Sentimen
Negatif (88%)
17 Agu 2023 : 16.32
Informasi Tambahan

Kab/Kota: bandung, Gunung, Boyolali

Kasus: korupsi, Bom bunuh diri

Tokoh Terkait

Kemerdekaan, Korupsi, dan Fungsi Agama Sebatas Simbol

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

17 Agu 2023 : 16.32
Kemerdekaan, Korupsi, dan Fungsi Agama Sebatas Simbol

PERAYAAN kemerdekaan Republik Indonesia ke-78 gegap gempita dirayakan seluruh bangsa di berbagai daerah.

Pemasangan bendera Merah Putih sebagai simbol bangsa dilakukan secara serentak sejak awal Agustus 2023, termasuk dilakukan pula di kendaraan roda empat. Bahkan saya jumpai pemasangan bendera Merah Putih oleh para tukang ojek online.

Demikian juga tak sedikit yang sengaja mendaki gunung untuk mencapai puncak demi mengibarkan sang Merah Putih. Hal ini bukti nyata dari kecintaan rakyat terhadap bangsanya.

Sementara itu di kalangan elite politik, sebagai para pengelola negeri merayakan kemerdekaan dengan sibuk safari politik demi meraih hasrat kekuasaan.

Para elite menggalang kerjasama politik, untuk tidak menyebut koalisi politik, istilah yang belakangan dihindari, yang tidak lain sekadar eufemisme bahasa.

Penghalusan, ya inilah sejatinya yang sedang dilakukan oleh elite politik demi memuluskan meraih kekuasaan dan jabatan.

Kerjasama politik antarpartai politik dengan tujuan menggolkan calon presiden yang akan diusung pada Pemilu 14 Februari 2024.

Tindakan ini sesuatu yang lumrah dalam dunia politik praktis. Ada segudang masalah yang sedang dihadapi bangsa ini.

Tidak mudah menyelesaikannya jika tidak ada kolaborasi seluruh pemangku kepentingan di republik ini; pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dunia usaha, media, tak terkecuali partai politik.

Kemerdekaan dan permasalahan bangsa

Di antara permasalahan besar yang dihadapi oleh bangsa ini, yakni pertama kemiskinan, sekurang-kurangnya hingga Maret 2023 berdasarkan data dari BPS masih di kisaran 9,36 persen, hanya menurun 0,18 persen poin dibandingkan Maret 2022.

Apabila dikonversi, jumlah penduduk miskin masih sebanyak 25,90 juta orang, angka yang tidak biasa-biasa saja.

Ini pun dengan catatan pengeluarannya hanya sebesar Rp 550.458/kapita/bulan. Angka ini diukur dari kemampuan konsumsi atau pengeluaran seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi.

Pengukuran ini disebut dengan dimensi moneter, yaitu cost of basic needs approach atau biaya yang dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan setiap orang per bulan.

Diperlukan upaya sungguh-sungguh dari pelbagai pemangku kepentingan dengan melakukan kerjasama secara konsisten memutus mata rantai kemiskinan yang dialami oleh rakyat.

Permasalahan kedua, yaitu masih tingginya korupsi. Berdasarkan data dari Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi bangsa ini berada di skor 34 dan berada di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei.

Buruk, tiada kata lain yang pantas disematkan. Bahkan skor ini turun empat poin dari tahun 2021 yang berada pada skor 38, merupakan penurunan paling drastis sejak 1995.

Korupsi terjadi dengan kasat mata dalam sistem politik, dalamnya konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta pembayaran ekstra/suap untuk izin ekspor-impor perdagangan apapun.

Bentuk-bentuk korupsi politik yang ditemukan di antaranya suap, gratifikasi, hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik, dan pelaku usaha makin lumrah terjadi.

Hal ini terkonfirmasi dengan tidak sedikit ditangkapnya kepala daerah bupati/wali kota/gubernur termasuk anggota legislatif, dan juga tak sedikit pula melibatkan menteri berikut pejabat di kementerian/lembaga negara.

Permasalahan ketiga, yakni terorisme. Hal ini lebih dekat pemahaman yang keliru terhadap doktrin agama.

Terbaru kasus ditangkapnya karyawan BUMN PT KAI semakin menguatkan hasil riset yang menunjukkan bahwa pemahaman ekstrem dan sekaligus mengarah pada terorisme makin dekat di kehidupan warga.

Sementara awal Agustus, ditangkap dua warga Boyolali yang siap melakukan amaliah, dengan cara bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar Bandung oleh Densus 88.

Dari sini diperlukan sosialiasi moderasi beragama kepada seluruh umat beragama di Indonesia tanpa terkecuali.

Selain itu juga moderasi beragama semestinya tidak menjadi monopoli salah satu kelompok masyarakat yang merasa paling moderat di antara kelompok-kelompok yang lain. Sehingga seakan menegasikan peran kelompok-kelompok masyarakat lainnya.

Saatnya berhenti dari sekadar simbol

Pancasila sebagai ideologi negara sudah menjadi perekat seluruh elemen bangsa yang sangat beragam tanpa terkecuali. Hal ini telah diamini oleh pelbagai kelompok masyarakat agama, suku, ras, golongan dari manapun.

Hambatannya, yakni implementasi dari nilai-nilai Pancasila yang bukannya semakin merasuk sebagai karakter bangsa.

Justru yang dirasakan di era revolusi industri 5.0 ini malah nilai-nilai Pancasila secara perlahan tergerus dengan mudahnya.

Misalnya yang belakangan marak adalah dengan mudahnya keluar ujaran kebencian dengan cara umpatan-umpatan di ruang publik. Termasuk di akun-akun media sosial.

Dan tragisnya keluar dari lisan seorang maupun kelompok masyarakat yang dianggap intelektual. Semakin lengkap pula dengan tidak ada tindakan hukum yang membuat efek jera, karena seringkali berakhir sekadar di atas surat bermeterai senilai Rp 10.000.

Hasil survei Ipsos pada 2023 ini di 26 menunjukkan sebanyak 66 persen responden warga global mengaku beragama maupun berkeyakinan. Sementara hanya 29 persen warga global yang mengaku agnostic dan ateis.

Adapun berdasarkan data survei Pew Research Center pada 2020 lalu menunjukkan bahwa 96 persen responden di Indonesia sangat percaya Tuhan dan berkorelasi dengan moral baik.

Prosentasi ini menjadi paling tinggi di dunia. Namun hal ini nampaknya tidak sejalan dengan Indeks Persepsi Korupsi sebagaimana saya jelaskan di atas.

Sementara itu jika melihat pada Swedia, salah satu negara di Skandinavia menunjukkan hanya 9 persen respondennya yang menganggap agama berkorelasi dengan moral baik, namun skor indeks korupsinya mencapai 83, yang berarti tingkat korupsinya sangat rendah.

Adalah Charles Kimball, seorang ahli Islamic studies dari Amerika, pada 2002 lalu, menuliskan karya reflektif berjudul “Kala Agama Jadi Bencana (when religion becomes evil)".

Hal ini akan terjadi tatkala agama sudah dicampuri dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan, sosial, ekonomi, politik yang akhirnya mengabaikan kemakmuran rakyat.

Tatkala orang beragama justru paling korup, saat ekstremisme menggejala dengan klaim penganut agama yang merasa dirinya paling benar, sementara yang lainnya hanya ‘ngontrak’ –persekusi ibadah umat lain yang berbeda adalah contoh nyata.

Untuk itu sudah saatnya refleksikan kemerdekaan Indonesia pada usia 78 tahun ini dengan sekurang-kurangnya kembali pada tujuan minimal berbangsa sesuai preambule UUD 1945 yang menyatakan: “Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Ini baru tujuan minimal, banyak hal lagi yang dapat dilakukan di era revolusi teknologi komunikasi dan informasi yang dapat dilakukan untuk “Terus Melaju untuk Indonesia Maju”, agar tidak sekadar berhenti pada slogan, namun hampa implementasi. Semoga.

-. - "-", -. -

Sentimen: negatif (88.9%)