kuncinya.

(Muhsin/fajar)

Sentimen: negatif (99.9%)