Sentimen
Negatif (99%)
27 Okt 2023 : 06.00
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Putusan MK soal Syarat Capres-Cawapres Dinilai Tidak Adil dan Diskriminatif

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

27 Okt 2023 : 06.00
Putusan MK soal Syarat Capres-Cawapres Dinilai Tidak Adil dan Diskriminatif

JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN) menyatakan putusan MK terkait perubahan syarat batas usia capres-cawapres tidak adil, diskriminatif, dan memberi keistimewaan (privilese) kepada pihak tertentu.

Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan sebagian permohonan dengan dasar norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 juga dianggap menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

Dalam putusan itu MK mengubah ketentuan batasan usia capres dan cawapres yang semula diatur “berusia paling rendah 40 tahun”, menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Peneliti Ahli Utama BRIN Siti Zuhro mengatakan, putusan itu “menabrak” dan bertentangan dengan konstitusi, yakni Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.

Pasal itu berbunyi, “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Baca juga: Usut Pelanggaran Etik di MK, Majelis Kehormatan Temui 9 Hakim MK Senin

Siti menambahkan, putusan MK itu juga tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “setiap warga negara berhak memperolah kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

"Sehingga putusan tersebut bersifat tidak adil dan diskriminatif bagi sebagian warga negara," kata Siti melalui keterangan pers PRP BRIN, seperti dikutip pada Kamis (26/10/2023).

Siti mengatakan, dari hasil analisis BRIN, bila putusan MK bertujuan memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk mencalonkan diri menjadi capres atau cawapres, semestinya mereka tidak membatasi hanya bagi mereka yang sedang atau pernah menjabat jabatan politis melalui Pemilu atau Pilkada.

"Pembatasan ini justru memberikan privilese bagi figur tertentu yang memenuhi kriteria pernah atau sedang menjabat jabatan politis melalui pemilu atau pilkada," ujar Siti.

Siti mengatakan, aturan batasan usia capres atau cawapres sesungguhnya merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), sama halnya dengan sistem pemilu yang sudah diputuskan oleh MK dalam putusan terdahulu.

Baca juga: Putusan Etik Bisa Batalkan Putusan MK soal Syarat Usia Capres-cawapres? Ini Kata Jimly

 

Akan tetapi, kata Siti, yang menjadi persoalan adalah MK memutuskan syarat usia capres dan cawapres bukan merupakan open legal policy, sehingga mereka merasa berhak memeriksa dan memutus perkara tersebut.

Sebagai ketentuan yang bersifat open legal policy, kata Siti, semestinya aturan batasan usia capres dan cawapres dibuat oleh pembuat undang-undang (DPR bersama-sama dengan presiden).

Siti mengatakan, proses pengubahan UU juga harus mengikuti kaidah pembuatan legislasi yang berlaku, secara saksama, penuh dengan pertimbangan dari segala aspek, terbuka, transparan, akuntabel, inklusif dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna.

Siti mengatakan, secara substansi, penambahan frasa “…atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” dapat memberikan kesempatan pada kelompok muda.

Akan tetapi, lanjut Siti, penambahan frasa itu menjadi problematik karena permohonan ini diajukan pada masa menjelang (injury time) menjelang pencalonan capres dan cawapres pemilu 2024.

Baca juga: Jimly Asshiddiqie: Saya sebagai Pendiri MK Tidak Tega...

Sentimen: negatif (99%)