Sentimen
Netral (47%)
30 Nov 2023 : 23.14
Informasi Tambahan

Institusi: UIN, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Alasan masyarakat sipil tak komentari putusan MK No.141

1 Des 2023 : 06.14 Views 1

Alinea.id Alinea.id Jenis Media: News

Alasan masyarakat sipil tak komentari putusan MK No.141

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (29/11), mengeluarkan putusan Nomor 141/PUU-XXI/2023 soal batas usia calon presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan pemaknaan baru melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Hasilnya, MK menegaskan, pemaknaan baru melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/202 tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut MK dalam keterangan resminya, upaya menyesuaikan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden sebagaimana termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu, sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, atau upaya menyepadankan dengan pejabat negara atau penyelenggara negara (public official)-termasuk menyepadankan atau mengalternatifkan dengan jabatan yang berasal dari hasil pemilihan umum (elected official), masih tetap merupakan dan berada di ranah pembentuk undang-undang.

MK juga menegaskan ada hierarki dalam jenjang pemerintahan, maka syarat batas usia untuk menjadi presiden, gubernur, bupati/wali kota pun dibuat secara berjenjang. Di mana, untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden yakni berusia paling rendah 40 tahun (Pasal 169 huruf q UU 7/2017), calon gubernur/wakil gubernur berusia paling rendah 30 tahun, dan calon bupati/wakil bupati serta calon wali kota/wakil wali kota berusia paling rendah 25 tahun [Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang].

Desain politik hukum pembentuk undang-undang membuat tingkatan batas usia seperti ini, menurut MK, dimaksudkan untuk mengakomodir apabila ada kemungkinan seseorang menjalani jenjang karier sebagai kepala daerah dimulai dari tingkatan yang paling bawah, yakni kota, kabupaten, dan provinsi.

Merespons putusan tersebut, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute dan dosen hukum tata negara UIN Syarif Hidayatullah Ismail Hasani mengatakan, putusan No.141 memang bukan untuk dimaksudkan menganulir putusan No.90. Sebab, keduanya merupakan suatu proses litigasi konstitusi yang berbeda

Karena menurutnya, penolakan hakim MK itu bukan sebagai konfirmasi kebenaran dari putusan No.90. Di mana, putusan No.90 memang seharusnya dianulir dan putusan kotroversial itu bertentangan dengan prinsip konstitusi pada Pilpres 2024. 

"Jadi yang dilakukan MK pada hari ini harus ditafsirkan karena hakim konstitusi tidak mau masuk perdebatan putusan No.90. Apalagi, putusan MK adalah final dan mengikat. Dan itu harus dipatuhi. Maka tidak heran jika pada hari ini, MK menolak pengujian yang dilayangkan yang diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Brahma Aryana," kata dia saat dihubungi Alinea.id, Kamis (30/11).

Karena itulah, dia memastikan yang dilakukan MK pada kasus ini bukan sebuah afirmatif. Melainkan tetap sebagai upaya uji materi konstitusional yang harus diperiksa MK. Hanya saja, argumentasi dari empat hakim konstitusi pada saat putusan No.90 tidak lagi bisa dilakukan karena adanya persamaan dalam pertimbangan hukum.

Sentimen: netral (47.1%)