Sentimen
Positif (66%)
20 Okt 2023 : 14.12
Partai Terkait

"Kabar Baik" dari Putusan Mahkamah Konstitusi

20 Okt 2023 : 21.12 Views 1

Keuangan News Keuangan News Jenis Media: Nasional

"Kabar Baik" dari Putusan Mahkamah Konstitusi

KNews.id – Dalam riset psikologi forensik tentang pembuatan putusan yudisial, disimpulkan adanya hakim di Mahkamah Agung Amerika Serikat yang terafiliasi dengan Partai Demokrat dan ada pula yang terafiliasi ke Partai Republik. Kubu-kubuan sedemikian rupa dihasilkan oleh perbedaan mazhab yang pada gilirannya memengaruhi perbedaan referensi dan alam berpikir masing-masing hakim saat menyidangkan suatu perkara hukum.

Ini diistilahkan sebagai “Attitudinal Model”. Namun, apa yang bisa ditangkap dari pernyataan Hakim MK Saldi Isra terkait dissenting opinion-nya dalam putusan konstitusionalitas batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden? Redaksional perkataan Hakim Saldi kuat mengindikasikan bahwa di jajaran hakim MK juga terjadi polarisasi.

Namun bukan polarisasi yang dilatarbelakangi oleh perbedaan mazhab keilmuan atau pun ideologi. Alih-alih “Attitudinal Model”, dari pernyataan Hakim Saldi, terkesan kuat “Strategic Model” menjadi penyebab polarisasi itu. Strategic Model menyanggah penjelasan normatif tentang pembuatan putusan oleh hakim, meyakini bahwa lewat putusan yang dihasilkannya hakim berusaha meraih manfaat strategis atau merealisasikan kepentingan pribadinya.

Dengan kata lain, Hakim Saldi secara implisit berkisah tentang adanya proses lancung yang mendahului keluarnya putusan MK tentang batasan usia dan penambahan norma tentang syarat berpengalaman sebagai pengelola negara. Sadar tak sadar, deskripsi Hakim Saldi tentang latar situasi di balik putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 justru mendelegitimasi Mahkamah Konstitusi sendiri.

Pasalnya, sekali lagi, faksi-faksi yang ada di meja majelis hakim Mahkamah Konstitusi tidak terbentuk sebagaimana penjelasan Attitudinal Model, melainkan produk dari Strategic Model. Perjodohan capres dan cawapres tertentu yang didahului oleh proses hukum yang terendus lancung itu, patut dilawan.

Perjodohan itu, terutama dari sisi pihak yang paling diuntungkan oleh putusan MK, merupakan episode susulan dari rangkaian upaya memusatkan serta memanjang-manjangkan kekuasaan yang telah berlangsung sejak sekian tahun silam. Rangkaian upaya itu sangat mungkin bertitik tolak dari cara pandang yang sarat akan paranoia terhadap masa depan.

Masa depan dianggap tidak lagi dapat diramal, atau–lebih parah–mengancam, dan–puncaknya–membahayakan. Logis bahwa, dengan kegelisahan separah itu, membangun kepercayaan pada orang lain teramat susah untuk dilakukan. Berarti hanya anggota keluarga dekat yang perlu didorong menjadi guardian agar masa depan pasca-Pilpres 2024 kembali dapat diprediksi, tak lagi mengancam, dan sirna kebahayaannya.

Agar tidak tendensius, asumsi tentang Strategic Model perlu ditegakkan secara fair. Artinya, kalau lima hakim (termasuk Anwar Usman) dianggap memiliki misi egosentrisme, maka empat hakim lainnya (termasuk Saldi Isra) pun harus dianggap juga tengah memperjuangkan kepentingan strategis tertentu lewat dissenting opinion mereka. Selanjutnya, mari beranalogi.

Ketidakpercayaan pada institusi kepolisian akan membuat masyarakat tidak mau bekerjasama dengan polisi dan tidak mau melaporkan gangguan kamtibmas di sekitar mereka. Situasi sedemikian rupa merupakan keadaan ideal bagi menjamurnya aksi-aksi kejahatan. Dengan dasar pemikiran serupa, akankah putusan MK tanggal 16 Oktober lalu berpengaruh terhadap tingkat partisipasi publik pada Pilpres mendatang? Hitung-hitungan di atas kertas, pihak yang laksana mendapat durian runtuh adalah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming.

Secara tidak langsung, putusan MK mencomblangkan Prabowo (capres) dengan Gibran (cawapres). Jadi, leluasa mereka mendaftarkan diri ke KPU. Ini bisa diposisikan sebagai efek jangka pendek dari putusan MK. Efek jangka panjang, lain lagi ceritanya. Ketika Prabowo memperoleh keuntungan tak langsung dari putusan MK, sehingga perjodohannya dengan Gibran tidak lagi bisa disinisi sebagai pernikahan dengan orang di bawah umur, publik seketika memperoleh santapan empuk. Di mata khalayak luas, Prabowo-Gibran atau–barangkali lebih tepat–Gibran-Prabowo menjadi representasi percumbuan terlarang antara politik dan hukum.

Percumbuan tak senonoh itu membuat kumuh suasana menjelang kontestasi pemilihan pemimpin masa depan. Manakala politik berasyik masyuk dengan hukum, sempurnalah mereka berdua menjadi double trouble atau twin trouble. Merespons itu, kemungkinan pertama, akan terjadi penurunan animo masyarakat pada pesta demokrasi tahun depan. Jumlah warga yang memberikan suaranya pada Pilpres 2024 akan berkurang signifikan.

Atau, kemungkinan kedua, akan terjadi pelipatgandaan gelombang dukungan kepada paslon capres-cawapres yang dinilai paling identik menyimbolkan perlawanan terhadap status quo. Dengan gambaran situasi sedemikian rupa, alih-alih dikecam berkepanjangan, putusan MK justru layak disikapi sebagai dua “kabar bahagia”.

Pertama, “arahan” tentang betapa mudahnya menentukan kontestan yang patut dipilih pada Pilpres mendatang. Kedua, kabar bahwa para politikus dan pengadil yang main kayu itu telah menyodorkan sendiri tulisan yang tak sedap dibaca yang kelak akan diukir di batu nisan mereka.
(Zs/Kmps)

 

 

Sentimen: positif (66.5%)