Sentimen
Positif (66%)
8 Nov 2023 : 03.32
Informasi Tambahan

Kasus: nepotisme

Partai Terkait

Pro-Kontra Putusan MK dalam Perspektif Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa

8 Nov 2023 : 03.32 Views 7

Rmol.id Rmol.id Jenis Media: Nasional

Pro-Kontra Putusan MK dalam Perspektif Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa


Dalam etika menyelidiki memikirkan mempertimbangkan tentang yang baik dan buruk, sedangkan moral ukuran dari tindakkan manusia dalam kesatuan sosial tertentu.

Dalam QS Al Baqarah (2):190  “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.

Menurut Franz Magnis-Suseno ajaran moral yakni ajaran-ajaran, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan.

Pengakuan keyakinan tersebut merujuk kepercayaan pada agama dengan adanya Tuhan yang dipercaya berkuasa atas dirinya dan kehidupannya. Jika persoalan menyangkut kepentingan pokok hidup manusia yang bersifat spekulatif persoalan yang dihadapi telah melampaui batas-batas dengan membuat tekanan-tekanan di luar pengetahuan terutama tentang keadilan, kekuasaan dan wewenang yang melekat pada diri seseorang.

Dalam kebersamaan kehidupan manusia memerlukan tatanan hukum untuk mengatur hubungan kebersamaannya, memberikan ruang gerak pada pihak lain merupakan pengakuan institusional terhadap solidaritas sesama manusia, menurut fraternite persaudaraan dan keadilan sosial istilah modern dari solidaritas.

Kesamaan semua anggota masyarakat sebagai warga negara tidak ada satu orangpun dapat memerintah kecuali ia mendapat penugasan atau persetujuan warga masyarakat itu sendiri dikenal dengan sebutan “Kedaulatan Rakyat”, persetujuan ini didapat melalui pemilihan umum kewenangan memerintah telah mendapat legitimasi (keabsahan) secara demokratis, pemerintah tetap di bawah kontrol rakyat melalui dua cara pertama melalui wakil-wakil rakyat dan kedua melalui keterbukaan pemerintah (publicity).

Nilai kesamaan dalam etika politik disebut keadilan, pada Pembukaan UUD 1945 Menjamin dalam mencapai tujuan negara, antara lain berdasarkan Keadilan Sosial. Pelaksanaannya dari struktur ekonomi, politik, budaya dan ideologis, struktur ini merupakan struktur kekuasaan segolongan orang yang tidak memperoleh apa yang jadi haknya mendapatkan bagian yang tidak wajar dari harta kekayaan dari hasil kerja masyarakat keseluruhan.

Hal ini akan berhadapan dengan pihak-pihak yang berkuasa dan pihak ini tidak akan tinggal diam untuk mempertahankan status quo, keuntungan didapat dari struktur yang timpang ini tetap berlangsung, ketimpangan ini sangat tidak masuk akal mengusahakan keadilan sosial yang datang dari mereka yang berkuasa.

Tetapi Pancasila memberikan suara kepada jiwa bangsa Indonesia untuk menghormati harmonis antar pencipta dan ciptaannya, manusia Indonesia harus tau diri dalam setiap mengambil keputusan, sikap atau tindakan untuk tidak merusak hukum keharmonisan antara pencipta dan segala ciptaannya, dalam pembuatan dan penerapan hukum pihak pihak yang terlibat hendaknya memandang ‘’tempelan’’ yang ada dibenaknya bahwa saya ini bertuhan sehingga dalam cipta karsa dan rasa tidak melupakan tuhan sehingga dapat menjumpai sinar keadilan dari hukum.

Penegakan hukum selalu atas nama negara diyakini untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat, jaminan harus ada agar nilai-nilai dan asas-asas dari penegakan hukum dapat diterapkan fungsinya, yakni harus ada pengawasan terhadap penegakan hukum kemungkinan menyalahgunakan kekuasaannya. Selain itu, harus ada jaminan perlindungan agar penegakkan hukum dapat secara bebas tanpa rasa takut melaksanakan nilai-nilai dan asas-asas penegakan hukum.

Menurut pandangan Satjipto Rahardjo, negara hukum dan hukum adalah satu hal, sedangkan kita menggunakan hukum adalah hal yang lain lagi, dengan menggunakan sistem hukum modern tidak begitu saja menjamin bahwa keadilan itu otomatis dapat diberikan. Hal itu masih sangat tergantung bagaimana para penegak hukum menggunakan, atau tidak menggunakan  hukum, disini faktor manusia menjalani peran yang sangat strategis.

Fenomenologi hukum yang terjadi saat ini dilihat dan dihayati manusia sebagai satu kejadian yang memiliki esensinya tersendiri,menurut Edmund Husler melihat fenomena sebagai Lebenswelt, artinya dunia yang dihayati, diteliti dan keberadaannya sebagai representasi dari kesadaran manusia (consciousness) saat peristiwa dilakukan di luar kesadaran tetap menyebutnya kesadaran sebagai unconscious consciousness.

Beranjak dari pemikiran Hussel hukum merupakan dirinya sendiri, setiap tingkah laku /sikap tindakan manusia sebagai subjek hukum. Setiap perbuatan manusia terikat oleh hukumnya sendiri dan hukum yang mengaturnya dari lahir hingga mati, memberikan kewajiban dan hak pada setiap pribadi, serta konsekuensi dari setiap perbuatannya.

Pertanyaan, kenapa justru pada pengadilan diberikan otoritas untuk memberikan kata akhir tentang berbagai hal yang menyangkut dengan konstitusi melalui instrumen hukum yang disebut judicial review karena dianggap sebagai badan independen sehingga dianggap badan yang paling kurang berbahaya (the least dangerous branch).

Ada ahli yang tidak setuju diberi kewenangan tersebut kepada pengadilan, lebih baik dikembalikan pada parlemen atau kepada rakyat itu sendiri, perlindungan hak-hak fundamental dari rakyat tidak lebih baik dilakukan oleh badan-badan pengadilan (yang tidak dipilih oleh rakyat) daripada dilakukan badan legislatif yang demokratis, atau judicial review yang diberikan badan pengadilan diminimalisir, sehingga muncul teori judicial minimalism.

Berdasarkan teori tersebut, kewenangan pengadilan diminimalisir kewenangan yang diberikan hanya untuk masalah-masalah yang tidak mengandung implikasi yang luas pada masyarakat.Teori judicial minimalism ini mendapat tempat dalam teori ketatanegaraan populis (populis constitutional law). Menurut ajaran ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan ketatanegaraan jangan diputuskan oleh badan pengadilan atau oleh badan eksekutif, tetapi harus diputuskan di jalanan, di kotak suara atau di gedung parlemen.

Memberi kewenangan judicial review memberikan supremasi kepada pengadilan pada posisi yang sangat tinggi, tidak ada dalam satu negara yang dapat membatalkan hasil judicial review dari badan pengadilan tersebut, yang dapat membatalkan badan pengadilan itu sendiri dan amandemen dari Konstitusi.

Pembahasan

Pasca perubahan ketiga UUD 1945, Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan di dua lembaga, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang sejajar.

Kewenangan yang diberikan UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi pengujian Undang Undang terhadap UUD 1945 disebut Constitutional Review. Konsep ini perkembangan modern tentang sistem pemerintahan demokratis didasarkan ide dari negara hukum (rule of law).

Dalam Constitutional Review ada dua tugas pokok, yaitu pertama, menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau “interplay” antar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Constitutional Review dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan dan/atau penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan. Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.

Asas nemo judex idoneus in propria causa merupakan salah satu asas hukum beracara Mahkamah Konstitusi yang digunakan dalam setiap proses peradilan di Indonesia karena asas ini merupakan perwujudan dari imparsialitas (ketidakberpihakan/impartiality) hakim sebagai pemberi keadilan.

Prinsip ini merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi, dalam hal ini Hakim Konstitusi sebagai pihak yang diharapkan dapat memberikan pemecahan terhadap perkara konstitusional yang diajukan kepadanya. Dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.

Imparsialitas hakim harus terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara, bukan pula menjadi pemutus perkaranya Sendiri.

Undang Undang No. 48 Tahun 2009, Undang Undang No. 24 Tahun 2003 dan juga dalam kode etik (sapta Karsa Hutama). Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan, jika hakim dapat melepaskan (collegial) dengan pihak yang berperkara, karenanya hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika melihat adanya potensi imparsialitas.

Dalam konteks sistem hukum Indonesia, hakim harus mengundurkan diri kalau dirinya memiliki hubungan semenda dengan salah satu pihak yang berperkara atau diperiksa di muka pengadilan, dengan demikian argumentasi ini menegaskan bahwa hakim tidak boleh menyimpangi asas nemo judex idoneus in propria causa.

Peristiwa yang terjadi saat ini Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan yang diajukan Mahasiswa UNSA Almas Tsaibbirru Re A terkait syarat pendaftaran capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah  baik tingkat provinsi maupun kabupaten dengan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu batas usia capres-cawapres.

Perkara Almas didaftarkan ke MK dengan Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada tanggal 3 Agustus  2023 dikabulkan Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Oktober 2023 MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat.

Sehingga pasal 169 huruf q berbunyi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sebelumnya gugatan ini dikabulkan Partai Solidaritas Indonesia lebih dulu mengajukan ditolak MK syarat usia capres-cawapres 35 tahun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, Ketua Umum Partai ini memiliki hubungan keluarga dengan Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan Almas adalah hanya seorang mahasiswa yang tidak memiliki kepentingan dalam pengajuan judicial review Nomor 90, tujuan dari judicial review jika Pemohon merasa hak dan/kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Undang Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi timbul Frasa persoalan Konstitusionalitas “Yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan pemilihan tingkat Provinsi, atau kabupaten/kota atau keduanya. Demikian juga dengan pemilu pada pemilihan DPR saja, atau DPR, DPD atau DPRD, persoalan Konstitusional adalah pemaknaan yang berbeda-beda.

Pemaknaan yang telah dituangkan pada amar keputusan yang mengikat menggantikan ketentuan pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dari 9 Hakim Mahkamah Konstitusi 5 setuju dan 4 menolak. Putusan ini telah membuka peluang setiap warga negara pada usia 21 tahun dapat mendaftar diri sebagai capres-cawapres, dan faktor usia muda ini mempertaruhkan keberlangsungan negara Indonesia yang memiliki penduduk 280 juta jiwa, ras, agama, dan kekayaan alam melimpah, dibutuhkan pemimpin yang berpengalaman dan dewasa secara mental dan bijaksana dalam memimpin.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak terlepas dari suasana politis karena saat ini sedang memasuki tahapan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, secara jelasnya putusan ini pihak yang akan diuntungkan adalah Gibran Rakabuming merupakan anak Jokowi sekaligus ponakan dari Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.

Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak bisa dilepas dari konteks politik putusan ini berkaitan dengan batas waktu pendaftaran capres-cawapres analisisnya sudah bisa diketahui siapa yang diuntungkan dari putusan ini.

Putusan yang dilakukan Hakim Mahkamah Konstitusi menyimpulkan adanya pelanggaran kode etik oleh hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan Mahkamah Konstitusi ini bersifat final dan mengikat, putusan ini hanya dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Persoalan putusan Mahkamah Konstitusi ini dilaporkan pada Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie yang menyimpulkan ada 9 isu yang muncul terkait laporan dugaan pelanggaran batas usia capres dan cawapres. Isu Pertama tidak mengundurkan diri pada putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 meski memiliki konflik kepentingan karena memiliki hubungan.

Kedua, paling banyak dipersoalkan isu mengenai hakim membicarakan substansi berkaitan dengan materi perkara yang sedang diperiksa.

Ketiga, ada hakim yang menulis dissenting opinion (perbedaan pendapat dalam putusan) bukan mengenai substansi, dissenting opinion itu ada perbedaan pendapat tentang substansi, tapi di dalamnya juga ada keluh-kesah yang menggambarkan ada masalah dalam mekanisme pengambilan keputusan dalam urusan internal.

Keempat, isu mengenai adanya hakim yang berbicara masalah internal Mahkamah Konstitusi  di publik, menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Itu termasuk masalah etik menjadi materi yang dilaporkan.

Kelima, isu terkait pelanggaran prosedur, registrasi dan persidangan yang diduga atas perintah ketua dan hakim. Hakim dan panitera akan dipanggil sidang MKMK.

Keenam, isu soal pembentukan MKMK yang lambat oleh MK, meski sudah diperintahkan oleh Undang-undang.

Ketujuh, isu soal manajemen, terutama mekanisme pengambilan keputusan. Kedelapan, Mahkamah Konstitusi dijadikan alat politik praktis dan lain-lain. Memberi kesempatan kekuatan dari luar mengintervensi ke dalam dengan nada kesengajaan.

Kesembilan, isu mengenai adanya pemberitaan di media yang sangat rinci. Menurutnya, hal ini menjadi masalah internal MK terbuka keluar. Artinya ada masalah serius di dalam (MK) masalah serius terekspos keluar, contoh seperti Pak Petrus (salah satu Pelapor) ini punya (bukti rekaman) CCTV melihat bagaimana berdebatnya hakim.

Berarti ada masalah sumber dari dalam Mahkamah Konstitusi sendiri. Menurut Denny Indrayana (Kompas.com 31 Oktober 2023) Putusan 90 terindikasi hasil kerja suatu kejahatan yang terencana dan terorganisir (planned and organized crime) mega skandal, penyusunan putusan nomor 90 itu koruptif, kolutif, dan nepotisme.

MKMK segera menerbitkan putusan mengoreksi putusan 90. Putusan 90 menabrak nalar dan moral konstitusional. Diharapkan MKMK menyatakan tidak sah putusan 90, atau meninjau ulang putusan 90.

Dalam Konstitusi Indonesia dengan tegas memberikan jaminan adanya persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law) dijelaskan dalam pasal 27 ayat (1) segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.


*Bidang Kajian dan Perundang-undangan DPP Perkumpulan Penasihat dan Konsultan Hukum Indonesia (Perhakhi)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

Sentimen: positif (66.7%)