Banyak Risiko Menanti, Umrah Backpacker Langgar Hukum
Sumutpos.co Jenis Media: News
JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Wacana soal umrah backpacker atau berangkat sendiri tanpa melalui travel, ramai jadi perbincangan. Khususnya setelah Arab Saudi membuka kanal pemesanan paket visa umrah beserta akomodasinya secara langsung untuk masyarakat. Tetapi sampai saat ini, umrah mandiri bertentangan dengan undang-undang di Indonesia.
Keterangan tersebut dipaparkan Analis Kebijakan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) Abdul Basir. Menurutnya, keberangkatan umrah saat ini diatur UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU). Dia menjelaskan, di dalam Pasal 86 dijelaskan, umrah dapat dilaksanakan secara perorangan dan berkelompok melalui PPIU.
Yang dimaksud dengan PPIU itu adalah Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah atau travel umrah yang resmi mengantongi izin dari Kemenag. “Jadi merujuk pasal tersebut, semua yang akan beribadah umrah baik secara perorangan maupun berkelompok harus melalui PPIU,” katanya, kemarin (24/9).
Dia menjelaskan, perjalanan umrah melalui PPIU tidak sebatas untuk pemesanan visa, tiket pesawat, maupun hotel saja. Pasalnya kalau sebatas pemesanan visa umrah dan hotel, dia tidak memungkiri masyarakat sudah bisa memesan sendiri. Yaitu melalui website Nusuk milik pemerintah Arab Saudi.
Basir mengatakan, dalam penyelenggaraan umrah, juga terdapat aspek pembinaan atau bimbingan manasik. Selain itu juga ada aspek perlindungan bagi jemaah. Jika masyarakat berangkat secara mandiri, dikhawatirkan tidak bisa mendapatkan hak pembinaan dan perlindungan tersebut.
Dia lantas menjelaskan ada banyak resiko bagi jemaah umrah backpacker atau umrah mandiri. “Berdasarkan statistik Siskopatuh, mayoritas jamaah umrah berpendidikan menengah ke bawah,” katanya.
Kemudian juga didominasi orang-orang yang belum pernah bepergian ke luar negeri sebelumnya. Basir menuturkan, kelompok-kelompok mayoritas tersebut, jika ingin berumrah tentu membutuhkan pendampingan. Jika memaksakan berangkat sendiri, berpeluang besar mendapati sejumlah hambatan di lapangan. Mereka juga tidak boleh berangkat mandiri berkelompok, kemudian menyewa orang untuk membimbing. Pasalnya tugas tersebut menjadi kewenangan PPIU.
Kalaupun bisa terbang dari tanah air, mereka berpotensi mendapatkan persoalan di Arab Saudi. Sehingga mereka bisa masuk dalam kasus overstay atau melebihi izin tinggal sesuai kalender visa umrah. “Berlaku hukuman denda yang tidak sedikit untuk kasus overstay,” katanya.
Selain itu, orang yang overstayer bisa dijatuhi hukuman deportasi dan dilarang masuk ke Arab Saudi dalam tempo 10 tahun ke depan. Meskipun begitu, Basir mengatakan, seluruh pihak terkait di Indonesia, tetap harus antisipasi adanya gelombang umrah backpacker tersebut. Diantaranya dengan terus edukasi ke masyarakat bahwa umrah backpacker melanggar undang-undang dan berbahaya serta banyak resikonya.
Edukasi tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab Kemenag. Tetapi juga banyak pihak. Mulai dari asosiasi PPIU, PPIU itu sendiri, serta para tokoh agama. Dia juga berharap ada koordinasi yang baik antara Kemenag dengan Ditjen Imigrasi untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya gelombang umrah backpacker. Kepada setiap orang yang menunjukkan visa umrah, harus dipastikan berangkat dengan travel atau PPIU resmi.
Sebelumnya, deklarator Aliansi Pengusaha Haramain Seluruh Indonesia (Asphirasi) Nur Bethi tidak bisa memungkiri, saat ini masyarakat sudah semakin mudah untuk membeli paket umrah. Diantaranya membeli langsung lewat website Nusuk. “Bahkan banyak orang mengatakan PPIU (penyelenggara perjalanan ibadah umrah) akan gulung tikar,” katanya.
Dia menegaskan, perjalanan umrah itu adalah ibadah. Berbeda dengan perjalanan wisata atau plesiran yang bisa dengan mudah dilakukan tiap-tiap orang. Nur mengatakan, dengan sifatnya sebagai sebuah ibadah, maka perjalanan umrah membutuhkan pembimbing ibadah. Keberadaan pembimbing ibadah inilah yang sulit ditemukan pada umrah backpacker. Karena biasanya isinya adalah sekumpulan jemaah umrah saja. ”Kalau berangkat umrah mandiri, atau haji mandiri, tidak ada bimbingannya,” jelasnya.
Selain itu juga bisa jadi merasa capek, karena harus melalui berbagai perjalanan. Seperti mencari hotel dan lainnya. Kondisi ini semakin menyulitkan bagi kelompok jamaah yang sudah berumur atau lansia. Jemaah ini akan kesulitan ketika menjalani umrah mandiri atau umrah backpacker.
Dia menegaskan umrah abdah perjalanan ibadah, yang terkait dengan amalan-amalan sesuai ketentuan agama. “Bukan seperti jalan-jalan biasa,’’ tuturnya.
Asphirasi memperkirakan jamaah umrah mandiri atau umrah backpacker tidak sampai 20 persen dari total populasi umrah di Indonesia. Untuk itu dia meyakini usaha travel umrah atau PPIU tidak akan mati atau tergerus dengan adanya umrah backpacker.
Pencetus Asphirasi lainnya, Ahmad Mootsana mengatakan, penyelenggaraan ibadah umrah di Indonesia sangat khas. Diantaranya adalah ibadah umrah adalah ibadah sosial. “Berbeda dengan ibadah lain seperti puasa, yang sifatnya individu,” katanya.
Karena dinilai sebagai ibadah sosial, maka kecenderungan orang Indonesia adalah berangkat umrah rame-rame. Kondisi ini cukup menyulitkan jika dilakukan dengan umrah mandiri atau backpacker. Pasalnya mengatur perjalanan banyak orang tentu butuh keahlian sendiri.
Kekhasan lainnya dari ibadah umrah di Indonesia adalah adanya aspek primordial atau ketokohan. Menurut dia banyak jemaah umrah yang fanatik atau cocok dengan sosok kiai atau ulama tertentu. Sehingga mereka harus mengikuti kegiatan umrah bersama sosok tersebut. Kondisi ini juga sulit diwujudkan ketika melakoni umrah secara mandiri atau backpacker.
Pada kesempatan yang sama Ketua Panitia Musyawarah Nasional ke-1 Asphirasi Nur Hayat mengatakan, mereka ikut meramaikan organisasi PPIU yang sudah ada saat ini. Salah satu tujuan mereka berdiri adalah, untuk mewadahi dan memberikan pembinaan terhadap PPIU. “Khususnya soal semakin gencarnya digitalisasi pada proses penyelenggaraan umrah oleh Arab Saudi,” katanya. (wan/jpg)
Sentimen: positif (88.8%)