2 Ahli Hukum Uji Formil Minta Putusan MK soal Usia Cawapres Jangan Dulu Diberlakukan

4 Nov 2023 : 17.27 Views 6

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

2 Ahli Hukum Uji Formil Minta Putusan MK soal Usia Cawapres Jangan Dulu Diberlakukan

JAKARTA, KOMPAS.com - Dua pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, mengajukan uji formil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 ke MK.

Putusan itu mengubah Pasal 169 huruf q UU Pemilu soal batas usia capres-cawapres. MK membolehkan anggota legislatif dan kepala daerah di segala tingkatan maju sebagai capres-cawapres sebelum 40 tahun.

Dalam gugatan Denny dan Zainal, mereka meminta putusan provisi atau sela, yang salah satunya meminta penundaan berlakunya putusan itu dan menangguhkan segala kebijakan berkaitan dengan putusan itu.

Baca juga: Menanti Putusan Dugaan Pelanggaran Etik Ketua MK Anwar Usman

"Menyatakan menunda berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PU-XXI/2023," tulis mereka dalam gugatannya.

"Menyatakan menangguhkan tindakan/kebijakan yang berkaitan dengan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PU-XXI/2023."

Di samping itu, karena tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden berakhir pada 25 November 2023, mereka meminta persidangan secara cepat.

"Menyatakan memeriksa permohonan para pemohon secara cepat dengan tidak meminta keterangan kepada MPR, DPR, Presiden, DPD, atau pihak terkait lainnya," tulis gugatan itu.

"Dalam Pasal 54 UU MK juncto Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 disebutkan, bahwa permintaan keterangan pihak-pihak tersebut tidak bersifat wajib, melainkan pilihan, karena ditulis dengan kata 'dapat', bukan 'wajib," jelas mereka.

Baca juga: Jazilul Fawaid Siap Bantu Masinton Dorong Hak Angket DPR soal Putusan MK

Kemudian, mereka juga meminta agar komposisi majelis hakim yang mengadili perkara ini tidak melibatkan Ketua MK Anwar Usman.

Pasalnya, Anwar saat ini menjadi hakim dengan laporan dugaan pelanggaran etik serta konflik kepentingan paling banyak (15 dari 21 laporan) menyusul Putusan 90 tersebut, menilik hubungan kekerabatannya sebagai ipar Presiden Joko Widodo.

Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang telah merampungkan pemeriksaan terhadap semua pihak terlapor dan terkait sudah menyimpulkan bahwa Anwar merupakan hakim yang paling bermasalah dalam kasus pelanggaran etik ini.

"Menyatakan memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan para pemohon dengan komposisi hakim berbeda dari Putusan 90/PU-XXI/2023 dengan mengecualikan Yang Mulia Prof. Dr. Anwar Usman, S.H., M.H," tulis Denny dan Zainal.

Hal tersebut berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan tidak sah sebuah putusan yang dihasilkan dari majelis hakim yang tidak mundur dari potensi konflik kepentingan pada perkara tersebut.

UU yang sama mengamanatkan agar jika situasi itu terjadi, maka perkara tersebut harus disidang ulang dengan komposisi majelis hakim yang berbeda.

Baca juga: Anwar Usman Siap Hadapi Segala Putusan Majelis Kehormatan MK

Denny dan Zainal menjelaskan, bila sejak awal Anwar mundur dari perkara itu, maka hasil akhir putusannya akan berbeda karena komposisi hakim yang setuju dan menolak sama-sama empat orang.

Sentimen: negatif (99%)