Sentimen
Positif (40%)
12 Agu 2023 : 22.18
Informasi Tambahan

Grup Musik: APRIL

Kab/Kota: bandung

Partai Terkait

Faisal Basri Tunjukkan Data ke Jokowi Soal Hilirisasi Nikel Untungkan China

13 Agu 2023 : 05.18 Views 1

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Faisal Basri Tunjukkan Data ke Jokowi Soal Hilirisasi Nikel Untungkan China

PIKIRAN RAKYAT - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri menjawab bantahan Jokowi mengenai hilirisasi nikel dengan membeberkan data. Dia pun mematahkan bantahan Presiden soal hilirisasi nikel yang menguntungkan China.

Dia menuturkan bahwa angka-angka yang disampaikan Jokowi tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China.

"Jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai 85,913 juta dolar AS dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per dolar AS," kata Faisal Basri, Jumat 11 Agustus 2023.

Baca Juga: Tarif Awal Kereta Cepat Jakarta-Bandung Rp250.000, Ini Penjelasan dari Dirut KCIC

"Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah 27,8 miliar dolar AS. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar Rp14.876 per dolar AS, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun," tuturnya menambahkan.

Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Jokowi dan hitung-hitungannya, Faisal Basri mengakui memang benar adanya lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi. Lonjakan sebesar 414 kali lipat itu pun dinilainya 'sungguh sangat fantastis'.

Akan tetapi, apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas. Maka, adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.

Hal itu berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit, untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar.

"Jika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel," ujar Faisal Basri.

"Perusahan-perusahaan smelter China menikmati 'karpet merah' karena dianugerahi status proyek strategis nasional. Kementerian Keuanganlah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM," ucapnya menambahkan.

Bahkan, Faisal Basri menuturkan bahwa perusahaan smelter China sama sekali tidak membayar royalti, karena yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.

Baca Juga: Kondisi Korban Penyiraman Air Keras di Pulogadung Jaktim, Ibunya: Harus Operasi Plastik

Hilirisasi untuk Mendukung Industrialisasi di China

Faisal Basri menegaskan bahwa dia mendukung sepenuhnya industrialisasi, tetapi menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang. Menurutnya, hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional.

Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia. Kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21,1 persen tahun 2014 menjadi hanya 18,3 persen tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir.

Tidak hanya itu, Faisal Basri menuturkan bahwa keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun. Ada memang, tetapi jumlahnya sangat sedikit.

"Produk besi dan baja (HS 72) yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis, yang dikatakan oleh Presiden adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72," ucapnya.

Faisal Basri membeberkan, hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China.

"Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia. Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products," katanya.

"Sejauh ini tak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi batere untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China," ujarnya.

"Tak ada yang meragukan bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Siapa yang menikmati nilai tambah tinggi itu? Tentu saja pihak China yang menikmatinya. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen," ucap Faisal Basri menambahkan.

Baca Juga: Yenny Wahid Balas Penolakan Wasekjen Demokrat untuk Jadi Cawapres Anies: Pas Bosmu Butuh Dukungan, Saya Emoh!

Hitung-hitungan Versi Faisal Basri

Dia menuturkan bahwa hitung-hitungan untuk permasalahan tersebut adalah Nilai tambah smelter = produk smelter – bijih nikel. Nilai tambah dinikmati pengusaha berupa laba, pemodal dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, dan pemilik lahan dalam bentuk sewa.

"Hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air," kata Faisal Basri.

"Hampir seratus persen modal berasal dari perbankan China, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China. Banyak di antara mereka yang bukan tenaga ahli, di antaranya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir. Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dolar AS (Rp1,5 juta) per pekerja per bulan," tuturnya menambahkan.

Faisal Basri juga mengungkapkan bahwa banyak tenaga kerja China di smelter. Salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp17 juta hingga Rp54 juta.

Sedangkan, rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Dengan memegang status visa kunjungan, sangat boleh jadi pekerja-pekerja China tidak membayar pajak penghasilan.

"Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan, tetapi nilainya amatlah kecil. Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China," ucap Faisal Basri.

"Nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga super murah. Pemerintah sangat bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional," ujarnya menambahkan.

Baca Juga: Sepakat Damai, Korban Tabrakan Putra Mahkota Keraton Surakarta Cabut Laporan Polisi

Harga Nikel Indonesia Dibandingkan Dunia

Berdasarkan data yang dipaparkan Faisal Basri, harga Nikel 1,8 persen yang ditetapkan Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara lain. Data itu didapatkan dari SMM, Asian Metal, dan Kementerian ESDM. 

Harga Patokan Mineral Logam (HPM) sebesar 31,5 dolar AS (Rp482.000) per ton pada Semester II 2020. Harga itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditetapkan Sanghai Metals Market (SMM) yang sebesar 69,5 dolar AS (Rp1 juta) per ton dan Asian Metal yang sebesar 63,6 dolar AS (Rp974.000) per ton.

Kemudian pada Semester I 2021, Harga Patokan Mineral Logam (HPM) naik sedikit menjadi 38,2 dolar AS (Rp585.000) per ton. Namun, harga itu masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditetapkan Sanghai Metals Market (SMM) yang sebesar 79,6 dolar AS (Rp1,2 juta) per ton dan Asian Metal yang sebesar 74,8 dolar AS (Rp1,1 juta) per ton.

Begitu juga dengan periode Juli-September 2021, Harga Patokan Mineral Logam (HPM) sebesar 40,9 dolar AS (Rp626.000) per ton. Namun, harga itu masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditetapkan Sanghai Metals Market (SMM) yang sebesar 82,7 dolar AS (Rp1,26 juta) per ton dan Asian Metal yang sebesar 75 dolar AS (Rp1,1 juta) per ton.

Begitu juga pada 2022, perbandingan harga Nasional dan Internasional untuk nikel ore 1,8 persen per ton sangat jauh. Rata-rata tahunan harga Nikel SMM adalah 84,5 dolar AS (Rp1,2 juta), dan Asian Metal adalah 92,4 dolar AS (Rp1,4 juta).

Sementara harga tertinggi dipegang oleh FerroAlloyNet (CIF) yakni 115,9 dolar AS (Rp1,7 juta). Sedangkan harga nikel Nasional untuk HPM MC 30 persen adalah 60,8 dolar AS (Rp931.000) dan HPM MC 25 Persen adalah 56,4 dolar AS (Rp864.000).

Menurut Faisal Basri, berdasarkan harga rerata April 2021, penerimaan yang dinikmati oleh perusahaan tambang bijih nikel jauh lebih rendah dari harga patokan yang ditetapkan pemerintah atau HMP (harga patokan mineral) yang sudah relatif sangat rendah itu.

Sebagai contoh HPM Nikel 1,8 persen MC 35 Persen pada April 2021 adalah 38,35 dolar AS (Rp587.000). Harga kontrak dengan perusahaan Smelter adalah 40,45 dolar AS (Rp619.000).

Kemudian Shipping cost menggunakan tongkang adalah 8 dolar AS. Ada juga Penalti SiO2/MGO (jika di atas 2,5) sebesar 5 dolar AS (Rp76.000), serta penalti Nikel (jika di bawah 1,7 persen) sebesar 8 dolar AS (Rp122.000).

Sehingga, harga yang diterima penambang adalah 19,35 dolar AS (Rp296.000). Sumber itu didapatkan dari Berbagai keterangan resmi pemerintah dan informasi dari kalangan pelaku bisnis bijih.

"Betapa istimewa posisi perusahaan smelter China tercermin dari fakta berikut," ucap Faisal Basri.

"Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan," katanya menambahkan, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari situs resmi Faisal Basri, Sabtu 12 Agustus 2023.***

Sentimen: positif (40%)