Dunia Dalam Situasi Gawat, Negara Maju Butuh Banyak Utang!
CNBCindonesia.com Jenis Media: News
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi dunia dihadapkan pada situasi yang sulit. Suku bunga acuan global yang tinggi akan diikuti oleh kenaikan yield obligasi pemerintah negara maju imbas tingginya kebutuhan pembiayaan utang dan kenaikan premi risiko jangka panjang (term premia).
Demikianlah disampaikan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (19/10/2023).
Perry menjelaskan, fenomena kebijakan suku bunga acuan global yang tinggi di berbagai bank sentral dunia, khususnya di negara-negara maju saat ini membuat tenor suku bunga imbal hasil surat berharga negaranya antara tenor jangka pendek dan jangka panjang bersaing.
"Kalau kawan-kawan melihat suku bunga yield us treasury, obligasinya Paman Sam (AS) kalau sekarang tinggi sekitar 5,2%, tapi 10 tahun sekitar 4,8%, dan 20 tahun,30 tahun juga naik," kata Perry.
Kondisi ini yang menurutnya menggambarkan dunia kini tengah berada dalam kondisi term premia, atau suku bunga imbal hasil surat utang negara tenor jangka panjang ikut naik akibat suku bunga acuan bank sentral, khususnya bank sentral AS The Federal Reserve yang tidak dapat diprediksi pergerakannya ke depan.
Perry menegaskan, pada bulan lalu, khususnya pada September 2023, fenomena ini belum muncul. Sebab, saat suku bunga acuan The Fed atau Fed Fund Rate naik dan bertahan di level tinggi, imbal hasil surat berharga negara di berbagai negara untuk tenor jangka panjang belum ikut bergerak naik.
"Sekarang term premia yang naik, sehingga suku bunga jangka panjang juga mulai bergerak naik. Kenapa demikian? karena kebutuhan pembiayaan utang pemerintah dari negara-negara maju," ucap Perry.
Penyebabnya adalah tren kenaikan kebutuhan pembiayaan berbagai negara tersebut, khususnya negara-negara maju, melanjutkan kenaikan tren kebutuhan utang seperti saat Pandemi Covid-19. Namun, saat itu, para investor atau pelaku pasar keuangan belum menghitung tren kenaikan itu.
"Untuk apa utang pemerintah naik? adalah selama Covid itu kan pemerintah di negara maju membutuhkan pembiayaan fiskal yang tinggi, utang pemerintah kan tinggi nah selama ini belum di price in oleh market. Sekarang market sudah price in, yang disebut term premia," tegasnya.
Oleh sebab itu, istilah higher for longer yang selama ini disematkan pada kebijakan moneter The Federal Reserve, kini turut merambat untuk menggambarkan arah imbal hasil atau yield dari suku bunga obligasi pemerintah negara-negara maju.
"Sehingga aliran modal itu yang dari negara emerging yang tempo hari mulai stabil, bahkan sudah masuk ke Indonesia dan negara-negara emerging market itu kembali cash is the king banyak kemudian pindah ke negara maju dan juga memperkuat dolar AS," tutur Perry.
Untuk merespons permasalahan itu, maka BI dan pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan kata Perry akan memperkuat koordinasi fiskal dan moneter untuk memperkuat stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Bank Indonesia punya jamu, ada jamu pahit dan jamu manis. Moneternya tetap pro stability diperkuat makroprudensial dan pendalaman pasar pro growth itu kemudian kita perkuat bauran kebijakan," ungkap Perry.
[-]
-
Simak! Ini Fokus Gubernur BI Perry Warjiyo 5 Tahun ke Depan
(mij/mij)
Sentimen: positif (94.1%)