Sentimen
Informasi Tambahan
Hewan: Ular
Institusi: Universitas Indonesia
Kab/Kota: Poso, Biak
Kasus: kebakaran
Tokoh Terkait
Dampak Buruk El Nino Bagi Satwa liar Indonesia, dari Kodok hingga Komodo
Koran-Jakarta.com Jenis Media: Nasional
Jatna Supriatna, Universitas Indonesia
Artikel ini diterbitkan untuk memeringati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional pada 5 November 2023.
Cuaca panas akibat El Nino yang melanda Indonesia beberapa bulan belakangan bukan cuma membuat kita gerah. Bagi sejumlah satwa liar, efek cuaca panas dan kekeringan bisa mematikan.
El Nino mengancam ruang hidup satwa liar di kawasan tropis karena menyebabkan sungai dan danau mengering, hutan-hutan rusak akibat kebakaran, serta pemanasan permukaan laut. Hal ini diperparah dengan tingkat ancaman satwa liar Indonesia yang berbeda karena wilayahnya merupakan kepulauan. Meski keberagamannya berpotensi lebih tinggi, kelimpahan spesies di kawasan kepulauan jauh lebih rendah dibandingkan kawasan kontinental (daratan luas).
Panel antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyepakati El Nino akan berlangsung lebih sering dan lebih parah akibat iklim yang berubah. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, Antonio Guterres, bahkan menyebut Bumi sedang menghadapi masa "pendidihan global".
Tanpa rencana pencegahan memadai, panas dan kekeringan ekstrem akibat fenomena cuaca berskala besar ini akan mengancam kelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.
Dampak El Nino terhadap satwa Indonesia
Kekurangan air akibat El Nino mengancam langsung satwa-satwa yang bergantung padanya, contohnya amfibi. Satwa jenis ini berperan penting dalam rantai makanan: pengendali alami populasi serangga dan pakan bagi spesies lainnya seperti ular dan elang. Kehilangan amfibi pun akan mengganggu proses penting dalam ekosistem seperti pengadukan tanah (bioturbasi) dan penguraian.
Meski hidup di dua alam, amfibi-yang terdiri dari katak, kodok, ataupun salamander-mengawali hidupnya dari air. Ketiadaan air akan membuat amfibi sulit berkembang biak. Sementara, di kawasan tropis beberapa jenis amfibi di kawasan tropis memiliki usia yang pendek, hanya dua tahun.
Baca Juga :
Titik Api Karhutla di HSS Berkurang karena Peran Aktif MasyarakatMusim kemarau berkepanjangan dapat meningkatkan risiko kepunahan spesies amfibi di Indonesia, yang saat ini tercatat mencapai 270 jenis. Meski secara global amfibi sedang menghadapi gelombang kepunahan salah satunya karena perubahan suhu, dampaknya bagi amfibi di Indonesia belum banyak diteliti.
Selain amfibi, satwa lainnya yang terancam adalah ikan-ikan terutama spesies bermigrasi di sungai berarus deras dengan kadar oksigen tinggi. Penurunan debit air akibat kemarau akan mengurangi arus sungai, sehingga mengurangi kadar oksigen di dalamnya. Hal ini membuat ikan kesulitan mencapai tempat migrasi (biasanya untuk bertelur) atau mati dalam perjalanan.
Salah satu contohnya adalah ikan tambra (Tor tambroides) di sungai-sungai di Kalimantan, Jawa, Sumatra, hingga beberapa kawasan Asia Tenggara. Kekeringan berisiko memperparah penurunan populasi ikan ini yang memang sudah tertekan karena perburuan dan kerusakan habitat.
Kekeringan di sumber air besar juga dapat mengancam langsung keberadaan populasi ikan-ikan endemik. Misalnya, kekeringan di Danau Poso, Sulawesi Tengah, turut mengancam ikan Popta's Buntingi, satu dari beberapa spesies ikan endemik Danau Poso yang berstatus terancam punah.. Kekeringan di Danau Sentarum, Kalimantan Barat, juga berisiko bagi kelangsungan ikan arwana merah, spesies langka penghuni kawasan tersebut.
Di hutan-hutan, primata yang hidup sepenuhnya di pepohonan atau arboreal tidak lepas dari tekanan El Nino. Saat kemarau ekstrem datang, pepohonan akan menyesuaikan diri dengan menghasilkan buah yang lebih kecil dari biasanya. Hal ini memengaruhi kelimpahan pakan sehingga mengganggu kehidupan mereka.
Owa Jawa merupakan primata langka yang berisiko terimbas tekanan ini. Pasalnya, Owa tidak bisa melahap pakan daun dan biji-bijian, hanya buah-buahan.
Selain persoalan pakan, kesehatan primata juga terdampak langsung kebakaran hutan yang mengganas lantaran El Nino. Studi terbaru menyebutkan asap kebakaran menyebabkan suara orang utan menjadi parau dan diduga mengalami peradangan saluran pernapasan. Ini menjadi berita buruk, apalagi bila terjadi pada orang utan tapanuli yang populasinya tinggal 800 ekor.
Cuaca panas juga dapat membalikkan upaya konservasi kadal purba komodo yang selama ini berjalan positif. El Nino dapat mematikan pohon-pohon sehingga anak-anak komodo kian rentan dimangsa oleh komodo dewasa.
Saat ini, anak-anak komodo kerap memanjat pohon untuk menyelamatkan diri. Tanpa El Nino saja, hanya 1 dari 10 anak-anak komodo yang tumbuh dewasa. Bayangkan jika pada masa depan El Nino semakin kuat dan sering, anak-anak komodo yang bertahan hidup bisa semakin sedikit.
El Nino juga dapat memanaskan permukaan laut dan meningkatkan keasamannya sehingga dapat menyebabkan terumbu karang memutih, bahkan mati. Ini dapat mengancam ekosistem perairan Indonesia yang termasuk dalam Segitiga Karang Dunia sekaligus rumah bagi 1.100 dan 5.300 spesies flora dan fauna perairan.
Segera bertindak
Pemerintah sebaiknya menyediakan pendanaan cukup untuk meneliti dampak perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati. Pengetahuan kita mengenai dampak perubahan iklim di Indonesia sangat minim. Sementara, kerusakan habitat tersebut terus meningkat.
Sebagai langkah awal, Indonesia harus menggenjot penelitian yang memprediksi dampak perubahan iklim terhadap kehidupan satwa liar. Pemanfaatan teknologi pemantauan, pelaporan, dan verifikasi berskala luas menggunakan teknologi seperti peraba jarak jauh optik (LiDAR) ataupun Sistem Informasi Geografis harus dilakukan.
Teknologi ini memungkinkan kita untuk mengetahui pola-pola aktivitas satwa liar bahkan secara langsung. Harapannya, jika otoritas cuaca meramalkan cuaca ekstrem akan terjadi, kita bisa bertindak cepat-berbasiskan data pemantauan-untuk mencegah dampak negatifnya bagi satwa liar.
Baca Juga :
Pemerintah Pusat Siapkan Rp8 Triliun Antisipasi Dampak El NinoSistem pemantauan berbasis data ini jangan dibangun terpusat. Indonesia, dengan karakternya sebagai negara kepulauan, justru perlu memanfaatkan perguruan tinggi dan lembaga penelitian di daerah agar kegiatan pemantauan satwa liar tersebar di kawasan masing-masing.
Indonesia juga dapat meningkatkan penggalian materi biodiversitas untuk keperluan pangan, papan, obat-obatan, aromaterapi, kosmetik, dan lainnya dalam program pemanfaatan produk berbasis sumber daya hayati (bioprospecting) yang lebih terencana. Penggalian materi biologi juga perlu dilakukan bekerja bersama masyarakat adat, agar mereka dapat memanfaatkan material genetik dengan baik. Selain itu bioprospecting perlu digalakkan di berbagai perguruan tinggi di dalam negeri khususnya dan kalau perlu saja dengan perguruan tinggi luar negeri.
Indonesia juga dapat menjajaki sistem kredit biodiversitas, artinya memberi kredit bagi pelestarian keanekaragaman hayati. Kredit ini dapat dijual ke perusahaan untuk menebus aktivitasnya yang berdampak pada biodiversitas. Dana hasil penjualan kemudian bisa kita gunakan untuk memperkuat usaha pelestarian flora dan fauna di tanah air.
Tanggal 5 November adalah Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. Semoga peringatan hari ini dapat memicu kita untuk tidak sekadar 'menunggu' dampak perubahan iklim, tapi aktif bertindak untuk mencegah dampaknya bagi seluruh kehidupan liar di Indonesia.
Jatna Supriatna, Professor of Conservation Biology, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Redaktur : -
Penulis : -
Sentimen: negatif (100%)