Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Sorong
Tokoh Terkait
Menakar Potensi BIN Terlibat Pilpres 2024 dan Risiko Penyalahgunaan Intelijen untuk Kepentingan Politik
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Potensi keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam Pemilu 2024, termasuk Pilpres, mencuat usai muncul pakta integritas Pj Bupati Sorong. Pasalnya, perjanjian tersebut juga menyantumkan tanda tangan dari Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Barat.
Dilihat dari isu yang tengah berkembang itu, seberapa besar potensi BIN ikut terlibat dalam pemilu?
Peneliti dan Koordinator klaster Konflik, Pertahanan, Keamanan Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN), Muhamad Haripin mengatakan bahwa hubungan langsung Presiden Jokowi dengan Kepala BIN memiliki risiko politisasi.
"Penggunaan intelijen oleh presiden untuk kepentingannya sendiri, pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Intelijen yang bergerak sendiri secara otonomi dan unilateral untuk menjalankan kegiatan-kegiatan politik pernah terjadi juga," katanya, Rabu 15 November 2023.
Muhamad Haripin merujuk pada kejadian pada September lalu. Pada saat itu, Jokowi mengatakan pada acara relawan bahwa dia mengantongi data intelijen yang menunjukkan arah geraknya partai politik.
Meski data intelijen memang menjadi kewenangan presiden untuk mengakses, seharusnya data itu tidak digunakan untuk kepentingan politik. Dia pun menyayangkan hal itu dan menyebutnya sebagai 'penyalahgunaan intelijen'.
"Intelijen sebagai garis pertama pertahanan dan keamanan nasional dalam konteks mengidentifikasi ancaman-ancaman keamanan nasional dari pihak eksternal maupun internal, bukan untuk kepentingan politik," tutur Muhamad Haripin.
Dia menuturkan, hal itu tertera dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Jika memang BIN terbukti terlibat dalam mengintervensi proses Pilpres, Muhamad Haripin khawatir masyarakat akan mempertanyakan legitimasi dari hasil pemilu.
Lebih parahnya lagi, masyarakat bisa tidak percaya lagi dengan lembaga intelijen yang seharusnya menjaga keamanan.
"Mungkin akan berujung pada ketidakpuasan masyarakat. Masyarakat merasa pemilunya tidak adil, dan ada ekspresi-ekspresi sosial politik yang lebih radikal dari masyarakat terkait hal itu," ujar Muhamad Haripin.
Pakta Integritas Ganjar Diragukan
Pengamat intelijen dari Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS), Ngasiman Djoyonegoro meragukan kebenaran dari pakta integritas yang beredar di tengah publik. Menurutnya, isi dari pakta itu bertentangan dengan cara kerja intelijen.
"Untuk pemilu saya kira ruang gerak sangat terbatas karena pengawasan dari DPR dan tim intelijen sangat ketat. Jadi tidak mungkin ada penyalahgunaan data intelijen yang seperti kita dengar. Itu saya kira masih agak jauh," tuturnya.
Ngasiman Djoyonegoro mengatakan, penggunaan data intelijen dalam pemilihan umum merupakan isu yang sering digaungkan di ranah publik. Sebagai contoh, kasus ketika muncul dugaan bahwa intelijen Rusia ikut campur dalam pemilu AS 2016.
"Artinya sulit untuk membuktikan apakah hasil pemilu merupakan operasi intelijen atau tidak. Biasanya dugaan itu selalu berasal dari pihak yang kalah pemilu. Itu di mana-mana," katanya.
Oleh karena itu, Ngasiman Djoyonegoro mengatakan bahwa semua institusi negara, baik BIN maupun TNI-Polri dan kejaksaan, perlu menjaga netralitas mereka agar dapat mempertahankan kepercayaan publik dalam mengawal pemilu.
"Sehingga kita betul-betul memulai proses pemilu yang berkualitas dan legitimate, seperti yang diharapkan para capres-cawapres ketika tadi malam melakukan undian nomor urut," ujarnya, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari BBC.
BBC News Indonesia telah berupaya mengubungi Juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Purwanto untuk mengonfirmasi tudingan tersebut. Namun, hingga berita ini diterbitkan, yang bersangkutan belum memberi tanggapan.***
Sentimen: positif (100%)