Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru
Kab/Kota: Bogor, Blitar
Tokoh Terkait
Luka Megawati: Dari Soeharto ke Jokowi
Kompas.com Jenis Media: Nasional
BERDASAR dokumen yang pernah saya baca, Pukul 07.00 WIB, 21 Juni 1970, dokter yang menangani Bung Karno keluar ruangan tanpa bicara. Hanya menggelengkan kepala.
Putra-putri Soekarno bergegas masuk ruangan. Di pembaringan sang ayah tergolek lemah. Megawati Soekarnoputri mendekat, membisikkan kalimat syahadat. Tapi, hanya satu kata yang terucap lirih: “Allah”.
Soekarno, pejuang kemerdekaan dan proklamator, yang sebagian besar hidupnya dipersembahkan untuk mengantarkan kemerdekaan bangsa Indonesia, menghembuskan napas terakhir.
Setelah melewati hari-hari terakhir yang sangat berat dan memilukan. Hari-hari terakhir yang ironis antara yang telah diberikan kepada bangsanya dan yang diterima dari bangsanya.
Bung Karno diperlakukan sebagai tahanan politik oleh Soeharto. Diasingkan dari keluarga, kawan, dan bangsa yang dicintainya.
Dituduh macam-macam oleh penguasa sehubungan dengan pergolakan politik dekade 1960-an tanpa pembuktian di pengadilan. Soekarno dimatikan aspek sosio-politik-kultural oleh penguasa Orde Baru sebelum akhirnya dipanggil Tuhan.
Bahkan, sekadar memenuhi wasiat Sang Proklamator pun tak diizinkan. Wasiat Bung Karno untuk dimakamkan di Bogor ditolak Soeharto. Sehari setelah Bung Karno dinyatakan wafat, jasadnya dikirim ke Blitar.
Itulah “luka” pertama Megawati Soekarnoputri. Yang teramat dalam. Yang membuncahkan segudang pertanyaan. Luka bukan sembarang luka. Saya yakin, luka pertama itu menjadi titik lenting Megawati hingga posisinya hari ini.
Soal kalah-menang dalam politik adalah soal biasa. Politik adalah permainan. Ujung dari politik adalah siapa yang menang akan berkuasa.
Siapa yang kalah akan berada di luar kekuasaan. Saya percaya, kalau soal itu, Megawati sangat mengerti dan menerima kekalahan sang ayah.
Namun, siapa pun dalam posisi Megawati akan terluka parah. Benarkah politik dan kekuasaan itu gelap, tak ada cahaya sedikit pun yang bisa memantulkan kemanusiaan dan moralitas?
Apakah untuk menang dalam politik dan kekuasaan boleh culas, boleh menerabas dimensi keadaban? Mengapa politik dan kekuasaan harus meninggalkan akal sehat dan membunuh rasa kemanusiaan?
Tentu masih banyak pertanyaan menyasar kalbu dan pikiran sehat. Saya percaya, Megawati mengawali lentingannya bukan hanya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, tapi sekaligus mengajarkan kepada generasi pemimpin masa depan Indonesia.
Megawati tentu tak akan lupa ajaran Bung Karno tentang “jasmerah”, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Bung Karno juga mengajarkan tentang “sosio-nasionalisme” kepada putra-putrinya dan rakyat Indonesia pada umumnya.
Sejarah adalah politik masa lalu. Dari sejarah kita tahu dinamika, seluk-beluk, dan siasat-siasat perebutan kekuasaan. Dari sejarah pula kita bisa tahu, lalu berharap dan bisa memilih cara-cara yang progresif, beradab dan berakal sehat.
Sementara itu, sosio-nasionalisme mengajarkan bahwa nafsu nasionalisme, bisa pula primordialisme (suku, agama, golongan, termasuk pula kekerabatan), punya kecenderungan menjajah pihak lain (the others).
Sejarah penjajahan bangsa-bangsa di abad ke-19 dan ke-20 sejatinya adalah sejarah pembiaran nafsu nasionalisme/primordialisme.
Dari sejarah penjajahan itu pula Bung Karno mengajarkan, kelak Indonesia merdeka tidak boleh membiarkan nafsu nasionalisme yang menjajah.
Nasionalisme harus dikendalikan oleh perikemanusiaan, nasionalisme yang berperikemanusiaan, yang tak menjajah. Sebaliknya mengasihi dan melindungi pihak lain. Itulah sosio-nasionalisme.
Itulah sebabnya pendiri bangsa, Soekarno dan kawan-kawan, memilih pengelolaan kekuasaan dengan sistem demokrasi, bukan monarki, bukan pula oligarki.
Sentimen: negatif (98.8%)