Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Solo
Tokoh Terkait
Pengamat Nilai Gelombang Penolakan Putusan MK Jadi Sebab KIM Antiklimaks Soal Deklarasi Gibran
Gatra.com Jenis Media: Nasional
Jakarta, Gatra.com - Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo menilai Koalisi Indonesia Maju (KIM) antiklimaks karena tak kunjung mendeklarasikan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto.
Padahal, ia menilai Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan karpet merah atas pencalonan Gibran dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nanti, lewat keputusan MK untuk mengabulkan gugatan dalam nomor perkara 90/PUU-XXI/2023. Seperti diketahui, putusan itu mengubah syarat batas usia capres-cawapres yang semula minimal 40 tahun, menjadi minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah.
Dengan keputusan tersebut, Gibran yang saat ini tengah menjabat sebagai Wali Kota Solo dapat mengajukan diri dalam kontestasi untuk memperebutkan posisi pimpinan eksekutif Indonesia, meski usianya masih belum genap 40 tahun.
"Ketika putusan MK sudah memberikan ruang atau karpet merah, membukakan peluang untuk Gibran bisa dicalonkan menjadi cawapres, yang menjadi menarik adalah seperti antiklimaks. Justru koalisi Prabowo itu malah tidak cepat-cepat," kata Ari Nurcahyo dalam acara diskusi di kanal YouTube PARA Syndicate, pada Jumat (20/10).
Padahal, kata Ari, sederet elite partai anggota KIM sebelumnya telah memberikan pernyataan yang menyebut bahwa pihak mereka tengah menunggu keputusan MK terkait regulasi tersebut. Menurutnya, hal itu mengisyaratkan ada kecenderungan yang kuat yang KIM tunjukkan pada Gibran.
"Itu yang kemudian menjadi aneh. Pertanyaannya adalah, padahal 1-2 hari sebelum putusan MK itu memang sudah bulat, sudah hampir pada kepastian memang Gibran yang akan disiapkan, tapi setelah MK mengapa [tak kunjung dideklarasikan]?" ujarnya.
Ari pun menduga kuat bahwa lambannya langkah KIM dalam mendeklarasikan nama Gibran dilatarbelakangi oleh munculnya gelombang protes dari masyarakat atas putusan MK tersebut. Bahkan, isu dinasti politik keluarga Presiden RI Joko Widodo pun menjadi suatu topik yang hangat dibicarakan publik usai putusan itu dibacakan pada Senin (16/10) silam.
Isu politik dinasti itu muncul akibat keterhubungan antara Jokowi dengan sejumlah tokoh yang berkaitan erat dengan isu gugatan batas usia capres-cawapres itu. Di mana, pengajuan gugatan itu kerap kali diisukan sebagai salah satu upaya agar Gibran dapat ikut berkompetisi dalam Pilpres 2024 mendatang.
Seperti diketahui, Gibran merupakan putra sulung dari Jokowi yang kini masih menjabat sebagai Presiden RI. Sementara itu, Ketua MK Anwar Usman diketahui merupakan adik ipar Jokowi usai pernikahan Anwar dengan adik kandung Jokowi, Idayati, pada 2022 silam.
"Rupanya, gelombang penolakan yang begitu keras dari masyarakat sipil kelas menengah ini yang tidak diantisipasi, baik oleh 'keluarga Jokowi' yang mengondisikan bagaimana proses judicial review terjadi, dan juga kelompok kepentingan yang kemudian memilih mengusung Gibran sebagai cawapres. Nah, ini yang tidak dihitung secara politik," jelas Ari.
Menurutnya, kondisi inilah yang akhirnya menyebabkan koalisi pendukung Prabowo mempertimbangkan ulang apakah keterpasangan Prabowo-Gibran dapat diwujudkan, apabila dihitung dari kacamata politis.
Pada momen itulah, Ari menilai bahwa kubu Prabowo bisa saja tengah menimbang-nimbang apakah duet tersebut akan berdampak positif pada Prabowo, usai serangkaian penolakan dari masyarakat atas dikabulkannya gugatan MK tersebut.
37
Sentimen: positif (86.5%)