Fenomena "Parnoko, Parsakom, dan Pardukom" Dalam Koalisi

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

5 Sep 2023 : 05.44
Fenomena "Parnoko, Parsakom, dan Pardukom" Dalam Koalisi

“Walau sebutannya gurem, jangan remehkan keberadaannya. Kerap kehadirannya menjadi penambah suara yang kurang, bahkan sangat diperlukan di saat-saat akhir. Terkadang pula, walau suaranya minimal, tetapi mintanya bisa maksimal”.

BOLEH jadi narasi di atas bisa menjadi “gambaran” yang tidak utuh, tetapi setidaknya bisa memahami konteslasi partai-partai jelang terbentuknya koalisi yang permanen menjelang Pilpres 2024.

Manuver partai-partai untuk mencari mitra semakin intens seiring dengan “terkoyaknya” dua koalisi yang “ambyar” usai Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar dipinang sebagai bakal cawapres oleh Partai Nasdem sebagai pendamping Anies Baswedan.

PKB akhirnya keluar dari jalinan kerja sama dengan Gerindra di Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya seiring bergabungnya Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Garuda dan Partai Gelora.

Sepeninggalnya PKB, Prabowo Subianto yang diusung menjadi bakal capres semakin mengukuhkan kesolidan partai-partai pendukungnya dalam Koalisi Indonesia Maju.

Bergabungnya PKB ke dalam Koalisi Perubahan untuk Perbaikan, tidak urung membuat Demokrat memilih “cabut” sehingga akhirnya hanya tersisa Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) serta Partai Ummat.

Sementara bakal capres Ganjar Pranowo masih disokong PDIP, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Hanura, serta Perindo.

Menariknya, usai PKB “lepas” dari koalisi pendukung Prabowo, isu siapa bakal cawapres yang akan berduet dengan Menteri Pertahanan era Jokowi tersebut langsung mencuat.

Golkar mendorong nama ketua umumnya, Airlangga Hartarto, PAN menyorongkan nama Menteri BUMN Erick Thohir, serta PBB begitu yakin mencalonkan Yusril Ihza Mahendra sebagai kandidat cawapres Prabowo.

Mengapa PBB begitu “pede” ikut menyorongkan nama ketua umumnya sebagai cawapres? Padahal pada Pemilu 2019 lalu, PBB hanya meraup 0,79 persen suara.

Sementara PAN mendulang 6,84 persen serta Golkar menduduki peringkat ke tiga nasional setelah PDIP dan Gerindra, yaitu 12,31 persen.

Besarkah peluang Yusril Ihza Mahendra menjadi “pengantinnya” Prabowo Subianto? Apakah Golkar dan PAN rela menyerahkan calon kursi RI-2 kepada PBB yang “gurem”?

Tidak hanya PBB yang “bertingkah”, beberapa waktu lalu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga “berulah”.

Sama-sama dikenal satu frame dalam mendukung pencalonan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama di Pilkada DKI serta Jokowi di dua kali Pilpres, PSI kini “seakan-akan” memilih berseberangan dengan PDIP.

Walau sempat mendukung pencapresan Ganjar Pranowo, kini PSI kian “mesra” dengan Prabowo Subianto. Di Pemilu 2019 lalu, PSI hanya meraup suara 2.650.361 atau setara 1,89 persen.

Tidak mengecilkan arti raihan suara setiap partai dalam kompetisi Pemilu yang berlangsung ketat, setiap satu suara pun begitu berkorelasi dengan aspirasi rakyat yang mempercayakan suaranya.

Justru agregat keberhasilan Pemilu lebih diletakkan kepada “berharganya” setiap satu suara sekalipun, mengingat itulah arti dari “pesta” demokrasi.

Untuk memudahkan klustering partai-partai yang meraih suara di bawah ambang batas parlemen sebesar 4 persen, saya mengelompokkan PBB bersama Partai Garuda (0,50 persen) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia/PKPI (0,22 persen) sebagai “Parnoko” atau Partai Nol Koma.

Sementara PSI bersama Partai Hanura yang meraih 1,54 persen, saya kelompokkan dalam Partai Satu Koma alias “Parsakom”.

Sementara Perindo (2,67 persen) bersama Partai Berkarya (2,09 persen), saya golongkan sebagai “Pardukom” atau Partai Dua Koma.

Partai Gurem dengan basis massa jelas

Jelang Pilkada 2020 lalu, Nusakom Pratama pernah menggelar survei di Kabupaten Belitung Timur, Bangka Belitung. Hasil survei memperlihatkan signifikansi dan eksistensi PBB patut diperhitungkan jika ada calon kepala daerah yang maju di Pilkada.

Pada Pemilu 2019 lalu, PSI berhasil menempatkan kader-kadernya di 6 DPRD Provinsi dan 37 DPRD kabupaten/kota. Total ada 67 kader PSI yang lolos menjadi anggota legislatif.

Ketika mendapat kepercayaan sebagai konsultan pemenangan calon gubernur suatu provinsi di Pilkada 2020 lalu, saya tahu betul ada partai “gurem” yang menuntut mahar tinggi mengingat suara partai tersebut sangat dibutuhkan untuk menggenapi gabungan suara partai-partai pendukung.

Dalam konstelasi Pilkada termasuk Pilpres, kehadiran partai-partai gurem selain menjadi “penggenap” gabungan suara partai-partai dalam koalisi, keberadaan elite-elite partai yang dikenal sebagai politisi berpengalaman dan identifikasi basis massa yang jelas menjadi nilai tambah tersendiri.

Belum lagi dari efek psikologis massa, dukungan banyak partai – sekalipun gurem – tetap saja memberi efek “getar” tersendiri.

Jangan heran jika Anis Matta yang kini didapuk sebagai Ketua Umum Partai Gelora mengklaim kalau dirinya yang memberi endorse nama Prabowo Subianto kepada Presiden Joko Widodo pasca-Pilpres 2019.

Mantan pentolan PKS itu mendorong Jokowi agar menarik rival abadinya di dua kali Pilpres sebagai salah satu pembantu di kabinetnya Jokowi.

Padahal publik ingat, di Pilpres 2019, baik Anis Matta secara pribadi maupun PKS bukan termasuk kelompok pendukung Jokowi – Maruf Amin.

Istilah partai “gurem" atau partai “kecil" dalam sejarah partai-partai modern sering digunakan untuk merujuk pada partai politik yang memiliki pengaruh politik dan pemilih yang relatif terbatas dibandingkan dengan partai-partai besar atau utama dalam suatu negara.

Sebetulnya penyebutan “gurem” atau “kecil” adalah istilah yang relatif subjektif dan mungkin bervariasi dalam konteks berbeda.

Beberapa istilah yang sering digunakan untuk merujuk pada partai-partai gurem di beberapa negara lain seperti; partai ke tiga, partai minoritas, partai satelit, partai protes, partai regional atau lokal, partai independen atau partai niche.

Istilah "partai ke tiga" dalam beberapa sistem politik, digunakan untuk mengidentifikasi partai-partai kecil yang bukan bagian dari dua partai besar yang dominan.

Sementara “partai minoritas” digunakan untuk partai yang memiliki jumlah kursi atau dukungan yang relatif kecil dalam parlemen atau dalam pemilihan umum.

Beberapa partai kecil dapat dianggap sebagai "partai satelit" ketika mereka bergantung pada atau tergantung pada partai besar lainnya dalam koalisi atau aliansi politik.

Partai kecil yang muncul sebagai bentuk protes terhadap kebijakan atau kebijakan partai-partai besar atau pemerintahan saat ini sering disebut sebagai "partai protes."

Beberapa partai kecil yang fokus pada isu-isu atau agenda yang lebih lokal atau regional daripada nasional, dan mereka disebut sebagai "partai regional" atau "partai lokal".

Partai-partai yang tidak terafiliasi dengan partai politik besar sering disebut sebagai "partai independen." Partai ini memiliki pandangan atau agenda politik yang lebih khusus.

Sedangkan “partai niche” merujuk pada partai-partai yang berfokus pada isu-isu atau basis pemilih yang sangat spesifik, seperti partai lingkungan, partai hak-hak sipil, atau partai agama.

Antara "Parnoko, Parsakom, dan Pardukom"

Partai-partai gurem atau partai kecil seringkali memiliki peran yang cukup beragam dalam koalisi politik.

Peran mereka dalam koalisi bisa bervariasi tergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah kursi yang mereka miliki dalam parlemen walaupun di tingkat lokal, ideologi politik, dan dinamika politik yang terjadi.

Dalam pekan-pekan mendatang, sikap politik partai-partai baru walau di-manage oleh politisi-politisi “lama” dalam dukung-mendukung capres akan jelas terlihat.

Partai Buruh, Partai Kebangkitan Nusantara, serta partai-partai lokal di Aceh seperti Partai Aceh; Partai Adil Sejahtera Aceh (PAS Aceh); Partai Generasi Aceh Beusaboh Tha’at dan Taqwa; Partai Darul Aceh; Partai Nanggroe Aceh; dan Partai Sira (Soliditas Independen Rakyat Aceh) akan melabuhkan suaranya ke Ganjar, Prabowo atau Anies.

Salah satu partai lokal di Aceh yang berintikan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka, yakni Partai Aceh secara resmi telah mendukung Prabowo Subianto.

Kehadiran partai-partai “imut” dalam koalisi sering menjadi penyokong tambahan bagi partai besar atau partai dominan dalam koalisi.

Bisa saja kehadirannya memberikan tambahan kursi di parlemen, walau di tingkat lokal untuk memastikan mayoritas yang stabil bagi koalisi.

Terkadang partai-partai kecil dapat menjadi pemegang kunci dalam koalisi. Hal ini terjadi ketika suara partai penting untuk mencapai ambang batas pengajuan pasangan calon, dan dapat menggunakan kekuatan ini untuk memperoleh manfaat politik atau kebijakan yang lebih besar dalam perjanjian koalisi.

Partai-partai kecil dalam koalisi dapat menggunakan posisi mereka untuk mendorong agenda atau kebijakan tertentu yang mungkin tidak mendapatkan dukungan kuat dari partai besar.

"Parnoko, Parsakom dan Pardukom" dapat memanfaatkan kekuatan mereka untuk memengaruhi kebijakan dalam arah yang lebih sesuai dengan visi dan misi masing-masing.

Jangan sepelekan, partai-partai kecil dapat berperan dalam menjaga stabilitas koalisi. Dengan berpartisipasi dalam koalisi, mereka dapat membantu mencegah konflik internal dan memastikan bahwa pemerintahan kelak dapat berfungsi dengan baik.

Bagi partai-partai kecil yang belum pernah berpartisipasi dalam pemerintahan sebelumnya, koalisi dapat memberikan kesempatan untuk memperoleh pengalaman dalam pemerintahan dan pelayanan publik.

Cara ini dapat membantu partai-partai kecil membangun reputasi dan dukungan politik untuk pemilihan berikutnya.

Partai-partai kecil dalam koalisi mungkin juga menghadapi tantangan internal. Beberapa anggota partai mungkin tidak setuju dengan keputusan untuk masuk ke dalam koalisi, dan ini bisa menghasilkan konflik internal.

Drama politik yang terjadi di PSI usai merapatkan partai ke Prabowo, tidak urung menyebabkan beberapa kader PSI memilih hengkang dari partai.

Penting untuk diingat bahwa peran partai-partai kecil dalam koalisi dapat sangat bervariasi, dan strategi dan tujuan mereka dapat berbeda-beda. Selain itu, peran mereka juga dapat berubah seiring waktu dan peristiwa politik yang berkembang.

“Ojo kesusu (jangan terburu-buru), masih ada banyak drama sinetron. Cermati perkembangan politik yang ada agar tidak salah kesimpulan memilih Capres.” – Joko Widodo.

Pernyataan Presiden Jokowi itu disampaikan kepada fungsionaris PSI di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (4/9/2023). Pesan yang menohok untuk "Parnoko, Parsakom, Pardukom" dan partai-partai lain.

-. - "-", -. -

Sentimen: positif (100%)