Sentimen
Negatif (96%)
9 Nov 2023 : 06.50

Keabsahan Gibran Sebagai Cawapres - Keuangan News

9 Nov 2023 : 06.50 Views 1

Keuangan News Keuangan News Jenis Media: Nasional

Keabsahan Gibran Sebagai Cawapres - Keuangan News

KNews.id – Tidak ada kaitannya dengan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, (MKMK) yang kini tengah menggeledah para Hakim Konstitusi yang memutuskan perkara No 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut membuat Gibran Rakabuming jadi bakal calon Wapres dalam Pilpres 2024.

Bagi saya, putusan MKMK kelak berada dalam ranah etika. Karena itu, dasar penilaian MKMK adalah aturan internal MK dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Wilayah jelajah MKMK bukan wilayah judisial. Saya ingin mengupas kasus putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 dari perspektif hukum belaka. Tidak yang lain-lain.

Dasar saya adalah Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Di situ ditegaskan, terutama pasal 17, bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga. Selanjutnya dikatakan, seorang hakim atau panitera, wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri, maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Dalam hal terjadi pelanggaran sebagaimana yang menjadi kewajiban hakim di atas, putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera dapat dikenai sanksi administratif atau pidana. Kini, jelas dan terang benderang. Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, ikut menyidangkan perkara No 90/PUU-XXI/2023 di mana perkara tersebut berkaitan dengan keponakannya, Gibran.

Ada keterkaitan kepentingan antara dirinya sebagai hakim, dengan Gibran sebagai pihak yang diuntungkan. Tentu ada yang bersoal, perkara tersebut diajukan bukan oleh Gibran, tetapi orang atau pihak lain. Anwar Usman kan sebagai hakim tidak memiliki keterkaitan dengan penggugat.

Andaikan kasus gugatan ini berlingkar dalam wilayah senyap, tanpa publikasi ke publik, alasan itu masih bisa diberi ruang pertimbangan. Sayang sekali, sudah berbulan kita dikepung oleh pemberitaan mengenai uji materi ini, dan selalu memunculkan nama Gibran sebagai pihak yang bakal diuntungkan.

Cristal is clear. It goes without saying it. Yang paling penting, serentetan aksi Anwar Usman dalam kaitan perkara ini meneguhkan keyakinan orang bahwa ada sesuatu antara dirinya dengan perkara yang ditanganinya.

Di perkara-perkara sejenis, sebelumnya, Anwar Usman tidak ikut. Namun dengan perkara yang satu ini, Anwar Usman sangat aktif ikut serta. Maka, tidak salah bila banyak orang yang menilai, pencalonan Mas Gibran sebagai bakal calon Wakil Presiden berhadapan langsung dengan masalah yuridis, mengenai keabsahan pencalonan tersebut.

Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi, hakim yang ikut memeriksa, menyidangkan, dan memutus perkara yang menguntungkan Mas Gibran, seharusnya mengundurkan diri, tidak ikut serta dalam perkara tersebut. Keikutsertaan Anwar Usman dalam perkara tersebut, menurut ketentuan, membuat putusan MK tidak sah.

Namun, bagaimana dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang secara tegas mengatakan bahwa putusan MK adalah final dan mengikat? Artinya, tidak bisa diutak atik lagi? Di sinilah debat hukumnya, karena ada dua instrumen hukum (undang-undang) yang derajatnya sama, saling beradu. Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim yang ikut dalam sebuah perkara dan ia memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara itu, maka putusannya tidak sah.

Di lain sisi, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sudah tidak bisa diutak atik lagi. Berhadapan keadaan ini, saya membayangkan bahwa kita mengambil terobosan hukum. Di satu sisi, kita tidak mengorbankan Mas Gibran, di sisi lain, kita tidak menerjang aturan main yang baku. Kita harus berbesar jiwa melakukan retrial (membuka) perkara ini.

Apalagi, dalam UU No 48 Tahun 2009, membolehkan melakukan pemeriksaan kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda, terhadap perkara yang diputus oleh hakim yang memiliki kepentingan dengan perkara yang ditanganinya. Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi harus mengambil inisiatif untuk melakukannya. Jangan dianggap masalah ini berlalu begitu saja, toh masyarakat akan melupakannya kelak.

Tidak boleh seperti itu. Masalahnya, prinsip seorang hakim tidak boleh mengadili perkara yang berkaitan dengan dirinya, bukan sekadar perintah undang-undang, tetapi itu adalah prinsip universal yang berlaku di negara-negara yang beradab. Nemo judex idoneous in propria causa (tak seorang pun menjadi hakim dalam perkaranya sendiri).

Bila prinsip ini kita tidak tegakkan, di mana muka bangsa ini kita taruh? Apakah kita masih bisa berjalan dengan kepala tegak di antara bangsa-bangsa beradab? Dalam film Just Mercy, Michael Bakari Jordan, memerankan lakon pengacara muda, bernama Bryan Stevenson, yang gigih membela hak-hak kaum papa di Alabama, Amerika Serikat. Stevenson membela Walter McMillan (Jamie Fox), yang sudah bertahun-tahun dalam penjara, menanti kapan petugas penjara datang memanggilnya untuk menjalani eksekusi mati. Stevenson tidak putus harapan.

Ia membuktikan bahwa hukuman mati atas kliennya adalah semena-mena karena ia dituduh membunuh dan dihukum hanya karena kesaksian palsu dari seorang pembunuh yang ingin meringankan beban hukumannya sendiri. Stevenson, berdasarkan bukti itu, memohon ke Mahkamah Agung agar kasus yang ditanganinya itu, dibuka ulang (retrial). Mahkamah membolehkannya dan ia menangkan perkara itu.

Dalam perjalanan dari penjara ke rumah keluarga McMillan, Stevenson mengatakan:

“Kita tidak bisa mengubah dunia hanya dengan ide dan gagasan. Kita harus memiliki keyakinan dalam hati kita.” Ya, sebaiknya kita memiliki keyakinan dalam hati kita untuk memeriksa ulang perkara putusan MK yang berkaitan dengan Gibran tersebut. Hati harus bicara. Bukan kekuasaan.  (Zs/Kmps)

Sentimen: negatif (96.6%)