Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UGM
Kab/Kota: Guntur
Tokoh Terkait
Ketika Hakim Konstitusi Saldi Isra Bertanya, Quo Vadis MK?
Kompas.com Jenis Media: Nasional
"QUO vadis Mahkamah Konstitusi?"
Kalimat di atas menjadi akhir pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi Saldi Isra, Senin (16/10/2023), untuk putusan perkara uji materi nomor 90/PUU-XXI/2023 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Diambil dari bahasa Latin, terjemahan bebas kalimat tersebut adalah "hendak ke mana MK?".
Dalam 12 lembar dokumen ukuran standar dokumen putusan hukum yang kemudian diucapkan pada Senin petang, Saldi mengungkap kronologi rangkaian lima putusan perkara untuk pokok persoalan hukum yang sama tetapi memberikan hasil bertolak belakang 180 derajat.
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, sampai menyebut dissenting opinion Saldi lebih seperti kemarahan daripada penyampaian sebuah beda pendapat hukum.
"Tapi itu menarik karena ceritakan bobroknya MK," kata Zainal, saat berbincang dengan Kompas.com, Senin malam.
Cerita lima perkara
Sejak Senin pagi, Majelis Hakim MK berturut-turut membacakan putusan perkara uji materi terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Tulisan ini berfokus pada lima perkara yang putusannya dibacakan mulai Senin pagi hingga petang dan berujung kontroversi.
Syarat pencalonan yang dimintakan uji materi dalam lima perkara itu pun sama, yaitu klausul Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyoal batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden.
Lengkapnya, pasal itu berbunyi, "Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
Beda dalam aneka gugatan yang diajukan hanya berkisar soal rentang usia minimal yang lebih rendah dari 40 tahun—dalam rentang 25 tahun hingga 35 tahun—atau alternatif lain yang memungkinkan batas usia itu dinegasikan, seperti pernah atau masih menjadi penyelenggara negara.
Putusan untuk tiga perkara pertama, bernomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023, mulus-mulus saja dibacakan. Amar putusan menyatakan menolak gugatan untuk seluruhnya, walaupun ada dissenting opinion dari dua hakim konstitusi di masing-masing putusan, yaitu dari Suhartoyo dan M Guntur Hamzah.
Dalam tiga putusan ini, dengan beragam pertimbangan hukum yang didalilkan, pada intinya majelis bersepakat bahwa penentuan batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden dikembalikan kepada pembuat UU. Istilah teknisnya, open legal policy.
Antara lain ditegaskan, bila sampai MK yang menentukan soal syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden maka fleksibelitas klausul persyaratan pencalonan justru akan hilang.
Putusan tersebut sudah berdasarkan pertimbangan yang salah satunya sampai melihat original intent perubahan UUD 1945, yang dalam pembahasannya pun sudah mencakup perdebatan soal batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden.
Media massa sudah memberitakan ketiga putusan itu secara sambung-menyambung. Semua sudah berpikir, putusan-putusan berikutnya terkait persoalan yang sama bakal memberikan hasil yang kurang lebih tidak berbeda juga.
Tiba-tiba, keriuhan membuncah. Di tengah pengucapan putusan perkara uji materi nomor 90/PUU-XXI/2023, publik mulai menyadari arah putusan berubah. Dan benarlah, untuk klausul yang sama, putusan perkara ini berkebalikan dengan tiga perkara sebelumnya.
Dalam amar putusan, majelis hakim menyatakan, "(Pasal yang dimintakan uji materi) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah."
Melalui putusan yang dibacakan pada Senin petang tersebut, bunyi Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berubah menjadi, "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Dissenting opinion Saldi Isra untuk putusan ini pun menambah keriuhan yang sudah muncul di publik akibat perubahan arah angin MK untuk putusan tentang klausul yang sama dan dibacakan pada hari yang sama pula.
Terlebih lagi, dalam kalimat-kalimat awal dissenting opinion itu, Saldi pun secara harfiah mengatakan, "Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini."
Saldi mengaku, selama 6,5 tahun menjadi hakim konstitusi, baru kali ini dia mengalami peristiwa "aneh" dan "luar biasa".
"... dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," ucap Saldi.
Sentimen: negatif (96.9%)