Sentimen
3 Agu 2023 : 06.48
Informasi Tambahan
Kab/Kota: bandung
Kasus: korupsi
Tokoh Terkait
?Putusan Lancung untuk Hakim Agung
3 Agu 2023 : 13.48
Views 1
Medcom.id Jenis Media: News
DUA hari berturut-turut, nalar dan rasa keadilan masyarakat diusik oleh para hakim yang menangani kasus korupsi di Bandung, Jawa Barat.
Senin, 31 Juli 2023, majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung menyunat masa hukuman kepada Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati, dari 8 tahun menjadi 7 tahun penjara. Putusan itu sekaligus menganulir vonis sebelumnya dari PN Bandung.
Esoknya, Selasa, 1 Agustus 2023, majelis hakim PN Bandung membebaskan Hakim Agung Gazalba Saleh, yang bersama Sudrajad tersangkut kasus korupsi dalam pengurusan perkara di Mahkamah Agung, dari segala dakwaan.
Gazalba tentunya menarik napas lega karena akhirnya bisa keluar dari tahanan. Sementara Sudrajad, vonis itu memantik semangat baru untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Barangkali saja bisa dapat vonis bebas seperti rekannya itu.
Dua putusan hakim terhadap hakim yang tersangkut kasus korupsi itu bertolak belakang dengan para penyuapnya, Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma. Keduanya harus menerima nasib masuk bui lantaran terbukti menyuap Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati dalam pengurusan perkara kasasi KSP Intidana.
Bagaimana cara menjelaskan dua hal yang kontradiktif itu agar dapat diterima nalar publik? Penyuapnya dihukum, sementara penerima suap mendapat korting hukuman, atau bahkan bebas yang menurut hakim karena kurangnya alat bukti yang disodorkan KPK.
Dari dua fakta itu, upaya pemberantasan korupsi rupanya masih menemui jalan terjal. Korupsi masih mendapat tempat di Republik ini meski usia reformasi telah lebih dari 25 tahun.
Label kejahatan luar biasa terhadap korupsi, yang kemudian melahirkan KPK sebagai badan khusus untuk menumpasnya, berhenti menjadi jargon kosong.
Vonis ringan atau bahkan ada yang nekat membebaskan koruptor membuat negeri ini semakin buruk di mata internasional. Siapa pula yang mau percaya pada negeri yang masih menjadi sarang koruptor?
Dalam laporan tahunan Transparency International, pada 2022, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan terburuk sepanjang sejarah reformasi. Dari skala nol (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih), Indonesia berada di skala 34, turun 4 poin dari tahun sebelumnya.
Penurunan IPK itu turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global. IPK Indonesia pada 2022 menempati peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Padahal, di tahun sebelumnya, IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara global.
Skor dari Transparency International itu amat tak mengenakkan hati. IPK 2022 itu menempatkan Indonesia di kelompok 1/3 negara terkorup di dunia dan jauh di bawah rata-rata skor IPK di negara Asia-Pasifik, yaitu 45. Dengan nilai rapor 34, Indonesia duduk berdampingan bersama Bosnia-Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal, dan Sierra Leone.
Di Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat 7 dari 11 negara, jauh di bawah sejumlah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam, dan Thailand.
Hati makin terasa tak enak saat Transparency International menegaskan sepanjang 2022 lalu sebagian besar negara di dunia hanya membuat sedikit, atau bahkan tidak ada kemajuan yang berarti, dalam mengatasi korupsi selama lebih dari satu dekade. Pasalnya, lebih dari dua pertiga negara mendapat skor di bawah 50 dari 100.
Seharusnya vonis terhadap penegak hukum, seperti hakim agung harus lebih berat karena mereka ialah orang yang paling mengerti hukum. Apalagi, para hakim agung ini bertugas menjaga benteng keadilan terakhir di negeri ini.
Langit keadilan kian menghitam. Negara yang mau berulang tahun ke-78 ini masih berkubang dalam korupsi. Menyedihkan.
Senin, 31 Juli 2023, majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung menyunat masa hukuman kepada Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati, dari 8 tahun menjadi 7 tahun penjara. Putusan itu sekaligus menganulir vonis sebelumnya dari PN Bandung.
Esoknya, Selasa, 1 Agustus 2023, majelis hakim PN Bandung membebaskan Hakim Agung Gazalba Saleh, yang bersama Sudrajad tersangkut kasus korupsi dalam pengurusan perkara di Mahkamah Agung, dari segala dakwaan.
-?
- - - -Gazalba tentunya menarik napas lega karena akhirnya bisa keluar dari tahanan. Sementara Sudrajad, vonis itu memantik semangat baru untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Barangkali saja bisa dapat vonis bebas seperti rekannya itu.
Dua putusan hakim terhadap hakim yang tersangkut kasus korupsi itu bertolak belakang dengan para penyuapnya, Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma. Keduanya harus menerima nasib masuk bui lantaran terbukti menyuap Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati dalam pengurusan perkara kasasi KSP Intidana.
Bagaimana cara menjelaskan dua hal yang kontradiktif itu agar dapat diterima nalar publik? Penyuapnya dihukum, sementara penerima suap mendapat korting hukuman, atau bahkan bebas yang menurut hakim karena kurangnya alat bukti yang disodorkan KPK.
Dari dua fakta itu, upaya pemberantasan korupsi rupanya masih menemui jalan terjal. Korupsi masih mendapat tempat di Republik ini meski usia reformasi telah lebih dari 25 tahun.
Label kejahatan luar biasa terhadap korupsi, yang kemudian melahirkan KPK sebagai badan khusus untuk menumpasnya, berhenti menjadi jargon kosong.
Vonis ringan atau bahkan ada yang nekat membebaskan koruptor membuat negeri ini semakin buruk di mata internasional. Siapa pula yang mau percaya pada negeri yang masih menjadi sarang koruptor?
Dalam laporan tahunan Transparency International, pada 2022, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan terburuk sepanjang sejarah reformasi. Dari skala nol (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih), Indonesia berada di skala 34, turun 4 poin dari tahun sebelumnya.
Penurunan IPK itu turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global. IPK Indonesia pada 2022 menempati peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Padahal, di tahun sebelumnya, IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara global.
Skor dari Transparency International itu amat tak mengenakkan hati. IPK 2022 itu menempatkan Indonesia di kelompok 1/3 negara terkorup di dunia dan jauh di bawah rata-rata skor IPK di negara Asia-Pasifik, yaitu 45. Dengan nilai rapor 34, Indonesia duduk berdampingan bersama Bosnia-Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal, dan Sierra Leone.
Di Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat 7 dari 11 negara, jauh di bawah sejumlah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam, dan Thailand.
Hati makin terasa tak enak saat Transparency International menegaskan sepanjang 2022 lalu sebagian besar negara di dunia hanya membuat sedikit, atau bahkan tidak ada kemajuan yang berarti, dalam mengatasi korupsi selama lebih dari satu dekade. Pasalnya, lebih dari dua pertiga negara mendapat skor di bawah 50 dari 100.
Seharusnya vonis terhadap penegak hukum, seperti hakim agung harus lebih berat karena mereka ialah orang yang paling mengerti hukum. Apalagi, para hakim agung ini bertugas menjaga benteng keadilan terakhir di negeri ini.
Langit keadilan kian menghitam. Negara yang mau berulang tahun ke-78 ini masih berkubang dalam korupsi. Menyedihkan.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
(ADN)
Sentimen: positif (94.1%)