Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak, Pilkada 2017
Kab/Kota: Surabaya
Tokoh Terkait
HEADLINE: Surya Paloh Bertemu Jokowi di Tengah Kabar Duet Anies-Cak Imin, Sinyal Ada Restu Istana?
Liputan6.com Jenis Media: News
Liputan6.com, Jakarta - Konstelasi politik menuju pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 2024 terus mengalami pergeseran. Perubahan politik secara signifikan tergambar dari masifnya manuver elite untuk mencari peruntungan politik guna menatap pilpres mendatang.
Tak hanya itu, warna-warni dinamika penentuan pasangan capres-cawapres 2024 juga turut menjadi perbincangan intensif antar parpol yang saat ini semakin keras didengungkan di muka publik. Hal ini yang kemudian membuat iklim koalisi yang sudah terbentuk kembali mengalami kontraksi politik.
Adapun Baru-baru ini, publik kembali digemparkan dengan pengakuan Partai Demokrat soal keretakan hubungan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) usai mencuat kabar duet Anies Baswedan dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.
Hal itu sebagaimana tertulis dalam pernyataan resmi Sekjen Partai Demokrat Teuku Riefki Harsya pada Kamis, 31 Agustus 2023 kemarin. Dalam pernyataan tersebut, Riefky mengungkapkan bahwa partainya merasa dikhianati karena keputusan sepihak soal duet Anies-Cak Imin tersebut.
Terlebih, kata Riefky, Capres Anies Baswedan sebelumnya sudah memutuskan menggandeng Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sejak bulan Juni 2023 lalu.
Bahkan, menurut Riefky, nama AHY juga telah disampaikan Anies kepada pimpinan partai pendukungnya yaitu Ketua Umum (Ketum) NasDem Surya Paloh, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri, dan Ketum Demokrat AHY serta Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak ada satu pun yang menolak nama AHY.
Namun seiring berjalannya waktu, sesuatu yang tidak terduga dan sulit dipercaya justru terjadi. Di tengah proses finalisasi kerja Parpol koalisi bersama Capres Anies dan persiapan deklarasi (Anies-AHY), tiba-tiba terjadi perubahan fundamental dan mengejutkan.
Perubahan fundamental yang dimaksud adalah ketika Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menetapkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai pendamping Anies Baswedan untuk Pilpres 2024.
Maka menyikapi hal itu, Partai Demokrat akhirnya resmi mencabut dukungan terhadap Bakal Capres Anies Baswedan di Pilpres 2024. Hal itu diputuskan usai menggelar rapat Majelis Tinggi Partai Demokrat di kediaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di Puri Cikeas, Jawa Barat, Jumat (1/9/2023).
"Pertama, Demokrat cabut dukungan Anies Baswedan sebagai capres pilpres 2024," kata Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, Andi Malarangeng, saat konferensi pers.Selain mencabut dukungan ke Anies, Partai Demokrat juga resmi keluar dari Koalisi Perubahan yang telah dibangun bersama Partai NasDem dan PKS.
"Kedua, Partai Demokrat tidak lagi berada di dalam koalisi perubahan untuk persatuan karena terjadi pengingkaran kesepakatan yang dibangun selama ini," pungkasnya.
Sementara itu di sisi lain, Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memutuskan telah menerima tawaran kerja sama politik yang diajukan Partai NasDem untuk menduetkan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden di Pilpres 2024.
Keputusan tersebut ditetapkan usai rampungnya Rapat Pleno Gabungan DPP PKB yang digelar di Kantor Dewan Pimpinan Wilayah PKB Jawa Timur, Jalan Menanggal, Surabaya, Jumat (1/9/2023).
"Menerima dengan baik tawaran Partai NasDem memasangkan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden, Anies-Muhaimin," kata Sekretaris Jendral (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat PKB Muhammad Hasannudin Wahid di Kantor Dewan Pimpinan Wilayah PKB Jawa Timur.
Ia menyebut terbitnya keputusan itu menindaklanjuti pelaksanaan rapat pleno di Jakarta yang menyambut baik tawaran kerjasama dari partai NasDem kepada PKB untuk kerja sama politik di Pilpres 2024.
Namun, keputusan pengurus pusat mengharuskan penetapan hasil akhir atau proses finalisasi dilakukan melalui Rapat Pleno Gabungan DPP PKB yang melibatkan seluruh jajaran pengurus internal partai.
"Tetapi tadi pagi (1/9) keputusan dari DPP PKB juga harus menggelar rapat pleno gabungan, jadi tidak hanya Dewan Syuro PKB dan Tanfidz tetapi seluruh badan otonom diundang, seluruh anggota fraksi diundang, bahkan pimpinan DPW PKB juga diundang pada sore hari ini," ujarnya.
Kemudian dalam rapat pleno gabungan itu juga, DPP PKB juga meminta arahan dan pandangan dari para kiai, tokoh, serta kader internal partai terkait pengambilan keputusan terhadap tawaran kerja sama politik dengan NasDem untuk memasangkan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
"Jadi, Anies-Muhaimin kira-kira disingkat 'AMIN'," ucapnya.
Akhir Perjalanan Koalisi Perubahan?
Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (IndoStrategic) A. Khoirul Umam menilai, manuver NasDem yang mengusung duet Anies dan Cak Imin menjadi simbol dari berakhirnya perjalanan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
"Nasdem yang membentuk koalisi secara sembunyi-sembunyi dengan PKB untuk mengusung skema Anies-Muhaimin menjadi penanda bagi berakhirnya Koalisi Perubahan," kata Umam kepada Liputan6.com, Jumat (1/9/2023).
Hal itu, kata Umam, tidak terlepas dari posisi Partai NasDem yang tampak tidak ingin untuk terus melawan dan mengkritik arus politik pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini.
Umam menyebut, NasDem tampak lebih ingin memilih langkah renegosiasi dengan pemerintah dari pada harus berhadapan dan terus-menerus menentang kekuasaan dengan menggunakan kedok pro-perubahan.
"Bubarnya koalisi penantang pemerintah itu tak lepas dari positioning Nasdem yang tampaknya setengah hati untuk berhadap-hadapan dengan pemerintah," ucap Umam.
"Alih-alih menantang pemerintah, Nasdem justru mencoba melakukan renegosiasi ulang dengan kekuasaan. Artinya, di balik enggannya Anies mengkritik pemerintahan Jokowi, ternyata Anies dan Nasdem yang selama ini menggunakan kedok pro-perubahan ternyata bermain mata dengan kekuasaan," lanjutnya.
Oleh sebab itu, Umam menilai, pertemuan Ketua Umum NasDem Surya Paloh dengan Jokowi menjadi tanda bahwa koalisi NasDem-PKB dapat diindikasikan turut menjadi koalisi bentukan Istana dari hasil kompromi Surya Paloh-Jokowi.
"Fakta politik terakhir justru menegaskan bahwa koalisi Nasdem-PKB ternyata merupakan sekoci koalisi baru bentukan Istana, hasil kompromi Paloh dengan Jokowi," kata Umam.
Lebih lanjut, Umam melihat, kans kemenangan duet Anies-Cak Imin di Pilpres 2024 menjadi sangat problematik. Hal itu dikarenakan elektabilitas keduanya masih tergolong sangat lemah.
"Potensi kemenangan pasangan Anies-Imin agak problematik. Karena lemahnya elektabilitas Anies kurang terbantu oleh elektabilitas Cak Imin yang belum optimal," ucapnya.
Menurut Umam, mesin politik PKB yakni Nahdiyin tidak akan mampu berjalan optimal dan tak akan bisa menutupi jejak politik identitas Anies saat Pilkada 2017, Sebab PKB sudah melekat dengan nama Prabowo yang selama satu tahun belakangan telah mendapat simpul dukungan para kiai Nahdliyin.
"Jika Anies mempercayai pentingnya kekuatan politik Nahdliyin untuk menutupi catatan politik identitas saat Pilkada DKI Jakarta 2017, dengan mengambil Cak Imin sebagai Cawapresnya, maka mesin politik Nahdliyin Cak Imin susah optimal," ujar Umam.
"Sebab selama satu tahun terakhir ini, PKB betul-betul menjual habis Prabowo ke para kiai sepuh dan simpul-simpul pesantren di semua jaringan Nahdliyin," sambungnya.
Maka dari itu, duet Anies Cak-Imin diprediksi akan sulit optimal. Terlebih, nama Anies sendiri selama ini telah dianggap dan dicap sebagai pengeksploitasi politik identitas.
"Artinya langkah politik Anies agak berat untuk recover elektabilitas. Jangan sampai salah perhitungan," Umam menandasi.
Di sisi lain, Umam melihat, berlabuhnya PKB ke sisi koalisi NasDem akan memunculkan spekulasi arah politik PKS dan Partai Demokrat di Pemilu 2024. PKS kemungkinan akan tetap membersamai Anies dan NasDem, sebab PKS telah mendapatkan coat-tail effect dari pencapresan Anies. Sedangkan, Demokrat menurut Umam, tampak terlihat berbenah usai tragedi pengkhianatan tersebut.
"Bubarnya Koalisi Perubahan memunculkan spekulasi sikap politik PKS dan Partai Demokrat. PKS sendiri kemungkinan bisa tetap mendukung Anies karena kabarnya telah menerima logistik dan juga mendapatkan coat-tail effect dari pencapresan Anies, Namun Demokrat tampaknya sudah mengevaluasi total skema koalisi perubahan (dengan mencabut dukungan ke Anies)," ucap Umam.
Selain itu, Umam menyebut, retaknya KPP juga akan membuka peluang bagi PDI Perjuangan (PDIP) untuk menggaet pecahan Partai KPP tersebut, salah satunya Demokrat guna menambah kekuatan Ganjar Pranowo di Pilpres 2024.
"Ini akan menjadi peluang yang baik bagi PDIP untuk merangkul Partai Demorkat untuk memperkuat pencapresan Ganjar Pranowo," pungkasnya.
Senada dengan Umam, Pengamat Politik dari Unversitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin menilai, keretakan kubu Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) akan membuka skema peta politik baru di Pilpres 2024. Baik Demokrat maupun PKS, keduanya disebut berpeluang untuk beralih ke koalisi lain, terlebih Demokrat sudah mencabut dukungannya terhadap Anies Baswedan.
"Kalau bicara nasib PKS-Demokrat, kemungkinan akan merapat ke koalisi yang lain, bisa ke Prabowo maupun Ganjar. Tapi kedua partai tersebut sepertinya lebih berat akan mengarah ke Koalisi Prabowo Subianto," kata Ujang kepada Liputan6.com, Jumat (1/9/2023).
Menurut Ujang, secara garis politik baik PKS maupun Demokrat, Keduanya memiliki kedekatan historis dengan Prabowo. Hal ini terbukti dengan sudah terjalinnya hubungan kedua partai tersebut yang sejak 2014 lalu telah mengusung Prabowo sebagai Capresnya.
"Kalau kita lihat dari historisnya, dulu PKS dukung Prabowo, lalu Demokrat juga ada di kubu Prabowo. Maka tentunya, PKS-Demokrat usai lepas dari NasDem kemungkinan besar akan bergabung ke Prabowo karena paling nyaman," ucapnya.
Namun, kata Ujang, tidak menutup kemungkinan juga baik PKS maupun Demokrat bisa berlabuh ke Koalisi PDI Perjuangan dengan mengusung Ganjar Pranowo sebagai Capres di Pilpres 2024 nanti.
"Tapi, tidak menutup kemungkinan (PKS-Demokrat) berkoalisi dengan PDIP, meskipun secara hubungan politik nasionalnya kurang memiliki garis kedekatan ketimbang dengan Prabowo. Untuk itu, kita perlu cermati kedepan arah politik kedua partai teresebut, karena politik itu dinamis dan tidak selalu mengikat," pungkas Ujang.
Sentimen: netral (66.6%)