Usai Kabasarnas Tersangka, KPK Tagih Fitur E-Audit ke LKPP
Kompas.com Jenis Media: Nasional
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menagih Lembaga Kebijakan Barang/Jasa (Pemerintah (LKPP) segera membangun fitur E-Audit, menyusul dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).
Adapun fitur E-Audit merupakan salah satu wujud rencana aksi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK).
Stranas PK merupakan gabungan lintas kementerian/lembaga dalam mencegah korupsi. Salah satu fokusnya memperbaiki sistem pengadaan barang/jasa di pemerintah yang kerap jadi ladang korupsi.
Namun demikian, 6 bulan setelah diminta membangun E-Audit, LKPP belum juga memulai menyusun E-Audit. KPK akhirnya mendatangi Kepala LKPP, Hendrar Prihadi atau dikenal Hendi dua bulan lalu.
“Jadi 2 bulan yang lalu kita ke LKPP nagih ke Pak Hendri, itu mana E-Auditnya?” ujar Pahala kepada wartawan, Minggu (6/8/2023).
Baca juga: LKPP Dorong Pemerintah Genjot Belanja Produk Dalam Negeri
Selang beberapa waktu setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pejabat Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), KPK memanggil LKPP dan kembali menagih fitur E Audit.
Sebab, korupsi yang menjerat Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan anak buahnya, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto dilakukan dalam proses lelang di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
“Kita undang LKPP, sebenarnya yang kita tagih itu namanya E Audit,” kata Pahala.
Cara Kerja Sistem E AuditPahala mengatakan, fitur E Audit merupakan semacam sistem pengawasan yang bekerja memantau proses pengadaan barang/jasa secara elektronik baik di LPSE maupun E Katalog.
Sistem itu semacam “alert” atau alarm yang akan menyala ketika menemukan sejumlah indikasi kecurangan dalam proses lelang elektronik, akan berbunyi.
Indikator kecurangan itu antara lain ketika lembaga tertentu membuka pengadaan barang yang unik atau hanya terdapat sedikit produsen di dunia melalui skema lelang berulang kali.
Pengadaan barang langka, kata Pahala, bisa dilakukan melalui penunjukan langsung, bukan lelang. Sebab, lelang akan menjadi ladang bermain broker atau distributor,
“Enggak ada yang mengawasi di Jakarta ini, (pengadaan) barang barang berulang,” ujar Pahala.
Indikator lainnya adalah hanya satu perusahaan yang mengajukan harga penawaran dalam lelang. Padahal terdapat banyak perusahaan yang mengikuti lelang.
Baca juga: LKPP Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan S1 Semua Jurusan, Cek Syaratnya
Kondisi itu membuat perusahaan yang mengajukan harga penawaran menang karena lengkap. Hal semacam ini biasanya telah dikondisikan sebelumnya.
Indikator lainnya, pemenang lelang dari tahun ke tahun merupakan orang yang sama namun menggunakan nama perusahaan yang berbeda.
Modus ini juga dilakukan dalam pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan yang menjerat Kepala Basarnas.
Untuk mengetahui indikator ini, sistem E-Audit harus bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Administrasi dan Hukum Umum (AHU), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Meski nama perusahaan berganti-ganti, E Audit yang tersambung ke AHU akan mendapatkan data pemilik perusahaan.
“E Audit ini harus nyambung dengan Dirjen AHU. Karena 3 pemenang ini, 2021, 2022, 2023 beneficial ownership-nya sama orangnya,” kata Pahala.
Namun demikian, para pelaku masih bisa mengakali sistem tersebut dengan cara mencantumkan nama orang lain atau anggota keluarganya sebagai pemilik perusahaan di dokumen yang didaftarkan di Ditjen AHU.
Mengantisipasi hal ini, Pahala menyebut E Audit harus terhubung dengan Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri.
Baca juga: LKPP Jadikan Pemprov Jateng sebagai Role Model Pengadaan Barang/Jasa untuk Pemda
E Audit meminta “pohon keluarga” untuk mendapatkan nama atau nomor kependudukan anggota sanak keluarga pengusaha.
“Jadi LKPP kalau dapat NIK saya langsung ketahuan tuh, anak, istri, adik, kakak. Jangan-jangan PT-nya atas nama ini (anggota keluarga),” kata Pahala.
Selanjutnya, E Audit juga diharapkan akan bisa menghentikan proses lelang yang terindikasi curang, diinvestigasi, dibatalkan, dan dimulai ulang.
Namun, LKPP mengaku belum mengetahui apakah memiliki kewenangan untuk menyetop proses lelang yang sedang berjalan.
“Jadi dia (LKPP) masih mikir wewenang kita apakah sampai situ, memberhentikan proses [tender]. Kita lagi cari di Perpres ada enggak wewenang itu,” jelas Pahala.
-. - "-", -. -Sentimen: negatif (98.5%)