Sentimen
Positif (94%)
11 Sep 2023 : 06.00
Informasi Tambahan

Agama: Kristen

Event: Pilkada Serentak

Kasus: covid-19, korupsi

Partai Terkait

Di Balik Kepuasan Publik terhadap Presiden Jokowi

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

11 Sep 2023 : 06.00
Di Balik Kepuasan Publik terhadap Presiden Jokowi

SEMUA orang mengimpikan happy-ending. Bagi pemimpin politik, happy-ending itu adalah legacy yang menuai pujian dari generasi ke generasi.

Menjelang pengujung kekuasaannya, Presiden Joko Widodo berpotensi mewarisi legacy sebagai Presiden dengan tingkat kepuasan (approval rating) tertinggi sepanjang sejarah.

Survei terbaru Litbang Kompas menunjukkan, tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mencapai 74,3 persen. Sementara survei lain, seperti LSI dan SMRC, menyebut tingkat kepuasan pemerintahan Jokowi di atas 80 persen.

Kalau memakai angka LSI dan SMRC, maka approval rating pemerintahan Jokowi-Ma’ruf merupakan yang tertinggi di dunia.

Merujuk pada data yang dikumpulkan oleh Morning Consult Political Intelligence pada 23-29 Agustus 2023, approval rating Jokowi mengungguli rekor yang dipegang Perdana Menteri India Narendra Modi sebesar 76 persen.

Approval rating pemerintahan Jokowi berjarak sangat jauh dari Lula da Silva (50 persen), Joe Biden (40 persen), Justin Trudeau (40 persen), Emmanuel Macron (26 persen), Olaf Scholz (25 persen), dan Mark Rutte (25 persen).

Di negeri kita, hasil survei kerap kali memantik pro dan kontra. Apalagi jika penilaian terhadap hasil survei berbasiskan fanatisme politik dan residu polarisasi Pilpres 2019.

Tak bisa dipungkiri, selama dua periode memerintah, Jokowi membawa banyak sekali kemajuan. Namun, tak bisa dipungkiri pula, ada persoalan kebangsaan yang belum terselesaikan, seperti ketimpangan ekonomi, ancaman krisis ekologi, kualitas SDM yang rendah, dan korupsi.

Di sinilah letak masalahnya, hasil survei tampak compang-camping jika disandingkan dengan realitas kebangsaan.

Sejumlah penjelasan

Tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi, yang melambung sangat tinggi, bukan tanpa penjelasan.

Dari penjelasan lembaga survei, terutama LSI, SMRC, dan Indikator Politik, musababnya ada dua yang pokok: pertama, keberhasilan Jokowi mengendalikan inflasi; dan kedua, pemulihan ekonomi yang cepat pascapandemi covid-19.

Selama pemerintahannya, Jokowi memang sangat sukses mengendalikan inflasi. Inflasi tahunan Indonesia turun dari 8,36 persen pada 2014 menjadi hanya rata 3 persen sepanjang 2015-2021. Bahkan pernah di angka 1,68 persen pada 2020 dan terendah dalam sejarah Indonesia.

Beliau juga berhasil membawa Indonesia keluar lebih cepat dari krisis yang dipicu oleh pandemi covid-19. Selama pandemi, ekonomi Indonesia tidak pernah tumbuh negatif: 2020 (2,07 persen) dan 2021 (3,69 persen). Dan rebound pada 2022 (5,31 persen).

Penjelasan ini sangat masuk akal. Ada banyak kajian dan riset yang menunjukkan kelindan antara situasi ekonomi dan approval rating pemerintahan (Henry c. Kenski, 1977; Kristen R. Monroe, 1978, George Edwards, 1985).

Temuan Ipsos, misalnya, menunjukkan betapa inflasi berkorelasi langsung pada approval rating Joe Biden. Semakin tinggi inflasi, maka approval rating Joe Biden justru menurun (Riset Ipsos, 2022).

Pengaruh inflasi terhadap tingkat kepuasan publik tidak sulit dijelaskan. Persepsi publik dalam menilai pemerintahan cenderung berdasarkan pengalaman mereka sehari-hari. Dalam hal ini, inflasi bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat banyak: soal daya beli dan harga kebutuhan hidup.

Namun demikian, sekalipun inflasi dan pemulihan ekonomi berkontribusi terhadap persepsi publik dalam menilai kinerja pemerintah, namun daya ungkitnya seharusnya tak setinggi angka-angka yang ada. Saya kira, ada faktor-faktor lain yang tak tersebutkan di sini.

Faktor-faktor yang tak tersebutkan

Pertama, peran media yang cenderung membingkai persepsi positif terkait kinerja pemerintah. Edwards, Mitchell, dan Welch (1995) menunjukkan, semakin besar penekanan suatu isu yang berpengaruh positif ke pemerintah oleh media, maka semakin besar pula dampaknya pada tingkat kepuasan terhadap pemerintah tersebut.

Media berperan dalam membingkai isu yang disuguhkan pada publik, mana yang perlu dibesar-besarkan dan isu mana yang harus dikesampingkan, kemudian bagaimana isu tersebut dinarasikan dengan positif atau negatif.

Kita lihat isu UU Cipta Kerja, yang proses pembuatan dan substansinya banyak digugat oleh serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil.

Riset Remotivi, salah satu lembaga pemantau media, mencatat, yang dipublikasikan pada 20 Maret 2020, menunjukkan bahwa media lebih banyak menjadi “humas pemerintah” dalam pemberitaan omnibus law UU Cipta Kerja.

Dari analisis terhadap pemberitaan 5 media arus-utama, riset remotivi menyimpulkan: 52 persen memiliki nada positif, 32 persen netral, dan 16 persen negatif.

Dalam pemilihan narasumber, ruang bagi pemerintah mendapat ruang berbicara terbanyak dengan persentase 47 persen, menyusul buruh dengan 14,3 persen, dan yudikatif (aparat kepolisian, hakim, jaksa, dll.) dengan 12 persen.

Kedua, pengetahuan politik warga negara juga berpengaruh pada penilaian terhadap kinerja pemerintah. Tanpa pengetahuan politik yang memadai, sulit bagi warga negara untuk memberikan penilaian kritis terhadap kinerja pemerintah.

Di negara maju, fasilitas publik yang buruk, seperti jalanan rusak mungkin sesuatu yang tak bisa diterima oleh warganya. Di Indonesia, berdasarkan data Statistik Transportasi Darat 2021, jalan yang kondisinya baik hanya 42,6 persen, sementara rusak sebanyak 31,91 persen.

Tak sedikit dari jalan itu rusak sudah bertahun-tahun, dari pemilu ke pemilu dan Pilkada ke Pilkada. Seharusnya, isu jalan rusak menjadi menu gugatan politik. Namun, jika jalan rusak bisa sampai puluhan tahun, bisa dipastikan isu jalan raya tak masuk dalam menu gugatan politik di pilkades, pilkada, maupun pemilu.

Betapa tumpulnya kesadaran dan standar politik kita, bekas narapidana koruptor bebas mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Tak sedikit yang benar-benar terpilih.

Pada pemilu 2024 nanti, menurut KPU, ada 67 eks narapidana atas berbagai jenis kasus, termasuk perkara korupsi, yang akan ikut kontestasi menjadi wakil rakyat.

Ketiga, absennya oposisi dan lemahnya check and balance. Pascapemilu 2019, Jokowi merangkul semua lawan politiknya, termasuk Prabowo Subianto. Situasi itu diikuti dengan keberhasilan Jokowi merangkul banyak partai politik.

Di parlemen, koalisi pemerintah menguasai 471 kursi parlemen atau 81,9 persen kursi DPR. Hanya ada dua partai oposisi di parlemen, yaitu Demokrat dan PKS.

Dalam kasus revisi UU KPK, yang melemahkan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia, tidak satu pun partai menolak. Demokrat dan PKS hanya memberi catatan, tetapi tak menolak.

Tanpa oposisi yang kuat dan kritis, bukan hanya melemahkan check and balance, tapi juga membuat tak ada narasi tandingan terhadap berbagai kebijakan pemerintah.

Sebagian besar kebijakan pemerintah yang kontroversial, seperti revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja, ditolak di jalanan, bukan di parlemen.

Keempat, keberpihakan (partisanship) dan fanatisme politik. Polarisasi politik yang mengental dalam dua pemilu terakhir (2014 dan 2019) menyuburkan fanatisme politik.

Fanatisme melahirkan penilaian yang subjektif. Di kalangan pendukung pemerintah yang fanatik, pemerintah bisa bercokol seperti berhala yang disembah-sembah.

Sebaliknya, di kalangan oposisi fanatik, pemerintah bisa bercokol seperti setan tanpa kebaikan setetes pun. Keduanya senang bertungkus lumus dalam ruang gema (echo chamber).

Meskipun Prabowo kemudian bergabung ke pemerintahan, tetapi residu polarisasi dan fanatisme politik itu masih ada.

Yang terjadi, sebagian besar pendukung Prabowo, yang dulu getol mengkritik dan menyerang Jokowi, sekarang turut menjadi bagian dari populasi yang mengapresiasi kinerja pemerintah.

Ini terekam dalam survei Litbang Kompas pada Januari 2023, sebanyak 68,3 persen pendukung Prabowo mengapresiasi positif kinerja pemerintah. Hal yang sama terjadi pada pendukung Sandiaga Uno.

Sebaliknya, porsi terbesar pendukung Anies dan AHY berada dalam kelompok populasi yang menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintah.

Tampak masuk akal, manakala elektabilitas Anies Baswedan yang hanya dalam rentang 20-25 persen, estimasi tingkat kepuasan terhadap Jokowi dalam rentang 70-80 persen.

Bagi seorang petahana, approval rating bukan sekadar evaluasi publik atas kinerjanya, tetapi sekaligus modal politik yang sangat besar untuk terpilih kembali.

Sementara, bagi Presiden yang akan berakhir jabatannya karena pembatasan masa jabatan, approval rating bisa menjadi legacy sekaligus modal politik di ujung kekuasaannya untuk menjadi “king maker” yang menentukan hasil Pemilu selanjutnya.

Namun, capres penerus yang berharap berkah dari “approval rating” pemerintahan Jokowi perlu berhati-hati: approval rating itu ditopang oleh tiang yang rapuh, sehingga gampang dirobohkan oleh politik gagasan yang berani masuk ke dalam isu ketimpangan ekonomi, korupsi, perubahan iklim, dan politik dinasti.

-. - "-", -. -

Sentimen: positif (94.1%)