Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Guntur, Solo
Tokoh Terkait
Pergantian Ketua MK, Suhartoyo Ambil Alih Kursi Anwar Usman, Saldi Isra Tetap Wakil Ketua
Fajar.co.id Jenis Media: Nasional
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) setelah terbukti melanggar etik, Anwar Usman secara resmi digantikan Suhartoyo.
Hal tersebut diputuskan pada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan diumumkan langsung oleh hakim konstitusi Saldi Isra di Gedung MK pada Kamis (9/10/2023).
Dikatakan Saldi, keputusan tersebut telah disepakati secara musyawarah mufakat oleh hakim konstitusi lainnya.
"Yang jadi Ketua Mahkamah Konstitusi ke depan adalah Bapak Suhartoyo," ujar hakim konstitusi Saldi Isra dalam konferensi pers.
Sementara itu, yang mengisi jabatan wakil ketua, kata Saldi, tetap dirinya sendiri.
Dari informasi yang dihimpun, Suhartoyo tercatat sebagai salah satu hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan yang mengabulkan sebagian permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Seperti diketahui, putusan tersebut membuat syarat minimal usia capres-cawapres tetap pada batas minimum 40 tahun.
Hanya saja, ditambahkan catatan di bawah 40 bisa maju dengan syarat pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan itu secara langsung memberikan jalan tol politik kepada putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang baru berusia 36 tahun.
Adapun Suhartoyo menggantikan posisi hakim konstitusi Anwar Usman yang dicopot dari jabatan Ketua MK karena dinilai Majelis Kehormatan MK (MKMK) terbukti melanggar etik berat.
Menurut Suhartoyo dalam dissenting opinion-nya, permohonan nomor 90 yang diajukan mahasiswa Solo, Almas Tsaqibirru, itu tak memiliki kedudukan hukum.
Bukan hanya itu, Suhartoyo juga konsisten menyatakan terkait kedudukan hukum pada semua permohonan syarat usia cawapres yang putusannya dibacakan serentak pada 16 Oktober 2023 lalu.
Pada perkara nomor 90, Suhartoyo satu dari empat hakim konstitusi yang menyatakan dissenting opinion.
Sementara tiga hakim konstitusi lain di antaranya Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Wahiddudin Adams.
Masing-masing di antara mereka memiliki pendapat berbeda.
Wahiduddin Adams dan Saldi Isra dalam dissenting opinion-nya menyatakan, MK seharusnya menolak permohonan tersebut seluruhnya.
Alasannya, karena masuk dalam ranah open legal policy atau kewenangan pembuat undang-undang.
Sementara Suhartoyo menyebut, MK seharusnya menolak permohonan itu, bahkan tak menyidangkan, karena pemohon tak memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang jelas.
Selanjutnya, Arief Hidayat dalam dissenting opinion-nya menolak permohonan itu karena sebelumnya pernah dicabut tapi pencabutannya dibatalkan.
Arief menilai itu sebagai ketidakseriusan pemohon dan kuasa hukum, sehingga dapat ditafsirkannya mempermainkan muruah lembaga peradilan.
"Dengan demikian, sebagai konsekuensi hukum dari penarikan perkara maka Pemohon tidak dapat melakukan pembatalan pencabutan perkara a quo dan perkara yang telah dicabut atau ditarik tidak dapat diajukan kembali," Arief menuturkan.
Pendapat berbeda dilayangkan hakim lainnya, Enny Nurbaningsih dan Daniel YP Foekh.
Dia justru mengabulkan namun dengan alasan berbeda. Enny dan Daniel setuju kepala daerah dapat menjadi capres-cawapres meski belum berusia 40 tahun.
Namun, hanya untuk tingkat gubernur atau pemimpin provinsi. Tidak untuk level Presiden dan Wakil Presiden.
Enny mengatakan, syarat Gubernur yang bisa jadi capres-cawapres meski belum usia 40 itu merupakan open legal policy atau hak pembuat undang-undang.
"Tetap merupakan ranah kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukannya," ucapnya.
Terpisah, Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul setuju semua kepala daerah dapat menjadi capres-cawapres meski belum berusia 40 tahun. (Muhsin/Fajar)
Sentimen: negatif (96.9%)