Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Ambon, Yogyakarta, Bone, Manado
Kasus: pembunuhan, teror
Tokoh Terkait
Dari Mattoangin Makassar, Kisah Pilu Pembantaian Kapten Westerling itu Dimulai di Sulawesi Selatan
TVOneNews.com Jenis Media: News
tvOnenews.com - Pasukan khusus Belanda atau Depot Speciale Troepen (DST) itu tiba di Makassar, Sulawesi Selatan pada Kamis 5 Desember 1946. Pasukan dengan kekuatan 123 personel itu datang dengan membawa misi khusus untuk melakukan "penertiban keamanan".
Pasukan itu dipimpin oleh seorang Kapten Belanda kelahiran Turki, bernama Raymond Pierre Paul Westerling, atau Kapten Westerling. Ia kemudian mendirikan markasnya di Mattoangin.
Disini Westerling kemudian menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan "caranya sendiri".
Dari Mattoangin inilah awal mula dimulainya episode cerita-cerita pilu tentang pembantaian warga yang dilakukan oleh Kapten Westerling dan pasukannya, dalam operasi militer selama 12 minggu dalam kurun waktu 11 Desember 1946 hingga 3 Maret 1947.
Foto: Kapten Westerling (Wikipedia)
Maarten Hidskes, dalam bukunya "Di Belanda, Tak Seorangpun Mempercayai Saya" Korban Metode Westerling 1946-1947, diterjemahkan oleh Susi Moeiman, Maya Sutedja-Liem, Nurhayu Santoso, dan diterbitkan oleh Yayasan Obor 2018, menyebutkan, tak semuanya dari 123 personel DST yang dikirim ke Sulawesi Selatan itu orang Belanda.
Baca Juga: Cerita-Cerita Pilu 12 Minggu Operasi Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan
Sebagian dari pasukan DST itu merupakan pemuda asal Belanda, kebanyakan dari mereka adalah pemuda asal Sunda, Ambon, Manado, Jawa dan Timor. Hanya sekitar 20-an personelnya yang merupakan orang Belanda.
Dalam kenangan Opsir Penghubung Hay, sebelum pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen atau DST itu diberangkatkan ke Sulawesi Selatan, Kapten Westerling berpidato dengan lantang dihadapan anak buahnya.
"Siapa yang tidak sanggup berdiri dengan kedua kaki berada dalam genangan darah setinggi pergelangan kaki, silahkan pergi sekarang!" kata Kapten Westerling.
Menurut Herman dan Wim, dua anggota pasukan khusus lainnya, saat itu, beberapa pemuda dalam barisan pasukan Westerling benar-benar memutuskan untuk mengundurkan diri.
"Pinky, tiba-tiba dia kabur, terlalu berat baginya. Dia kembali ke bagian ketentaraan yang sebelumnya. Kapten tidak memandang rendah siapapun" kata Wim dan Herman sambil menunjukkan sosok seorang pemuda kurus di sebuah foto.
Kesaksian mantan anak buah Westerling itu, dikisahkan oleh Maarten Hidskes, dalam bukunya.
Buku yang ditulis Maarten Hidskes ini sejatinya bercerita tentang pencarian dirinya, mengenai sejauh mana keterlibatan ayahnya, Piet Hidskes, tentara pasukan khusus belanda yang menjadi anak buah Westerling saat operasi militer di Sulawesi Selatan.
Alasan Westerling Dikirim ke Makassar
Kepada sejarawan Salim Said, Burhan, seorang tokoh yang berjuang bersama Bung Hatta dalam Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) sekaligus orang yang kerap di sekitar Van Mook, pemimpin pemerintahan kolonial Belanda di Batavia waktu itu, menyampaikan sejumlah kesaksian tentang alasan dibalik operasi pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan.
Menurut Burhan, ceritanya bermula pada pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) sebagai salah satu negara boneka ciptaan Van Mook.
“Bagian yang paling tidak dikuasai Belanda di negara-negara boneka itu adalah Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan memang tak henti-hentinya mengirimkan pemuda untuk berjuang di Jawa." tulis Salim Said dalam bukunya "Dari Gestapu ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian".
"Inilah yang membuat Jenderal Spoor marah kepada De Vries, komandan tentara Belanda di Makassar. Spoor lalu memutuskan mengirimkan teman lamanya, Westerling bersama 900 anak buahnya ke Makassar.” lanjut Salim, mengutip kesaksian Burhan.
Foto: Westerling memimpin parade pada perayaan ulang tahun Ratu Juliana di Batavia. (Wikipedia)
Keputusan Spoor itu tampaknya tidak dikonsultasikan dengan Van Mook, pemimpin pemerintahan. Itulah yang menyebabkan dikirimnya misi pencari fakta tersebut.
Akan tetapi, apakah Jenderal Spoor memerintahkan pembunuhan seperti yang dilakukan Westerling tersebut? Menurut temuan Burhan. Soal membunuh banyak tentu tidak.
Baca Juga: Kapten Westerling Tertawa saat Ditanya Soal Pembantaian 40 Ribu Jiwa di Sulawesi Selatan
Spoor hanya memberi kekuasaan kepa da Westerling melakukan apa saja yang dianggapnya cocok untuk mengatasi keadaan yang gagal ditangani De Vries.
"Untuk tugas itu, Westerling tidak bertanggungjawab kepada siapa pun di Makassar.” kata Burhan kepada Salim Said.
Mengapa pembantaian massal harus dilakukan di Sulawesi Selatan? Burhan menyebut bahwa pembantaian Westerling tersebut adalah kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda dalam menyiapkan pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT).
Negara bagian NIT adalah satu dari sejumlah negara bagian bentukan Van Mook, untuk menunjukkan bahwa Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta tidak mewakili aspirasi seluruh penduduk Hindia Belanda.
Untuk tujuan itulah segala cara ditempuh Belanda. Mereka ingin menunjukkan bahwa semua penduduk Indonesia Timur, terutama Sulawesi Selatan, bahwa mereka mendukung proyek NIT.
Foto; Pembantaian Pasukan Westerling di Alun-Alun Barru, Sulawesi Selatan (Dok.Maarten Hidskes)
Rencana itu tidak berjalan mulus. Meski sebagian besar pemuda pejuang Sulawesi Selatan sudah hijrah berjuang di Jawa, sebagian pejuang tetap bertahan di daerah masing-masing. Mereka inilah yang menjadi duri dalam daging Pemerintahan Kolonial Belanda.
"Meski kecil-kecilan, perlawanan terjadi di mana-mana. Belanda yang kewalahan akhirnya memilih jalan teror demi membungkam aspirasi rakyat yang menolak proyek NIT." ungkap Salim Said.
Para bangsawan Bugis dan Makassar memobilisasi pengikutnya melakukan perlawanan kepada Belanda. Tidak hanya di tanah Sulawesi Selatan, mereka juga mengirim delegasi ke Jakarta untuk menyatakan dukungan kepada Pemerintahan Soekarno - Hatta.
Mereka juga mengatur pertemuan para pemuka masyarakat se-Sulawesi Selatan untuk mencari jalan menyampaikan dukungan kepada Proklamasi lahirnya Indonesia.
Dua tokoh penting yang terbunuh akibat kekejaman Westerling adalah Datu Suppa Toa (senior), Andi Makkasau, dan Datu Suppa Lolo (junior) Andi Abdullah Bau Massepe.
Datu Suppa Toa adalah mantan Datu Suppa, sedangkan penggantinya waktu itu adalah Andi Abdullah Bau Massepe, putra Raja Bone, Andi Mappanyukki.
"Kedua bangsawan tinggi Bugis ini memainkan peran besar dalam mengorganisasikan serta mengarahkan gerakan mendukung kemerdekaan Indonesia." tulis Salim Said.
Mereka berdua adalah pemimpin kaum Republik yang memprakarsai pertemuan para pemimpin masyarakat untuk menyatakan dukungan kepada Republik Indonesia. Belanda menghabisi kedua Datu tersebut beserta hampir 300 orang pejuang Suppa, pengikut mereka, juga dihabisi.
Perlawanan Rakyat Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan, Belanda tidak pernah menemukan ketenangan dalam usahanya menjajah kembali Indonesia setelah Jepang terusir.
"Khusus untuk Sulawesi Selatan, sejarah perlawanannya bisa ditarik jauh ke belakang. Ketika sekian abad silam armada Cornelis Speelman berhasil menaklukkan Sultan Hasanuddin, para mantan tentara Hasanuddin melanjutkan perlawanan jauh dari kampung halaman mereka." ungkap Salim dalam bukunya "Dari Gestapu ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian".
Foto: Lukisan Sultan Hasanuddin (Wikipedia)
Di Pulau Jawa, sebagian mereka menjadi tentara Trunojoyo, yang lainnya menjadi tentara di Kesultanan Yogyakarta (Pasukan Daengan), sebagian menjadi perompak yang mengganggu Belanda di Selat Malaka.
Diantara para bekas serdadu Hasanuddin itu juga ada yang memilih mengab di sebagai pengawal pribadi Raja Siam (Thailand sekarang), sementara sebagian lainnya berimigrasi ke Sumatra, Kepulauan Riau, dan Semenanjung Melayu.
Semangat tak kenal menyerah itulah yang bangkit kembali setelah Republik Indonesia lahir pada 1945. Kini mereka melawan Belanda tidak lagi sebagai orang Bugis, Makassar, atau Mandar.
Mereka melawan sebagai orang Indonesia untuk menegakkan dan mempertahankan Tanah Air Indonesia dari usaha kolonial Belanda melanjutkan penjajahannya. (buz)
Ikuti terus perkembangan berita terbaru lainnya melalu kanal YouTube tvOneNews:
Sentimen: negatif (99.8%)