Sentimen
Informasi Tambahan
Hewan: Ayam
Kab/Kota: bandung, Cimahi, Banyumas
Kasus: kebakaran
Tokoh Terkait
LIPSUS Lika-liku Persoalan Sampah Bandung Raya dan Cara Mengolahnya Secara Mandiri
Ayobandung.com Jenis Media: Nasional
BOJONGSOANG, AYOBANDUNG.COM -- Warga Bandung Raya mulai panik dan cemas memikirkan polemik pengelolaan sampah yang muncul akibat Kebakaran TPA Sarimukti pekan lalu.
Belum lama ini, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sudah mengintruksikan agar masyarakat di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi, mengelola sampah mandiri di rumah.
Sebaggian besar warga mulai bingung, bagaimana memusnahkan sampah-sampah yang sudah menumpuk di rumah? Haruskah dibakar? Ditimbun ke dalam tanah? atau bagaimana?
Sederet pertanyaan itu muncul, karena selama ini warga Bandung Raya belum terbiasa mengelola sampah secara mandiri. Masyarakat dimanjakan dengan jadwal angkutan sampah rutin yang selalu dilakukan minimal sepekan sekali.
Kondisi ini benar-benar menyadarkan masyarakat dan pemerintah setempat betapa carut-marutnya program pengelolaan sampah di Bandung Raya selama ini.
Berbagai program untuk mereduksi sampah kerap diluncurkan pemerintah kota dan kabupaten setempat, namun sejauh mana program itu berjalan optimal, tiada yang tahu.
Maka itu, Tim Ayobandung.com menyuguhkan LIPUTAN KHUSUS atau LIPSUS berjudul 'Menengok Carut-marut Program Pengelolaan Sampah Bandung Raya' untuk disimak dan menjadi bahan renungan para pembaca.
Bupati Bandung Dadang Supriatna
Kabupaten Bandung Ingin Bebas TPA, Tapi Apa yang Dilakukan?
Sampah menjadi permasalahan yang belum terselesaikan di wilayah Kabupaten Bandung. Pelbagai program telah diluncurkan namun belum memberi penyelesaian yang maksimal.
Bupati Bandung Dadang Supriatna sendiri mengklaim pada 2025 Kabupaten Bandung akan terbebas dari sampah yakni tidak lagi mengandalkan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
"Kedepan Kabupaten Bandung akan bebas TPA," tegas Dadang beberapa waktu lalu.
Namun dia tidak merinci program yang akan dilakukan untuk menyelesaikan masalah sampah di Kabupaten Bandung yang tidak kunjung selesai.
Dia hanya membocorkan jika pengolahan sampah akan dilakukan di tempat pengolahan mandiri, seperti yang dilakukan di Puspa (Pusat Pengolahan Sampah) Baleendah. Di tempat ini sampah memang diolah dengan cara daur ulang, salah satunya adalah biokonversi magot.
Menurutnya, sampah akan diselesaikan sejak dari rumah tangga. Namun, belum diketahui program apa yang akan bisa menyelesaikan masalah sampah bisa diselesaikan sejak dari rumah masyarakat.
Dalam catatan, Pemkab Bandung pernah meluncurkan beberapa program pengolahan sampah, mulai dari pendirian bank sampah, sampai Lubang Cerdas Organik (LCO).
Program bank sampah sendiri, hanya berhasil dilakukan di beberapa tempat. Seperti Bank Sampah Bersinas, Kecamatan Baleendah. Namun, bank sampah ini hanya mengolah sampah berbasis non organik, itu pun sumbernya bukan hanya dari masyarakat Kabupaten Bandung, tetapi juga ada suplai dari wilayah Kota Bandung.
Sementara, sampah anorganik belum juga terselesaikan secara matang, walaupun sejumlah program seperti pengolahan menjadi pupuk kompos telah diluncurkan, begitu pun dengan biokonversi magot.
Sejauh ini program biokonversi magot hanya dilakukan di beberapa tempat pengolahan, namun belum dilakukan secara massif sampah ke pelosok.
Bahkan di pasar-pasar tradisional yang dikelola oleh Pemeerintah Kabupaten Bandung melalui UPT Pasar juga masih belum terselesaikan dengan program yang diluncurkan oleh Pemkab Bandung baik melalui bank sampah maupun pengolahan melalui biokonversi magot dan program lainnya.
Selama ini pengolahan sampah di pasar masih mengandalkan pembungan ke TPA, kondisi ini kerap menjadi permasalahan, ketika terjadi gangguan pengiriman ke TPA Sarimukti. Sampah kerap menumpuk dan tidak diselesaikan dengan program yang telah diluncurkan oleh Pemkab Bandung.
Program lain yang telah diluncurkan adalah LCO. Pada dasarnya LCO merupakan kata lain dari biopori yang pernah diluncurkan oleh Pemkot Bandung pada masa kepemimpinan Ridwan Kamil.
Namun biopori sendiri merupakan program gagal di Kota Bandung, walaupun sempat gencar dibangun sampai tingkat RT.
Sementara, di Kabupaten Bandung kondisinya lebih kurang meyakinkan, walaupun program ini telah diluncurkan sejak beberapa tahun lalu, namun belum sampai dibangun secara massif di tingkat desa/kelurahan, apalagi sampai tingkat rumah tangga.
Sejumlah karyawan sebuah perusahaan sedang sibuk membuat lubang biopori. (Irfan Al-Faritsi-ayobandung.com)
Padahal, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Bandung Asep Kusumah menyebut jika LCO akan dibangun di tiap rumah tangga.
"Minimal setiap rumah tangga harus memiliki dua LCO," ucap Asep Kusumah beberapa waktu lalu.
Namun progra ini tidak berjalan dengan baik. Hal ini bisa dibuktikan dengan tiap rumah tangga yang ada di Kabupaten Bandung yang belum memiliki LCO.
Bahkan baik sampah organik maupun non organik selalu dibuang oleh masyarakat. Sejatinya jika program LCO berhasil, maka setidaknya sampah organik sudah bisa diselesaikan sejak dari rumah tangga.
Kang Pisman di Kota Bandung Tak Berjalan Mulus
Untuk mengentaskan masalah sampah, pemkot Bandung telah menggelontorkan anggaran yang besar untuk mengatasi persoalan tersebut. Bahkan, pemkot meluncurkan program khusus untuk pemilahan sampah yang bernama Kang Pisman.
Kang Pisman (kurangi, pisahkan, dan manfaatkan sampah) sendiri merupakan rebranding dari 3R (reuse, reduce, recycle). Program yang berfokus pada pemilahan sampah dari rumah ini diproyeksikan bisa menurunkan produksi sampah khususnya dari sektor rumah tangga.
Sayangnya, program Kang Pisman belum bisa menjadi solusi. Terbukti, data BPS menyebut Produksi sampah yang paling besar adalah sisa makanan dan daun, yakni mencapai 709,73 ton per hari. Atau, sebesar 44,52 persen dari total harian sampah yang diproduksi di Kota Bandung.
Sehingga, Plh Wali Kota Bandung, Ema Sumarna meminta agar aparat kewilayahan terus mendorong penerapan program Hal itu agar sampah di Kota Bandung bisa diselesaikan dari sumbernya.
Pemkot Bandung mendorong implementasi Program Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan sampah) diterapkan di setiap RW Kota Bandung (dok. Diskominfo)
"Ini terus kita dorong, ke sub wilayah kota di 1.596 RW. Kita dorong supaya paradigmanya sama," katanya.
Sehingga menurut Ema, jika soal lahan untuk sampah, di Kota Bandung belum mendapatkan lahan yang proporsional. Pasalnya luas Kota Bandung dengan penduduk yang ada belum memungkinkan untuk lahan tempat pembuangan sampah.
"Penduduk Kota Bandung itu 2,5 juta jiwa, dengan luas sekitar 16.000 hektar, dengan memproduksi sampah 1.600 ton per hari. Kalau dipaksa juga tidak dapat proporsional, karena lahan terbatas," kata Ema.
Sebagai upaya, Pemkot Bandung menduplikasi pengolah sampah dari daerah lain seperti Banyumas. Wilayah tersebut menurut Ema sudah 90 persen zero waste dengan SDM hingga lahan yang disiapkan sudah proporsional.
"Di sana, yang biasanya petugas pengangkut sampah bergeser menjadi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Nantinya tidak perlu retribusi sampah. Istilahnya mereka punya otonom, di rekrut sehingga selesai oleh mereka. Tahun ini kita coba di 10 TPS, tahun ini berjalan," ungkapnya.
Untuk teknologi, lanjut Ema, seperti wilayah Banyumas pun memiliki mesin pengolah sampah, yaitu Gibrik Mini. Dengan harga sekitar Rp10 juta, mampu mengolah sampah sekitar 2 ton dengan waktu 60 menit.
"Kita langsung melihat cara kerja teknologi yang ada di Banyumas. Mesin Gibrik ini harganya Rp 10 juta, dalam.waktu 1 jam mampu mereduksi 2 ton sampah. Jadi organik menjadi kompos, anorganik di cacah lagi menjadi briket, semen, hingga dimanfaatkan untuk industri kain. Residunya bisa menjadi batako, genting, dan sebagainya," ungkap Ema.
Ketua Bank Sampah Mandiri Tematik magot Desa Cileunyi Wetan, Deni Sulaeman. (Mildan Abdalloh/Ayobandung.com)
Mengelola Sampah Secara Mandiri ala Warga Cileunyi Wetan
Ditengah ancaman Bandung lautan sampah akibat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, warga RW 07 Desa Cileunyi Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung tidak merasa risau sampah akan menumpuk di gang atau depan rumah akibat tidak diangkut.
Sudah beberapa tahun ini, warga RW 07 sudah terbiasa mengolah sampah secara mandiri, tanpa mengandalkan angkutan ke TPA. Di tempat tersebut terdapat sebuah bank sampah mandiri.
Namanya memang bank sampah, tapi pada praktiknya merupakan sebuah tempat pengolahan sampah berbasis lingkungan. Sampah dari rumah tangga dipilah berdasarkan jenisnya, kemudian diolah.
Sampah organik dijadikan pakan magot, sementara sampah organik dipisahkan berdasarkan jenisnya untuk dijual.
Deni Sulaeman, ketu Bank Sampah Mandiri Tematik Cileunyi mengatakan, pada dasarnya sampah bisa menghasilkan uang jika dikelola dengan benar. Namun butuh perjuangan berat dan tekad kuat untuk bisa mengolah sampah sendiri tanpa harus mengandalkan TPA.
"Di sini saja keinginan saya untuk mengolah sampah telah diutarakan sejak 2019, namun tidak ditindaklanjuti," ujar Deni belum lama ini.
Menurutnya butuh kepedulian pemimpin untuk bisa melakukan perubahan. Bahkan hanya tingkat RW sekalipun. Deni memang memiliki pengamalan mengolah sampah khususnya biokonversi magot. Namun karena tidak ada kepedulian dari Ketua RW, usulan membentuk bank sampah pada mulanya tidak ditanggapi.
Beruntung, akhir 2019 terjadi pergantian kepengurusan. Pengurus RW baru merespon keinginan adanya pengolahan sampah secara mandiri, terlebih di RW 07 tidak ada layanan sampah, warga biasanya membakar atau membuang sampah secara sembarangan.
Hingga dibentuklah bank sampah mandiri tematik biokonversi magot. Untuk membangun bank sampah ini memang membutuhkan lahan, tidak terlalu besar yang penting ada tempat untuk memilah dan mengolah.
Sampah yang diangkut dari rumah warga, kemudian dipilah, sampah organik digunakan untuk pakan magot, sementara sampah non organik dipisahkan berdasarkan jenisnya. Setelah terkumpul banyak, sampah non organik dijual.
Magot yang dihasilkan juga tidak dijual, melainkan digunakan untuk pakan ternak dan ikan. Unggas dan ikan yang diberi pakan magot itu baru dijual sehingga memiliki nilai ekonomis lebih tinggi.
Hasilnya sangat besar, dalam satu tahun bisa mencapai ratusan juta rupiah yang digunakan untuk pengembangan dan gaji para relawan pengangkut sampah.
"Kami juga tidak menarif saat melakukan pengangkutan sampah dari rumah tangga. Memang disediakan kencleng, kalau mau ngasih diterima, tidak juga tidak masalah," katanya.
Cerita tersebut memang terdengar sukses, namun pada dasarnya membutuhkan perjuangan yang berat bahkan bisa dikatakan berdarah-darah.
Pekerja memberi makan maggot dengan sampah organik di UPT Puspa, Jelekong, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Senin, 1 November 2021. Maggot atau larva dewasa yang berasal dari telur Black Soldier Fly (BSF) dapat mengurai 3 ton sampah dalam seharinya. Maggot juga dapat dijadikan pelet untuk mengurangi protein dari tepung ikan. Selain untuk ikan, maggot juga baik untuk ayam maupun ternak lainnya. (Ayobandung.com/Fuad Mutashim/Magang)
Deni mengatakan pada awal pembentukan program pengolahan sampah secara mandiri tersebut pernah mendapat penolakan dari warga. Padahal program tersebut sebenarnya untuk membantu warga supaya masalah pembuangan sampah bisa terselesaikan.
Tetapi tetap saja ada yang menolaknya. Namun dengan kegigihan, dia berhasil mengajak beberapa orang yang bisa diajak berpikir maju.
Kesulitan lain yang dihadapi adalah masalah pengetahuan masyarakat. Deni menjelaskan, untuk mengolah sampah secara maksimal perlu dilakukan pemilahan sejak dari rumah. Namun, hingga saat ini kebiasaan menyatukan sampah dalam satu tempat masih saja terjadi.
"Pada tahap awal, kami juga sangat sulit memberikan edukasi kepada masyarakat. Saat ini juga masih ada yang tidak melakukan pemilahan, padahal mereka dilayani dengan baik karena sampah diambil dari rumah, tanpa harus bayar. Akan lebih baik apabila dipisahkan antar organik dan non organik,"jarnya.
Kondisi seperti itu yang menjadikan program pengelolaan sampah yang banyak diluncurkan oleh pemerintah tidak berhasil. Karena membutuhkan edukasi yang massif kepada masyarakat juga tindakan nyata oleh petugas lapangan.
Menurut Deni, semua program pengolahan sampah pada dasarnya bagus, namun implementasi di lapangannya yang banyak mengalami kendala, baik karena faktor pengetahuan masyarakat yang kurang, maupaun kurang uletnya petuga, sampai program yang hanya untuk kebutuhan menyerap anggaran.
Sentimen: negatif (100%)