HEADLINE: Sinyal PKB Pindah Haluan ke PDIP, Koalisi Bersama Gerindra Terancam Bubar?

8 Agu 2023 : 00.00 Views 2

Liputan6.com Liputan6.com Jenis Media: News

HEADLINE: Sinyal PKB Pindah Haluan ke PDIP, Koalisi Bersama Gerindra Terancam Bubar?

Liputan6.com, Jakarta - Lama tak mendapat kejelasan dari Partai Gerindra soal cawapres, Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB mulai merasa gerah. Elite partai berlambang bola dunia yang dikelilingi sembilan bintang itu pun mengultimatum akan hengkang dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya.

Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar memberi isyarat partainya bakal merapat ke PDIP untuk mendukung Ganjar Pranowo sebagai Capres. Hal ini menyusul setelah Gus Muhaimin masuk dalam deretan nama kandidat cawapres Ganjar.

PDIP menangkap positif sinyal dari PKB tersebut. Bahkan disebutkan bahwa kerja sama dengan PKB memiliki sejarah dan historis yang amat panjang, terutama dari aspek ideologi kedekatan para pemimpinnya. Tak hanya itu, PDIP dan PKB juga memiliki akar basis massa yang saling melengkapi satu sama lainnya.

Menurut Pengamat Politik Indostrategic Ahmad Khoirul Umam, langkah PKB untuk berpaling dari Gerindra bisa saja terjadi. Namun demikian, hal tersebut tergantung dari situasi politik yang ada.

Umam menjelaskan, PKB bisa saja meninggalkan Gerindra dan berpaling ke PDIP jika proposal politiknya tidak digubris oleh Prabowo Subianto. Padahal, kata dia, pengajuan Gus Muhaimin sebagai cawapres Prabowo sudah lama disampaikan dengan cara yang elegan sesuai mekanisme politik yang etis.

"Pada dasarnya yang disampaikan PKB itu menegaskan bahwa ya memang itu mungkin terjadi, tetapi tentu ada conditional situation yaitu ketika proposal politik pencawapresan Cak Imin yang sudah diajukan dalam koalisi KKIR kemudian sudah dikomunikasikan sejak awal dengan cara-cara yang elegan, dengan cara komunikasi dan juga koalisi sangat etis dan sesuai mekanisme berpolitik itu, kalau misal tidak direspons dan tidak dikabulkan oleh Pak Prabowo oleh Gerindra," kata Umam kepada Liputan6.com, Senin (7/8/2023).

Namun yang saat ini terjadi, kata dia, muncul nama Erick Thohir di tengah ketidakjelasan nama Gus Muhaimin sebagai cawapres Prabowo Subianto. Terlebih hubungan Erick Thohir dengan Prabowo terlihat sering bersama dalam beberapa kesempatan, ketimbang dengan partner koalisinya, Muhaimin Iskandar. Kondisi ini dianggap akan semakin membuat PKB yakin untuk berlabuh ke lain hati.

"Yang belakangan itu yang lebih menonjol kan Pak Erick misalnya, yang sifatnya kan menikung tengah jalan. Kalau situasi itu kemudian terjadi dan berlanjut, besar kemungkinan kepindahan PKB bersama PDIP itu akan menjadi sebuah kenyataan," ujar dia.

Dan itu, kata Direktur Eksekutif Indostrategic ini, sebagai sebuah pilihan politik yang cukup rasional. Karena bagaimanapun juga, satu sisi PKB tentu ingin mendapatkan political benefit yang lebih optimal. Dan di sisi lain tentu itu bisa dianggap sebagai langkah evaluasi serius sekaligus koreksi total terhadap sikap dan komitmen politik dari Gerindra dan juga Prabowo Subianto sendiri.

"Karena bagaimanapun juga PKB itu sudah cukup ini, apa namanya, ya wajar kalau dia marah itu, wajar, kira-kira gitu loh karena bagaimanaun juga cara-caranya sudah dilakukan dengan cukup optimal, dengan cara yang juga etis tidak mendukung pihak lain tidak ngerecokin koalisi lain, dia yang sedang dari awal sudah melakukan itu, tapi kalau misalnya kemudian dia ditikung di tengah jalan, wajar, kalau dia melakukan koreksi total atas skema koalisi KKIR itu," ujar dia.

Umam mengungkapkan alasan Prabowo yang juga tak kunjung mengumumkan Muhaimin sebagai cawapresnya. Padahal koalisi tersebut sudah lama terbangun dengan penuh kesepakatan tentang pasangan capres dan cawapresnya.

"Salah satu (kendalanya) terkait dengan restu Jokowi sendiri," kata dia.

Umam menjelaskan, di satu sisi Prabowo percaya kekuatan politik Nahdlatul Ulama karena basis dukungannya dari segmen kelompok Islam konservatif yang telah mendukungnya di pilpres 2014 dan 2019 telah bergeser. Penyebabnya, Prabowo dianggap tidak konsisten dan mengkhianati komitmen perjuangan karena berpindah ke pemerintah.

"Ketika itu terjadi, maka kemudian Prabowo butuh kekuatan Islam yang lain. Dan kemudian satu-satunya cara adalah trade off karena hilang basis kekuatan Islam dari wilayah Jawa Barat kemudian Banten dan Sumatera. Memang tidak habis semua tapi ada penurunan cukup signifikan, ada koreksi signifikan, maka trade off-nya adalah mendapatkan backup dari kekuatan Islam moderat dalam konteks ini yang paling besar adalah Nahdlatul Ulama," terang dia.

Prabowo, Umam menambahkan, percaya dengan kekuatan PKB karena mesin politik NU per hari ini adalah PKB dibanding PPP. Karena jika dilihat dari sisi kursi, PKB masih memiliki lebih banyak ketimbang partai berlambang Kabah.

"Maka itu, Prabowo sangat-sangat butuh PKB. Problemnya Prabowo sendiri seolah dia butuh PKB tapi kemudian tidak percaya dengan kekuatan elektoral Cak Imin sebagai individu. Itu yang kemudian seolah yang mengganjal keyakinan Prabowo untuk mendeklarasikan sejak awal," kata dia.

Kalau kemudian belakangan muncul skema yang lain, Umam menjelaskan, bisa saja itu menjadi bagian dari pertimbangan yang lain dari Prabowo. Yaitu mencoba untuk memenangkan hati Jokowi sehingga kemudian dia mencoba melakukan bargaining position sekaligus negosiasi posisi cawapres seolah diserahkan ke tangan Jokowi.

"Sehingga kemudian Jokowi memiliki saham politik dalam proses pemenangan dari Pak Prabowo sendiri, karena itu muncul nama Erick Thohir. Tapi bagaimana pun juga tidak mudah bagi Erick Thohir, Erick Thohir itu didukung oleh PAN dan PAN sendiri representasi dari kekuatan Muhammadiyah," katanya.

Jika kemudian Prabowo lebih mengutamakan Erick Thohir yang notabene direpresentasikan oleh PAN yaitu mesin politik Muhammadiyah, tentu akan ada kecemburuan dari PKB. Padahal Nahdiyin sendiri yang kuantitasnya lebih besar dan mengantri lebih awal itu justru tidak digubris

"Nah itu kemudian bisa menjadi sebuah sumber perpecahan cukup serius dari lingkaran kekuatan Pak Prabowo, maka itulah muncul ide untuk mencari jalan tengah yaitu nama Gibran sebagai titik tengah untuk bisa menjaga basis kekuatan politik Nahdiyyin dan juga Muhammadiyin yang direpresentasikan oleh PKB dan PAN agar tetap stay di situ," ujar dia.

"Di mana posisi cawapres itu kemudian diserahkan kepada representasi tokoh yang direstui oleh Jokowi, dan majunya Gibran sepertinya juga mendapatkan backup dukungan politik dari elemen kekuatan di dalam Golkar yang kemarin mencoba untuk melakukan Munaslub," tambahnya.

Umam mengungkapkan, menurut informasi spekulatif, elemen kekuatan yang sama itulah yang mencoba untuk mem-feeding informasi kepada instrumen penegak hukum untuk menjalankan kerja-kerja penegakan hukum terkait kasus yang diduga melibatkan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto.

"Jadi ada benang merah yang saling berkelindan satu sama lain, dan itu kemudian bisa dipahami jadi kalau misal kemudian situasinya seperti itu, kemudian PKB merasa tidak dianggap, tidak di-orangkan dan secara etika politik dianggap kurang tepat ya maka hal itu wajar kalau kemudian ada koreksi total," kata dia,

Dan ini, Umam menegaskan, kalau misalnya kemudian itu yang dilakukan, maka bisa mengamankan posisi Cak Imin. Karena bagaimana pun juga, ini berbeda situasi dengan Golkar yang dianggap ingin membangun komunikasi dengan Nasdem untuk pencapresan Anies. Ditambah Golkar secara sembunyi-sembunyi ingin melakukan negosiasi untuk mendapatkan posisi cawapres dan negonya langsung dengan Nasdem.

"Seolah menegasikan posisi Demokrat dan juga PKS tidak tidak memungkinkan karena resikonya sangat besar maka Golkar bisa dihajar betul dengan segala instrumen politik maupun instrumen hukum. Nah kalau misal kemudian PKB melakukan koreksi atas KKIR, dan kemudian mungkin dia bergabung dengan PDIP, maka itu sama saja dia mencoba untuk mencari perimbangan karena dengan PDIP bisa mendapatkan political protection, perlindungan politik, terutama dari elemen-elemen yang mencoba menggoyang Cak Imin melalui instrumen politik dan hukum," ujar dia.

"Kalau dibaca, bisa cukup cukup serius visibility-nya, kemungkinannya, untuk melakukan tindakan itu," Umam menandaskan.

Sementara itu pengamat politik yang juga Direktur Lembaga Survei Populi Center Usep S Ahyar mengungkapkan, PDIP akan mendapatkan keuntungan besar jika PKB bersedia diajak koalisi. Karena PDIP dan PKB memiliki basis massa yang beririsan dan juga masing-masing punya pembeda.

"PDIP dan PKB punya punya kultur yang kuat dan ikatan ideologis yang lumayan basis kulturalnya. Ini dihitung oleh PDIP sebagaimana Jokowi kemarin dengan Pak Ma'ruf Amin itu dan PDIP menginginkan kawinnya nasionalis dan religius," ujar dia kepada Liputan6.com, Senin (7/8/2023).

Religius yang dimaksud PDIP sepertinya berada pada kultur yang yang kuat. Dan keberagaman seperti itu ada di NU yang selama ini menjadi basis PKB. Walaupun secara politik, NU tidak pernah menyatakan sikap karena mereka kembali ke khittahnya.

"Kemudian saya kira ini juga menunjukkan ya, main-mainnya PKB dengan PDIP menunjukkan belum jelas nasibnya di Gerindra maka seperti pacaran yang menggantung, dia lirik lirikan agar ditegaskan serius atau tidak gitu kan, sebenarnya PKB lagi bertanya Gerindra ini serius atau tidak, atau masih membaca celah di koalisi lain," terang Usep.

Ia menerangkan, secara umum politik di Indonesia masih dinamis karena memilih cawapres itu menentukan banyak hal. Dan ini menjadi salah satu kunci untuk meraih kemenangan di Pilpres 2024 nanti.

"Menentukan koalisi dengan partai mana juga menjadi kunci kemenangan, maka pasti alot karena kan kita tahu ya margin elektabilitas antara calon satu dengan yang lainnya itu masih ketat dan belum ada yang unggul secara dominan," ucap dia.

Usep menuturkan, meskipun komunikasi antara PKB dengan Gerindra masih terus berjalan, namun juga ada komunikasi dengan pihak lain. Terlebih saat ini hubungan antara Prabowo dengan Erick Thohir terlihat semakin mesra.

"Misalnya di situ ada Pak Erick yang tidak disodorkan Prabowo, ada juga kan dari kelompoknya Pak Jokowi yang kita tahu juga Pak Prabowo dan Pak Jokowi sangat dekat, itu yang mungkin membuat PKB menjalankan skenario keduanya," ujar dia.

Selain itu, menurutnya, elektoral Gus Muhaimin dianggap tidak memberikan efek elektoral bagi pasangan capres. Karena itu, butuh sosok alternatif yang dapat menutupi kelemahan Probowo.

"Mungkin tidak ada alternatif lain yang dipandang akan memberikan efek elektoral terhadap Prabowo jika dipasangkan dengan Cak Imin. Persoalannya yang mungkin ya ini harus memilih orang yang punya efek elektoral atau menutup kelemahan-kelemahan lain dari Prabowo yang harus dijalankan dan diperankan oleh cawapres," terang dia.

Dia menegaskan, saat ini semua koalisi yang terbangun masih dalam kondisi yang belum kuat. Penyebabnya, karena dasar yang digunakan dalam berkoalisi hanya bersifat pragmatis dan bukan berasaskan pada ideologi.

"Koalisi Gerindra dengan PKB masih rapuh, hampir semua koalisi rapuh karena mengandalkkan pada pasangan. Apakah calon pasangan capres cawapres dari partainya atau tidak, selama capres dan cawapresnya belum ditentukan, belum dikokohkan, maka koalisinya rapuh," terang dia.

"Jadi koalisi kita ini bukan koalisi sejati karena didasari pada politiknya siapa mendapat apa, dalam konteks yang jangka pendek itu ya seperti penentuan capres cawapres, penentuan bupati wakil, bupati gubernur, bukan pada ideologi," Usep menambahkan.

Jadi, tegas dia, koalisi antarpartai masih berpotensi mengalami perombakan selama kepentingannya belum bertemu. "Kalau saya lihat 2024, itu apakah mereka punya calon dalam pasangan atau tidak, semuanya mengejar itu. Karena mereka tahu pasangan yang dicalonkan atau kader yang dicalonkan itu akan memberikan efek elektoral terhadap partainya itu yang mereka ingin dapatkan," dia menandaskan.

Sentimen: positif (98.5%)