Sentimen
Negatif (99%)
27 Okt 2023 : 06.22

BRIN Anggap Putusan MK Bagian dari Upaya "Melegalkan" Dinasti Politik

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

27 Okt 2023 : 06.22
BRIN Anggap Putusan MK Bagian dari Upaya "Melegalkan" Dinasti Politik

JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan syarat batas usia capres-cawapres yang diturunkan menjadi 35 tahun dianggap memperlihatkan upaya terstruktur untuk membuat praktik dinasti politik seolah-olah sesuai aturan dalam demokrasi.

"Putusan MK ini semakin menunjukan adanya tendensi untuk menerapkan dinasti
politik dalam kerangka demokrasi prosedural," kata Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN) Siti Zuhro, dalam keterangan yang dikutip pada Kamis (26/10/2023).

MK mengabulkan sebagian permohonan dalam uji materi perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, dengan dasar norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 telah jelas menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi (intolerable).

Dalam putusan itu MK mengubah ketentuan batasan usia capres dan cawapres yang semula diatur “berusia paling rendah 40 tahun”, menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”

Siti mengatakan, putusan MK itu bertentangan dengan konstitusi, yakni Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.

Baca juga: Usut Pelanggaran Etik di MK, Majelis Kehormatan Temui 9 Hakim MK Senin

Pasal itu berbunyi, “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Siti menambahkan, putusan MK itu juga tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “setiap warga negara berhak memperolah kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Siti mengatakan, aturan batasan usia capres atau cawapres sesungguhnya merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), sama halnya dengan sistem pemilu yang sudah diputuskan oleh MK dalam putusan terdahulu.

Akan tetapi, kata Siti, yang menjadi persoalan adalah MK memutuskan syarat usia capres dan cawapres bukan merupakan open legal policy, sehingga mereka merasa berhak memeriksa dan memutus perkara tersebut.

Sebagai ketentuan dalam ruang lingkup open legal policy, kata Siti, semestinya aturan batasan usia capres dan cawapres dibuat oleh pembuat undang-undang, yaitu DPR bersama-sama dengan presiden.

Baca juga: Jimly Asshiddiqie: Saya sebagai Pendiri MK Tidak Tega...

Prosesnya juga harus melalui prosedur pembuatan legislasi yang berlaku, secara saksama, penuh dengan pertimbangan dari segala aspek, terbuka, transparan, akuntabel, inklusif dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna.


Siti mengatakan, secara substansi, penambahan frasa “…atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” dapat memberikan kesempatan pada kelompok muda.

Akan tetapi, lanjut Siti, penambahan frasa itu menjadi problematik karena permohonan ini diajukan pada masa menjelang (injury time) menjelang pencalonan capres dan cawapres pemilu 2024.

"Terlebih lagi, putusan MK ini dikeluarkan 3 (tiga) hari sebelum jadwal pendaftaran capres dan cawapres 2024. Jelas, putusan MK ini digulirkan serba terburu-buru, mengejar waktu sebelum tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden dimulai," papar Siti.

"Selain itu, hal ini mengindikasikan kepentingan politik pragmatis syahwat kekuasaan dalam keputusan yang diambil oleh MK," sambung Siti.

Baca juga: Kalau Anak Muda Tak Punya Paman Ketua MK, Ayah Presiden, Tidak Mungkin Jadi Calon Wakil Presiden

Sentimen: negatif (99.6%)